KETIKA pemain-pemain Indonesia meninggalkan lapangan, kebanyakan dengan kepala menunduk, pesta pora tentulah milik tuan rumah Korea Selatan. Yang paling bergembira, tampaknya, adalah Park Chang Sun, kapten kesebelasan, yang sore itu langsung dinobatkan persatuan sepak bola Korea Selatan (KFA) sebagai pemain terbaik. Sejumlah wartawan foto berebutan mengabadikannya di depan sebuah mobil merk Hyundai Presto yang sudah disediakan di luar lapangan. Mobil bikinan Korea seharga Rp 6 juta itu adalah hadiah dari KFA untuk sang kapten. Park Chang Sun, 31, pemain gelandang itu, sebenarnya tak satu pun membuat gol untuk timnya sore itu. Tapi dari kakinyalah serangan-serangan Korea Selatan mengalir seperti air bah. Dua gol yang diperoleh tim itu juga tak terlepas dari andil pemain dengan nomor kaus 10 ini. Apalagi ketika kapten dan pemain andalan Indonesia di lapangan tengah, Herry Kiswanto, selalu repot dengan tugasnya mengawal striker lincah Korea, Cho Min Kook, maka Park betul-betul merajalela di lini tengah. Dengan begitu praktis hubungan lini belakang PSSI dengan lini depan yang terdiri dari Bambang Nurdiansyah dan Dede Sulaiman terputus. Sehingga bukan saja barisan belakang Indonesia jadi bulan-bulanan penyerang Korea, pemain depan Indonesia pun dibikin tak berkutik. Dilahirkan di Kim Dae, 380 km di selatan Seoul, Park yang sudah bermain bola sejak usia 15 tahun itu kini bermain di Dae Woo Royals, klub profesional yang tahun lalu menjuarai kompetisi liga Korea Selatan. Dengan berat badan 65 kg, tinggi 1,70 m bandingkan dengan penjaga gawang kita Hermansyah, berat 72 kg, tinggi 1,78 m Park memang pemain paling kerdil di dalam timnya. Sedangkan teman-temannya yang lain umumnya lebih jangkung. Striker Choi Soon Ho, 23, misalnya, memiliki tinggi tubuh 1,85 m. Sesungguhnya, Choi adalah tipe pemain yang bisa ditempatkan di dalam berbagai posisi, tapi sekitar tiga tahun bergabung dengan tim nasional dia ditempatkan sebagai ujung tombak. Dengan modal tembakannya yang keras, dan rajin menjelajah ke berbagai sudut lapangan, namanya begitu cepat populer sebagai penyerang yang amat ditakuti lawan. Posturnya yang jangkung menyebabkan sundulan kepalanya sering amat berbahaya. Dengan kepala pula, Choi menyumbangkan sebuah gol untuk Korea Selatan, ketika menyisihkan Malaysia dalam perebutan juara subgrup 3 A. Bermain untuk klub pro Pohang Steel dengan bayaran Rp 10 juta per bulan, Choi kini merupakan salah satu pemain dengan bayaran tertinggi di negerinya. Pemain jangkung lainnya, Cho Min Kook, 22, dengan tinggi 1,81 m. Bermain di depan bersama Choi Soon Ho, mereka sangat harmonis sebagai tombak kembar yang berhasil mengiris-iris jantung pertahanan PSSI. Sebagai pemain amatir di klub Chung Dong High School, Cho disiapkan sebagai salah satu pemain nasional untuk menghadapi Olimpiade Seoul, 1988. Strategi yang disiapkan pelatih Indonesia, Aliandoe, untuk memberi pengawalan khusus kepada kedua tombak kembar itu - oleh Marzuky, Herry Kiswanto, dan Wartakusumah - nyatanya memang mampu membuat Choi Soon Ho dan Cho Min Kook luput mencetak gol. Tapi hal itu memberi keberuntungan kepada Byung Byung Joo, 24, dan Kim Joo Sung, 19. Keduanya menjadi inceran wartawan, begitu pertandingan selesai, karena muncul sebagai pencetak gol. Padahal, ketika pertandingan dimulai, baik Byung maupun Kim, terlihat duduk di bangku cadangan. Memang mereka cuma bintang-bintang baru yang diambil dari klub amatir. Byung berasal dari klub amatir Dae Woo, dan Kim Joo Sung dari Choo Ngang High School. Meski mewakili klub sekolah lanjutan, ternyata Kim adalah mahasiswa di sebuah universitas. Begitu juga Byung dan beberapa teman lainnya. Malah, seperti diungkapkan Pelatih Kim Jung Nam, sebagian besar pemainnya adalah tamatan universitas. "Karena itu, kami tak cuma mengandalkan fisik, tapi juga berusaha main dengan ini," ujar Kim Jung Nam sambil menunjuk kebagian belakang kepalanya. Sang pelatih, selaku orang di balik kemenangan Korea Selatan itu, ternyata adalah lulusan Fakultas Hukum Universitas Korea, 1967. Sebetulnya, Kim Jung Nam, 44, baru sekitar dua bulan ini menjadi pelatih menggantikan Moon Jung Sik, yang dicopot karena kekalahan Korea Selatan atas Malaysia di Kuala Lumpur, dalam putaran kejuaraan Pra-Piala Dunia ini. Kim bisa terpilih karena Park Chong Hwan, pelatih lainnya yang lebih senior, menolak menduduki jabatan yang lowong itu. Kim, putra seorang jutawan Korea ini, sebelumnya, sudah cukup dikenal pencandu bola karena menjadi palang pintu tim nasional, 1960-an. Menurut seorang wartawan di Seoul, "Kepopuleran Kim di Korea setara dengan Soh Chin Aun di Malaysia." Setelah menggantungkan sepatu bola, 1971, karena digerogoti usia, dia memilih kariernya sebagai pelatih. Untuk itu, dia harus pergi belajar ke Australia, dan belakangan Jerman Barat. "Saya belajar melatih dengan gaya Eropa," ujarnya. Namun, kepada TEMPO, Kim mengaku menyenangi pola permainan cantik Amerika Latin, dan menempatkan Tele Santana, pelatih Tim Piala Dunia Brazil, sebagai tokoh favoritnya. Lebih dari itu, Kim Jung Nam mengungkapkan bahwa dia termasuk salah satu dari sekian banyak pelatih di Korea Selatan yang mencoba mengubah citra sepak bola Korea Selatan: lebih mengandalkan fisik dan permainan keras. "Sepak bola Korea bukan melulu mengandalkan ginseng," katanya. Nama pelatih ini melejit setelah, 1978, berhasil menempatkan negerinya sebagai juara bersama Asian Games di Bangkok, dengan musuh besarnya Korea Utara. Setelah menjadi pelatih Tim Piala Dunia, ternyata Kim Jung Nam berhasil membalas mempecundangi Malaysia di Seoul, sekaligus meluluskan timnya ke babak selanjutnya. Kini, dia taklukkan pula Indonesia. "Kami optimistis akan pergi ke Meksiko," ujarnya. Yang mengganjal ambisi itu tinggal sekali pertandingan di Jakarta, kemudian menghadapi Hong Kong atau Jepang. "Rasanya, tak terlalu sulit," kata pelatih itu. Malah, untuk pertandingan lanjutan di Senayan nanti, Kim tetap memberi target menang bagi anak asuhannya. Meskipun, sebenarnya, mereka sudah cukup dengan seri. Malah, meski Korea Selatan kalah, asal tidak lebih dari satu gol, sudah cukup untuk melepaskan mereka dari cegatan Indonesia. "Tak ada taktik bertahan total dalam tim kami, semua pertandingan harus dimenangkan," kata Kim Jung Nam. Tim Korea Selatan selama ini memang tak selalu berada di atas. Namun, prestasinya di sepak bola termasuk kuat di Asia. Bahkan, tahun 1954, pada kejuaraan Piala Dunia di Swiss, Korea Selatan sempat mewakili Asia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini