Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Jalan Sbori hingga ’Ekspor’ Pemain

Ada beberapa cara membentuk tim nasional andal bila tidak ada kompetisi domestik bermutu. Latihan ala militer, naturalisasi, atau mengizinkan pemain merumput di klub maju.

5 April 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jia Xinyao, pemain tim nasional Cina U-15 dalam Asian Youth Games Singapura , mengaku heran terhadap sikap para pemain Korea Utara. Mereka sama-sama delegasi dari negara komunis, tapi ”kamerad” dari negara tetangganya itu selalu tertutup. ”Kami sering berpapasan di hotel, tapi mereka sama sekali tak berbicara,” kata Jia. Skuad Korea Utara mengurung diri di kamar ketika rekan-rekannya dari Cina, Korea Selatan, atau Arab Saudi bercanda di lobi Hotel Swissotel the Stamford.

Sikap misterius itu membuat sesi latihan tim Korea Utara menarik perhatian banyak orang. Mereka curiga, ada sesuatu yang aneh dari manajer tim, Cho Won-cho, saat menggembleng pemainnya. ”Padahal cara berlatih kami biasa saja,” kata Cho, yang berhasil membawa timnya meraih medali perak setelah kalah 0-2 dari Korea Selatan.

Cho sadar ada banyak gunjingan tentang cara berlatih tim nasional Korea Utara. Misalnya, mereka berlatih di kamp militer, berendam di kubangan es, sampai meminum ramuan tradisional khusus. Pasalnya, kompetisi domestik negeri komunis itu berkualitas rendah—tidak lebih baik dari Liga Super Indonesia. Tapi tim nasional Korea Utara meraih banyak sukses.

Lihatlah daftar prestasi mereka: juara Piala Asia U-17 pada 2006, runner-up Piala Asia U-15 untuk 2006, runner-up U-14 di Singapura 2009, juga perempat finalis Piala Dunia U-17 pada 2005. Di kategori wanita, Korea Utara adalah pemegang gelar juara U-20 (2006) dan U-17 (2008). Puncaknya, Chollima—pasukan kuda terbang—senior melaju ke Piala Dunia 2010. Mereka kembali berjaya setelah 44 tahun—ketika itu Park Do-ik dan kawan-kawan mempermalukan Italia, membawa negaranya maju ke perempat final di Inggris, 1966.

Melatih pemain secara keras di kamp militer bukan tuduhan tanpa dasar. Sebab, ini hal yang jamak di negara komunis. Sebelum pecah menjadi banyak negara pada 1991, Federasi Sepak Bola Uni Soviet juga melakukannya. Mereka menyebut kamp sepak bola itu dengan istilah sbori. Meski memiliki kompetisi lebih baik, liga Soviet saat itu dijalankan mirip dengan Korea Utara sekarang: klub-klubnya didanai pemerintah, pemainnya digaji rendah, minim pemain asing. Di tim Korea Utara malah tak ada pemain asing.

”Terkadang saya merasa mereka melatih kami untuk menjadi anggota pasukan khusus militer,” tutur Vladimir Beschastnykh, mantan top scorer Rusia yang pernah bermain untuk Uni Soviet. Para pemain berlatih di sbori, biasanya di Pantai Laut Hitam, Rusia Selatan, selama empat bulan sebelum kejuaraan. Hasilnya, dari 1958 sampai 1970 Uni Soviet minimal menembus perempat final Piala Dunia.

Adapun ihwal kamp Korea Utara, Park Tae-woon mengaku punya informasi. ”Pertama, mereka memanggil para pemainnya untuk dilatih selama setahun,” kata wartawan dari Korea Selatan ini. ”Mereka berlatih layaknya pasukan militer, berlari terus-menerus, tanpa metode ilmiah.”

Apakah kamp militer untuk sepak bola semacam itu masih ada? Rusia, ahli waris Uni Soviet, tak lagi menggunakan metode keras ini. Dalam asuhan pelatih asal Belanda, Guus Hiddink, Rusia sukses menembus semifinal Piala Eropa 2008—setelah terakhir kali Uni Soviet melakukannya pada 1988—sama sekali tanpa kekerasan.

Korea Selatan pernah punya klub mercusuar bernama Yangzee, yang dikendalikan oleh dinas rahasia negeri itu. Para pemainnya dilatih ala militer, digaji tinggi, diberi asupan gizi terbaik, sehingga menyumbang tiga perempat pemain untuk skuad nasional. Yangzee cuma berumur tiga tahun (1967-1970). Pada masa itu pula, prestasi sepak bola Negeri Ginseng gelap-gulita: tak lolos Piala Dunia dan Piala Asia.

Korea Selatan, juga Jepang, akhirnya memilih memajukan kompetisi domestiknya untuk mematangkan pemain bagi kepentingan tim nasional. Pada Piala Dunia 2002, Korea Selatan menjadi tim Asia pertama yang menembus semifinal.

Bagaimana dengan Korea Utara? Tak ada yang bisa memastikan karena tertutupnya informasi. Hanya, setiap pemain Tim Nyamuk Merah—julukan lain Korea Utara—memiliki semangat patriotisme dosis superbesar, yang bisa saja bersumber dari kamp militer, tapi bisa pula dari tempat lain.

Dengarlah ucapan Ri Myong-guk. ”Saat menjaga gawang, rasanya seperti tengah menjaga gerbang tanah airku,” ujar kiper dari klub Pyongyang FC itu. ”Pemain terpenting kami adalah Pemimpin Tercinta. Dia menebarkan ketakutan di benak para musuh kami, dia memberikan kekuatan pertahanan yang lebih hebat daripada seribu bek dan sepuluh juta kiper.”

Pemimpin Tercinta yang dimaksud adalah Kim Jong-il, Sekretaris Jenderal Partai Buruh sekaligus pemimpin tertinggi Korea Utara. Pria berusia 69 tahun inilah yang melarang tim nasional mereka mengikuti dua kali kualifikasi Piala Dunia, 1998, dan 2002, karena malu dikalahkan Korea Selatan pada kualifikasi Piala Dunia 1994. Kim juga yang tak membolehkan siaran langsung pertandingan internasional dan mencegah pemainnya memperkuat klub asing.

Namun, setelah gagal pada kualifikasi Piala Dunia 2006, Kim mulai lebih longgar. Inilah kunci sukses menembus Afrika Selatan 2010. Pertama, menerima Zainichi, yaitu orang-orang Korea kelahiran Jepang, semacam Jong Tae-se dan Ahn Yon-hak. Keduanya terbiasa bermain di J-League, Jepang—sebuah kompetisi yang bermutu. Jong dan Ahn menjadi pilar Korea Utara.

Kedua, membolehkan, bahkan membantu, kepergian pemain untuk merumput di Eropa. Ini cara yang alamiah. Bila tak memiliki kompetisi domestik berlevel atas, kirim atau carilah pemain dari kompetisi negara lain yang kualitasnya bagus.

Negara-negara Afrika lazim mendekati pemain yang masih memiliki ikatan darah dengan mereka. Frederic Kanoute, misalnya, adalah pemain kelahiran Prancis yang besar di Liga Prancis, Inggris, dan Spanyol. Tersadar akan ikatan darah, Kanoute lantas memilih Mali sebagai negaranya dan sukses menjadi kapten tim nasional Mali, negara kelahiran ayahnya. Ibunya asli Prancis.

Jepang menjadi contoh unik. Selain memperbaiki kualitas liganya, Jepang tak mengharamkan proses naturalisasi dalam merekrut pemain untuk tim nasional mereka. Sejak 1998 sampai sekarang, minimal ada satu pemain keturunan Brasil di Tim Matahari Terbit. Namun ini tidak ”segila” Qatar, yang menyeleksi 400.000-an pemain muda dari tujuh negara tetangga untuk dijadikan skuad masa depan.

Slovenia dan Trinidad-Tobago tak memiliki kompetisi domestik yang baik. Slovenia adalah negara berpenduduk tersedikit dari 32 kontestan Piala Dunia 2010. Trinidad juga merupakan negara peserta terkecil sepanjang sejarah Piala Dunia saat lolos ke Jerman 2006. Tapi mereka memiliki pemain yang tersebar di liga besar Eropa. ”Pekerjaan saya dipermudah karena belasan pemain kami bermain di Liga Inggris dan Skotlandia,” ujar pelatih Belanda yang meloloskan Trinidad saat itu, Leo Beenhakker.

Sebagai catatan, semua peserta Piala Dunia 2010 pasti memiliki pemain yang merumput di Eropa. Meski telat, Korea Utara kini mencontoh mereka. Pada 2007, pemain muda Choe Myong-ho mulai bermain di Liga Rusia bersama klub Krylia Sovetov Samara. Choe tidur sekamar dengan Chang Dal-hon, yang bertindak sebagai penerjemahnya meski penguasaan bahasa Rusia ”si penerjemah” buruk. Banyak yang yakin, Chang adalah intel yang bertugas mengawasi Choe.

Pada 2008, Pak Chol-ryong dan Kim Kuk-jin menjadi dua pemain Korea Utara pertama yang merumput di Eropa Barat setelah menandatangani kontrak dengan klub Swiss, FC Concordia Basel. Setahun berikutnya, Kim pindah ke FC Wil. Masing-masing memiliki seorang penerjemah yang juga tidur dalam satu kamar.

Pemain lain Korea Utara yang bermain di klub asing adalah Hong Yong-jo, yang mulai merumput di Eropa bersama FK Bezanija, Serbia, 2007, dan pindah ke Rusia bersama FC Rostov. ”Saya harus memperbanyak latihan karena partai mengirim saya ke Rusia untuk memajukan sepak bola negeri kami,” katanya. Hong adalah kapten Chollima. Beberapa tahun lagi, tugasnya bakal digantikan adik-adiknya, skuad junior Korea Utara, yang pendiam tapi garang di lapangan.

Andy Marhaendra (FIFA, Guardian, Sport Express)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus