Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Injeksi Buat Indocement

Liem Sioe Liong mengeluh, pemasaran Indocement macet. Lokal & ekspor. Untuk mengatasinya pemerintah memberikan injeksi modal. cara lain, bahan bakar diganti batu bara & dirancang sertifikat ekspor.(eb)

27 Juli 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MANAJEMEN Indocement belum berubah - belum ada nama baru muncul di perusahaan penghasil semen itu sesudah pemerintah mengambil alih 35% sahamnya belum lama ini. Liem Sioe Liong, salah satu pemegang saham penting di situ, misalnya, tetap berkedudukan sebagai chairman ( presiden komisaris). Pengusaha terkemuka ini masih bisa memberi banyak senyum ketika, pekan lalu, muncul pada peresmian kantor cabang Hongkong Bank di Wisma Metropolitan II, Jakarta. Tapi Liem tak bisa menyembunyikan rasa masygulnya menghadapi sulitnya pemasaran semen di pasar dalam dan luar negeri setahun terakhir ini. Pasar lokal terasa sesak karena tak banyak proyek besar yang berjalan menyerap banyak semen. "Pasar ekspor juga payah karena sulit bersaing dengan semen dari Korea Selatan," katanya. Menurut dia, semen eks Korea bisa dijual dengan harga sekitar US$ 28 per ton sampai di tempat tujuan. "Mereka bisa jual murah karena pakai batu bara bikin semennya," tambah Liem. Tingkat harga itu dianggapnya sulit disaingi, mengingat biaya produksi untuk menghasilkan semen dengan pembakaran gas di sini US$ 40 setiap ton. Usaha meningkatkan daya saing sebenarnya sudah dilakukan pemerintah dengan, misalnya, memberikan sertifikat ekspor. Namun, usaha itu rupanya belum cukup menolong, apalagi jika volume ekspornya masih di bawah satu juta ton setahun, seperti Indocement. "Kalau mau untung, kami harus ekspor tiga juta ton setahun," kata Liem. Sulitnya menembus pasar ekspor itu tentu menyebabkan sasarannya memperoleh dolar dalam jumlah cukup tidak tercapai. Dari dalam negeri Indocement juga tidak memperoleh banyak rupiah. Secara tidak langsung, Liem membenarkan keadaan itu mengakibatkan perputaran dana perusahaan sedikit terganggu. Situasinya jadi serius karena penghasil semen itu mempunyai utang valuta asing cukup besar untuk membangun tanur ketujuh dan kedelapan - dengan kapasitas masing-masing 1,5 juta ton setahun. Dari biaya investasi hampir Rp 350 milyar untuk pembangunan kedua tanur itu, sekitar US$ 120 juta di antaranya berasal dari pinjaman dalam bentuk dolar. Utang yang dibuat pada 1981 ini mulai memprihatinkan gara-gara nilai dolar, sesudah didevaluasi 1983, cenderung menguat - kenaikan kursnya sejak 1981 hingga kini lebih dari 70%. Jika utang ini tak cepat dibabat, bukan mustahil pendapatan rupiah Indocement bakal tersedot habis hanya untuk mencicil utang dolar itu. Untuk mengurangi kerugian karena kenaikan kurs itu, Indocement kemudian berusaha membayar kembali pinjaman yang US$ 120 juta - sekalipun belum jatuh waktu. Dari mana dana diperolehnya? Menurut koran The Asian Wall Street Journal, pekan lalu, empat bank pemerintah (BNI 1946 Bank Bumi Daya, Bank Dagang Negara, dan Bank Rakyat Indonesia) masing-masing menyatakan bersedia memberikan kredit US$ 30 juta. "Tingkat bunga dan jangka waktu pengembaliannya masih dirundingkan," kata seorang bankir pemerintah. Usaha menanggulangi utang sebesar itu, sesungguhnya, sudah dimulai sejak setahun lalu. Persetujuan tampaknya belum bisa dicapai karena, kabarnya, posisi debt equity ratio (perbandingan antara modal sendiri dan utang) Indocement perlu diperbaiki. Upaya itu berhasil dilakukan sesudah pemerintah menyatakan akan melakukan penyertaan modal Rp 364 milyar lebih (35%) - seperti dituangkan dalam peraturan pemerintah No. 32 tanggal 25 Juni 1985. Injeksi dana sebesar ini jelas cukup menyegarkan. Bagi pemerintah, tindakan itu tampaknya merupakan pilihan terbaik. Dengan masuk ke penghasil semen terkemuka itu, yang tahun ini akan mempunyai kapasitas terpasang 7,7 juta ton setahun, pemerintah berharap bisa ikut memelihara kelangsungan pengadaan dan menjaga stabilitas harganya. Dalam menyelesaikan soal Indocement ini, memang, tindakan pemerintah Indonesia mengingatkan orang pada beleid pemerintah Amerika ketika menghadapi krisis pabrik mobil Chrysler. Di tahun 1979 itu, Presiden Carter memutuskan memberikan jaminan pinjaman US$ 1,5 milyar kepada penghasil mobil terbesar ketiga, sesudah perusahaan ini rugi US$ 500 juta. Injeksi pinjaman ini rupanya membawa perbaikan, dan secara berangsur Chrysler bisa memetik keuntungah. Juni tahun lalu, pabrik mobil ini bisa melunasi sisa pinjaman dengan jaminan itu sebesar US$ 813 juta. Tak lama kemudian, Chrysler bisa membeli kembali 14,4 juta sahamnya, yang dijadikan jaminan pemerintah dalam pemberian pinjaman tadi. Dengan membatasi campur tangan itu, pemerintah Amerika akhirnya bisa memperoleh laba US$ 311 juta. Tapi Chrysler beda dengan Indocement. Pabrik mobil ini bisa cepat menaikkan penjualannya karena pemerintah Amerika memberi proteksi cukup kuat dalam menghadapi mobil-mobil Jepang. Dalam soal Indocement, proteksi semacam itu tentu sulit dilakukan. Satu-satunya pilihan adalah mendorong industri itu secepatnya menggunakan bahan bakar batu bara dan memberikan sertifikat ekspor lebih merangsang. Secara terus terang, Liem menyebut bahwa prospek penjualan semen masih cukup berat. Karena alasan itu, rencana pembangunan pabrik semennya di Madura dan Cilacap harus ditundanya. "Tapi tanur kedelapan di Citeureup, Bogor, akan diresmikan Agustus mendatang." katanya. Menurut dia restrukturisasi juga akan dilakukan di Indocement setelah masuknya pemerintah. Enam perusahaan, yang kini mengelola delapan tanur, akan dijadikan satu di bawah nama PT Indocement Tunggal Prakarsa - jadi semacam induk perusahaan. Dan jalan ke sana rupanya sudah dibicarakan Dirjen Moneter Dalam Negeri Oskar Suryaatmaja dengan Liem di Departemen Keuangan, awal bulan ini. Untung bagi Indocement, tindakan pemerintah itu akan banyak menolongnya. Yang belum bernasib baik: puluhan perusahaan kayu lapis seperti Djajanti Djaja, yang terpaksa menunda pembayaran cicilan bunganya karena kesulitan keuangan. Operasi penyelamatan belum dilakukan untuk perusahaan yang punya utang Rp 85 milyar lebih pada dua bank pemerintah ini. Mungkin sedang dipikirkan. Eddy Herwanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus