Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Agar Tim Garuda Perkasa

Akumulasi keprihatinan sekaligus harapan terhadap prestasi sepak bola Indonesia muncul di Kongres Sepak Bola Nasional di Malang, 30-31 Maret lalu. Setelah serentetan pertandingan yang berakhir memalukan di kubu tim nasional kita, stakeholder merasa perlu melakukan pembenahan segera. Salah satunya reformasi total Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia. Faktanya, Indonesia memang belum berhasil menemukan formulasi tepat membangun tim nasional yang mengharumkan Merah-Putih.

5 April 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hendri Mulyadi menggiring bola, melewati dua pemain, dan menembak bola ke gawang. Sayang, tendangannya terlalu lemah, mudah saja ditangkap kiper Oman, Ali al-Habsi. Selanjutnya, Hendri langsung diringkus polisi, digiring ke luar lapangan. Maklum, Hendri bukan pemain bola, melainkan suporter tim Indonesia yang sedang bertanding pada pra-Piala Asia 2011, melawan Oman, Januari lalu.

Inilah drama sepak bola mutakhir Indonesia. Hendri kesal sebelas pemain Indonesia tak kunjung membalas gol tim Oman, yang akhirnya menang 2-1, dalam pertandingan di Stadion Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta.

Hendri tak kesal sendirian. Puluhan juta warga Indonesia, termasuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, kesal dengan prestasi tim Indonesia yang terus merosot. Sebelum dihajar Oman, Indonesia kalah oleh Laos dalam penyisihan Grup B SEA Games di Stadion Chao Anou-vong, Vientiane, Desember lalu. ”Kapan kita bisa ikut Piala Dunia? Bisa ikut dulu, menang urusan lain,” kata Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Alifian Mallarangeng menirukan Presiden, yang mendapat kesempatan memegang trofi Piala Dunia sebelum dibawa ke Afrika Selatan.

Yudhoyono pun meminta wartawan dan Komite Olahraga Nasional Indonesia menggelar sarasehan, yang kemudian menjadi Kongres Sepak Bola Nasional. Niatnya: mencari jalan keluar agar prestasi Indonesia bisa maju kembali, seperti ketika tim nasional sampai ke perempat final Olimpiade Melbourne, Australia, pada 1956, atau setidaknya menjadi juara SEA Games seperti pada 1987 dan 1991.

l l l

Ruang pleno Hotel Santika, Malang, seluas 25 meter persegi tak mampu meredam riuh suara interupsi dan teriakan ”huuu…!” Sebanyak 522 peserta Kongres Sepak Bola Nasional, Rabu pekan lalu, tak kuasa menahan emosi kala rekomendasi akhir Kongres dibacakan Agum Gumelar, ketua tim perumus rekomendasi. Salah satu isinya adalah reformasi total Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI).

Sejak awal, aroma menggulingkan pengurus PSSI yang dipimpin Nurdin Halid sudah tercium. Alasannya, selama masa kepengurusannya sejak 2003, tim Indonesia tak pernah mencapai hasil maksimal. Nurdin pun tahu bahwa dia adalah ”sasaran tembak”. ”Itu semua (pembenahan) sudah dilakukan PSSI tanpa diminta, ketika saya menjadi ketua umum,” ujar Nurdin, yang juga mengaku tak ambil pusing dengan Kongres (lihat ”Masyarakat Tidak Melihat Proses”).

Seburuk apa pun citra PSSI, orang sebenarnya tahu problem sepak bola kita bukan hanya pada organisasi tersebut. Menurut Lalu Mara Satriawangsa, Manajer Tim Pelita Jaya, pemerintah pun punya kontribusi membuat sepak bola Indonesia jalan di tempat sejak era 1990. Pemerintah semestinya berperan mewujudkan program pembinaan sejak sekolah dasar. ”Dengan mengadakan kompetisi seperti POPSI (Pekan Olahraga Pelajar Seluruh Indonesia),” katanya.

Untuk pembinaan bibit sejak dini, sekolah seperti Sekolah Atlet Ragunan perlu diperbanyak. ”Selanjutnya, klub akan membeli pemain untuk kebutuhan tim junior klub,” ujarnya. Uang pembelian itu sebagai pengganti biaya yang dikeluarkan pemerintah.

Sedangkan kompetisi adalah infrastruktur pembibitan, sekaligus seleksi pemain, seperti kompetisi reguler usia muda, Piala Suratin. ”Dengan kompetisi ketat, pemain terpacu dan meningkat kualitasnya. Apalagi saat itulah klub melirik mereka,” kata Lalu. Dari klub, muncul pemain yang bisa menjadi anggota tim nasional.

Tidak hanya di dalam negeri, kompetisi di luar negeri bisa dijadikan gerbang meningkatkan kualitas pemain. Indonesia pernah membina tim nasional dengan mengirim sejumlah pemain remaja mengikuti kompetisi di negeri lain, seperti PSSI Primavera pada awal 1990-an. Sebanyak 24 pemain mengikuti liga junior Italia selama dua musim.

Hasilnya, beberapa pemain dikontrak klub Eropa. Penyerang Kurniawan Dwi Yulianto dikontrak FC Lucerne, Swiss. Bek Sugiantoro alias Bejo sempat ditawar klub Belanda, meski tak berangkat lantaran ada masalah dengan kontraknya. Saat itu biayanya memang gila-gilaan. ”Setiap tahun, seorang pemain butuh US$ 60 ribu, sama saja dengan kuliah,” kata Lalu, yang pernah ikut mencari sponsor PSSI buat melaksanakan program Primavera.

Sebelumnya, di zaman Ali Sadikin sebagai Ketua Umum PSSI, ada program ke Brasil. Setelah Primavera, ada lagi proyek PSSI Bareti, kembali ke Italia, kemudian ke Belanda. Yang terbaru, Imanuel Wanggai dan kawan-kawan yang berusia di bawah 19 tahun dikirim ke Uruguay. Toh, duit Rp 19 miliar yang keluar buat program ini akhirnya tak menghasilkan tim junior yang mantap. Dari tiga kali pertandingan penyisihan Piala Asia U-19, Indonesia kalah dua kali, oleh Jepang dengan skor 7-0 dan oleh Singapura 1-0. Keduanya digelar di Stadion Si Jalak Harupat, Bandung.

PSSI masih akan mengirim pemain ke luar negeri, kali ini setelah seleksi di sekolah unggulan yang akan dibuka di Sawangan, Bogor. Anak usia 13 dan 15 tahun akan tersaring secara teknik, mental, dan pendidikan untuk direkrut klub luar negeri, agar mampu mengikuti kompetisi reguler dan ketat di negeri yang sepak bolanya maju. Untuk proyek ini, Federasi Sepak Bola Internasional (FIFA) telah membantu dana US$ 400 juta, yang merupakan modal awal. Buat menutup kekurangannya, PSSI akan mencari duit sendiri.

l l l

Kemudian soal kompetisi dan luas wilayah Indonesia. Dalam aturan pertandingan modern, pemain tak boleh terlalu capek dalam menjalani pertandingan, karena kualitasnya niscaya turun. Sedangkan jarak Aceh sampai Papua sama dengan Dublin di Irlandia sampai Ankara, Turki. ”Itu kan berapa negara Eropa yang dilewati,” kata Lalu. Saat musim kompetisi, kesegaran pemain tak terpelihara. Bandingkan dengan Inggris, yang jarak antarklubnya hanya ”sejengkal”.

Dalam Indonesian Super League—kompetisi profesional Indonesia—pemain harus berhadapan dengan jadwal tak manusiawi. Dari Aceh, misalnya, mereka terbang ke Kalimantan untuk menghadapi PKT Bontang. Pesawat mendarat di Balikpapan, lalu pemain melalui jalan darat ke Bontang, yang membutuhkan enam jam. Padahal, empat hari sebelumnya, pemain baru bertanding di Aceh.

Selain para pemain lelah, klub ngos-ngosan membiayai perjalanan tim meladeni luas geografis Indonesia. ”Cuma orang gila bola yang mau keluar Rp 25-30 miliar setahun,” kata Lalu. Sehingga hanya klub yang dimiliki pemodal kuat, seperti Pelita Jaya—milik keluarga Bakrie—yang bisa bertahan. ”Dari sponsor hanya seperlima dari total biaya.”

Jadi perlu dibuat sistem kompetisi yang disesuaikan dengan luas wilayah Indonesia. Misalnya membaginya dalam empat wilayah, dan yang terbaik bertemu di final. Di masa Liga Indonesia, wilayah sudah dibagi dua, barat dan timur, tapi dianggap masih terlalu luas.

l l l

Yang juga jadi masalah adalah lapangan, yang jumlah dan kualitasnya minim. Tak ada lagi lapangan gratis. Tanah berubah menjadi gedung kantor dan pusat belanja. ”Untuk lapangan, semua sewa,” kata Ricky Yacobi, pemain nasional Indonesia pada 1980-an. Pada masanya, Ricky kecil biasa bermain bola di depan rumahnya di Medan, meski permukaannya tak rata. Sekarang lapangan itu sudah berubah menjadi perumahan.

Untuk Sekolah Sepak Bola Ricky Yacobi, sang pemilik mesti merogoh kantong untuk sewa lapangan Rp 500 ribu per jam di Senayan. Itu pun bukan standar internasional, yang permukaannya rata. ”Ini perlu untuk latihan mengontrol bola,” katanya. Sebetulnya, menurut dia, dalam penyediaan infrastruktur, diperlukan kerja sama antara pemerintah daerah dan pemilik klub.

Inilah yang dilakukan Jepang saat membangun kompetisi reguler. ”Di tiap daerah, minimal ada dua lapangan standar internasional,” kata bekas pemain Matsushita itu. Ricky, yang pernah mengikuti masa transisi Japan Soccer League yang semiprofesional menjadi J-League yang profesional, menilai Jepang beruntung. Sebab, meski sepak bola bukan olahraga populer kala itu, klub di Jepang dimiliki berbagai perusahaan raksasa yang bisa menggelontorkan duit untuk stadion, latihan, pertandingan, asrama pemain, serta pendidikan pemain junior. Enam tahun setelah liga profesionalnya bergulir, Jepang berhasil tampil di Piala Dunia pertamanya, 1998. ”Tapi saya yakin Indonesia bisa, kok,” katanya.

Pelatih tim Indonesia pada Piala Asia 2007, Ivan Kolev, juga menilai pemain Indonesia bagus. ”Baik dalam menguasai bola dari kaki ke kaki,” ujarnya ketika masih melatih Indonesia. Kekurangannya: stamina masih lemah.

Yophiandi, Rini Kustiani, Andy Marhaendra (Jakarta), Bibin Bintariadi (Malang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus