SINYO Aliandoe terlihat menghela napas dalam-dalam, wajahnya kusut, matanya menatap kosong ke salah satu pojok lapangan. Di sana, Byung Byung Joo, pemain sayap Korea Selatan, sedang melampiaskan kegembiraan di tengah kerubutan teman-temannya. Stadion Chamsil yang penuh sesak oleh 70.000-an penonton, menjelang senja, Minggu pekan lalu, seakan pecah oleh sorak-sorai, suara genderang dan terompet, ketika beberapa saat sebelumnya Byung Byung Joo berhasil menanduk bola ke dalam gawang Hermansyah. Cuma berselang tujuh menit, yaitu pada menit ke-37 babak kedua itu, malapetaka datang lagi. Sebuah tembakan tak terlalu keras dari Kim Joo Sung, pemain sayap Korea Selatan lainnya, memaksa penjaga gawang Indonesia mengutip bola dari dalam gawangnya. "Lumrah kalau mereka mendapat peluang membuat gol setelah serangan-serangan begitu gencar," ujar Aliandoe, pelatih PSSI Pra-Piala Dunia itu, seakan mencoba menghibur diri. Namun, sulit disembunyikan bahwa kubu Indonesia begitu terpukul dengan kekalahan 2-0 di Seoul itu. Begitu pertandingan berakhir, para pemain berjalan ke pinggir lapangan dengan langkah gontai. "Kami sudah berusaha, tapi lawan memang kuat," kata kapten kesebelasan Herry Kiswanto. Seakan memahami kondisi moral pasukannya yang baru kalah perang itu, pimpinan tim Acub Zainal mencoba menghibur, "Lupakan kekalahan ini, di Jakarta nanti kekalahan kita tebus. Perang belum selesai," ujar bekas panglima Kodam Irian Jaya itu. Acub benar. Di Stadion Senayan, Jakarta, 30 Juli 1985, kedua kesebelasan akan bertanding sekali lagi untuk menentukan juara grup 3. Tapi, dengan kekalahan dua gol di Seoul itu, PSSI harus menang sedikitnya dengan tiga gol, suatu hal yang amat musykil terjadi. Apalagi kalau pertandingan di Seoul itu bisa diambil sebagai ukuran. PSSI bisa mengimbangi permainan cepat Korea Selatan cuma sampai 20 menit pertama. Ketika itu, terutama di awal-awal pertandingan Herry Kiswanto dan kawan-kawannya sedikitnya empat kali mengancam kubu pertahanan lawan. Pelatih Korea Selatan, Kim Jung Nam, mengakui hal itu. "Tim Anda sempat membuat kami bingung dan tak menemukan cara mencetak gol di babak pertama," katanya selepas pertandingan di stadion Chamsil, Seoul, kepada wartawan TEMPO Marah Sakti. Sayang, berbagai gebrakan itu cuma menghasilkan tendangan penjuru. Setelah itu, jutaan pendukung PSSI, yang menyaksikan pertandingan Itu melalui pesawat TV, harus lebih sering menahan degup jantung. Pasukan Korea seakan sudah tak terbendung lagi. Serangan datang bertubi-tubi dari berbagai penjuru, terutama dari sayap kiri dan kanan. Masih untung, ternyata, pemain-pemain depan lawan kurang dingin dalam menyelesaikan serangan ke gawang Hermansyah. "Kalau tidak, bisa tercipta gol lebih dari dua," kata Kadir Yusuf, kolomnis sepak bola. Dari sini Kadir menilai, salah satu hal yang mencolok yang menyebabkan kekalahan tim Indonesia ialah kurang baiknya stamina rata-rata pemain. Kadir menunjuk kegagalan Zulkarnaen Lubis mencetak gol di babak kedua itu sebagai contoh. Padahal, gelandang penyerang Indonesia itu tinggal berhadapan dengan penjaga gawang Oi Woon Kyo. "Saya capek sekali. Yang tahu saya capek atau tidak 'kan saya sendiri, jadi sudahlah," kata Zul kesal, merasa jadi korban tudingan akibat kegagalan itu. Yang lain, Marzuki misalnya. Di babak pertama, dia terlihat amat lugas membendung serangan di sektornya. Striker Korea Selatan yang sangat berbahaya, Choi Soon Ho (nomor 9), hampir tak berkutik oleh penjagaan ketat anak muda asal Aceh itu. "Permainan Choi Soon Ho jadi tak berkembang," kata Pelatih Kim Jung Nam mengakui. Di babak kedua, Marzuki mulai kalah lomba lari, apalagi dalam duel udara. Setidaknya, sepanjang babak itu, menurut catatan TEMPO, dia lima kali kalah dalam perebutan bola di udara. Setelah itu, tackle-tackle yang dilakukannya pun sudah sering salah. Setidaknya, di babak kedua Indonesia tiga kali mendapat hukuman tendangan bebas karena tackle Marzuki. Salah satu terjadi justru, di daerah pinalti. Masih untung bagi Indonesia, Wasit Boonchered Pratumthong dari Muangthai cuma menghukum dengan tendangan bebas. Hal yang serupa terjadi pula pada pemain belakang Ristomoyo. Setelah terkuras habis untuk melayani aksi-aksi lomba lari pemain-pemain depan Korea, tackle yang dilakukannya selalu saja terlambat. Akibatnya, mulut gawang Hermansyah seakan dihujani umpan-umpan lambung. Umpan yang membuahkan gol pertama bagi Korea Selatan itu berawal dari kegagalan pemain belakang kelahiran Malang itu. Dia pulalah yang gagal menempel pemain sayap Kim Joo Sung (nomor 16) sehingga mengakibatkan terjadinya gol kedua untuk Korea Selatan. Tak salah lagi kalau Kadir Yusuf menilai, Ristomoyolah yang selayaknya diganti ketika Aliandoe memerlukan penukaran pemain. Tentu, kekalahan tim Indonesia bukan sekadar karena kalah stamina. Kritik keras yang dilancarkan bekas pemain nasional, Ronny Pattinasarany, tentang tugas ganda yang diberikan kepada kapten Herry Kiswanto ternyata ada benarnya. Herry ditugasi Aliandoe menjadi stopper dan mengawal striker Korea, Cho Min Kook, selain tetap sebagai pengatur serangan (TEMPO, 20 Juli). Herry memang tak mau terus terang mengkritik strategi yang diterapkan pelatihnya itu, tapi seusai pertandingan, dia berkata, "Berat mesti menjaga satu pemain begitu, dan konsentrasi saya jadi buyar." Selama pertandingan memang bisa dilihat betapa pemain depan Indonesia kehilangan bola-bola umpan yang biasanya mengalir dari kaki Herry. Mungkin menyadari kekonyolan itu, Herry menegaskan, "Untuk pertandingan di Jakarta, posisi seperti di Seoul ini tak akan lagi saya terima." Amran Nasution Laporan : Marah Sakti, Rudy Novrianto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini