Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Agar Berjaya Seperti Dulu

5 April 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tim nasional sepak bola Indonesia pernah menorehkan sejarah di pentas olahraga dunia saat Olimpiade di Melbourne, Australia, pada 1956. Tim sepak bola Indonesia juga kerap menyabet gelar juara dalam berbagai ajang olahraga bergengsi di Asia maupun Asia Tenggara, hingga dijuluki ”Macan Asia”. Tapi itu dulu. Kini ”macan” itu seperti sedang sakau.

Berikut ini beberapa pendapat untuk mengembalikan kegarangan ”sang macan”.

Andi Mallarangeng
Pembinaan Sejak Dini

Menteri Negara Pemuda dan Olahraga Andi Alifian Mallarangeng, 47 tahun, mengatakan pembinaan dari usia muda menjadi titik awal pembenahan sepak bola Indonesia. ”Tapi jangan sampai hilang karena tak jelas kelanjutannya.”

Tak hanya sepak bola, menurut Andi, semua cabang olahraga harus memiliki regenerasi yang baik. ”Atlet tidak datang dari langit,” ujarnya. Basis pembinaan pemain sepak bola bisa dimulai dari sekolah dan kompetisi.

Persoalan lainnya, menurut pria kelahiran Makassar ini, pertandingan sepak bola kerap diwarnai kericuhan karena para pendukung kesebelasan datang ke stadion dengan membawa senjata tajam dan membuat rusuh.

Belum lagi masalah teknis atau gaya yang menjadi ciri khas permainan orang Indonesia dalam sepak bola. Apakah gaya tendangan yang melambung dan jauh atau gaya sepak bola jarak pendek dari kaki ke kaki. ”Kita ini strateginya bagaimana, sih?” tanyanya.

Kekalahan tim nasional 2-0 melawan Laos pada Desember lalu, menurut Andi, menorehkan luka karena sejak zaman VOC baru kali ini Indonesia kalah lawan Laos. Dahulu, tutur Andi, ada tiga tim nasional yang semuanya jagoan, yaitu tim nasional Banteng, Harimau, dan Garuda. Karena itu, menurut Andi, dari 230 juta penduduk Indonesia, mestinya tim nasional sepak bola tidak hanya satu. ”Paling tidak tiga tim,” katanya.

Obon Sya’ban
Memperbaiki Kompetisi dan Pola Pembinaan

Banyak yang harus dibenahi dari sepak bola Indonesia, dari kompetisi, pola pembinaan, sampai menangani tantangan luasnya negeri ini. Demikian pendapat Obon Sya’ban, 66 tahun, pemain Persatuan Sepak Bola Bandung periode 1962-1973. Menurut Obon, menilai periode antarkompetisi para pemain bola terlalu dekat. ”Waktu pemulihan fisik pemain singkat,” katanya.

Mekanisme perekrutan pemain nasional juga tidak jelas. Kalau dahulu, kata Obon, ada dua cara, yakni melalui perserikatan dan Liga Sepak Bola Utama (Galatama). Pembentukan tim nasional, menurutnya, juga serba instan dengan cara comot-comot dari klub sepak bola.

Selain itu, kondisi geografis Indonesia yang terlalu luas menjadi kendala. Akibatnya, apabila klub dari Medan akan bertanding dengan klub di Jayapura, dibutuhkan waktu tempuh yang lama dan membuat pemain kelelahan di jalan.

Thio Him Tjiang
Kepercayaan Pelatih dan Penonton

Bagi Thio Him Tjiang, 80 tahun, menjadi pemain sepak bola artinya mendapat kepercayaan penonton dan pelatih untuk bermain dengan baik. ”Resep menjadi pemain bola yang bagus adalah niat dan menuruti apa kata pelatih,” katanya.

Salah satu pemain pada Olimpiade di Melbourne ini mengatakan pemain sepak bola juga harus cerdas menangkap gerakan lawan. ”Itu memang tidak ada pelajarannya,” katanya, ”karena tergantung situasi.”

Him Tjiang menceritakan, awalnya dia enggan masuk gelanggang di Olimpiade karena pergelangan kaki kirinya keseleo. Peraturan kala itu mensyaratkan selama pertandingan berlangsung tidak boleh ada pergantian pemain. Namun pelatihnya, Tony Pogacnik, memintanya tetap bergabung dalam tim nasional, dan berhasil.

Bob Hippy
Perlu Standardisasi yang Benar

Bob Hippy, 65 tahun, geregetan ketika menonton pertandingan tim nasional Indonesia melawan kesebelasan Oman pada awal Januari lalu. Melalui layar televisi, dia melihat seorang pemain Indonesia celingukan di tengah lapangan hijau. ”Padahal bola sudah di ujung sepatunya,” kata pemain sepak bola nasional di Tim Garuda era 1960 ini.

Seharusnya, kata Bob, pemain itu segera memutuskan apakah si kulit bundar akan dioper ke pemain lainnya atau digocek sendiri. Menurut dia, inilah hasil dari ketidakberesan pembinaan sepak bola saat ini. ”Semua tidak ada standardisasinya,” ujarnya. Standardisasi tidak hanya pemain, tapi juga pelatih, wasit, sampai fasilitas olahraga.

Ketua Yayasan Akademi Sepak Bola Intinusa Olah Prima (AS-IOP) ini mengatakan masih ada kesempatan untuk mengembalikan kejayaan sepak bola Indonesia. Jepang, dia mencontohkan, membutuhkan waktu 40 tahun untuk membangun tim sepak bola yang tangguh hingga lolos ke Piala Dunia. ”Stok pemain dalam negeri harus dibentuk dari sekarang,” katanya.

Benny Dolo
Mencari Koki yang Tepat

Tak mudah menciptakan pemain sepak bola yang andal dan tim nasional yang tangguh. Mantan pelatih tim nasional Benny Dolo, 60 tahun, mengatakan, ibarat sebuah restoran, harus ada koki yang pandai meramu bahan hingga tersaji hidangan lezat. ”Koki itu adalah departemen teknis,” katanya.

Departemen teknis yang dimaksud Benny bertugas menentukan siapa pelatih, siapa pemain pada usia tertentu, bagaimana kompetisinya, dan sebagainya. ”Sekarang belum ada fungsi ini,” katanya.

Karena itu masyarakat tampaknya harus lebih bersabar untuk dapat menikmati kemenangan tim nasional sepak bola dalam berbagai pertandingan. Benny mengatakan, untuk menciptakan pemain sepak bola yang baik dan tim nasional yang mumpuni, prosesnya panjang. ”Mungkin perlu waktu lima sampai sepuluh tahun ke depan,” katanya.

Langkah pertama, menurut dia, adalah pembinaan usia dini. Pria kelahiran Manado ini juga menyoroti kurangnya fasilitas untuk berlatih sepak bola. Tim nasional, dia mencontohkan, pontang-panting mencari lapangan sepak bola yang memenuhi standar internasional untuk berlatih, sementara dana masih cekak.

Selama Benny melatih tim nasional periode 2001-2002 dan 2008-2010, tidak ada anggaran dari pemerintah. ”Semua dana dari kocek pribadi,” katanya. Lagi pula, pemain itu adalah milik klub karena dibayar oleh klub, sementara berkiprah dalam tim nasional adalah pengabdian kepada bangsa dan negara. ”Sehingga pemain sulit untuk lepas dari klub,” katanya.

Benny juga meminta masyarakat tidak terlalu pedas mencaci maki pemain tim nasional apabila kalah dalam suatu pertandingan. ”Karena ini menjadi beban mental yang luar biasa,” ujarnya. Kalau memang bosan dengan pemain nasional yang itu-itu saja, menurut Benny, memang karena tidak ada gantinya. ”Proses regenerasi belum jalan.”

Maulwi Saelan
Perlu Reorientasi

Maulwi, 84 tahun, hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala ketika Tempo menanyakan pendapatnya tentang kondisi sepak bola saat ini. ”Mestinya kita bisa menciptakan prestasi yang tinggi,” katanya. Kapten tim nasional yang berhasil lolos ke Olimpiade di Melbourne, Australia, pada 1956 ini menilai harus ada reorientasi tentang sepak bola.

”Jangan hanya memikirkan materi tapi melupakan kebangsaan,” katanya, menunjuk pemain sepak bola sekarang yang menggunakan sistem kontrak dan dapat bonus jika berhasil mencetak gol.

Kompetisi yang benar, menurut Maulwi, juga menjadi salah satu cara untuk membangun kesebelasan nasional yang tangguh. Ketika menjabat Ketua Umum Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia periode 1964-1967, Maulwi membuat pertandingan pada tiap tahapan usia. Pemain di bawah 19 tahun, misalnya, mengikuti Kejuaraan Piala Suratin.

Maulwi juga menyarankan untuk mengurangi pemain asing. ”Belum tentu tekniknya lebih unggul daripada kita,” katanya.

Rini Kustiani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus