Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Akhir Perjalanan Si Anak Jamaika

Ben johnson yang menjuarai lari 100 m di olimpiade seoul terbukti memakai obat perangsang. juaranya di cabut. sudah banyak yang jadi korban, tapi doping tetap digemari. beberapa cara untuk doping.

8 Oktober 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SETELAH mengamati telapak tangan sang anak, peramal tua itu berkata, "Suatu hari nanti kamu akan jadi orang terkenal dan bepergian keliling dunia." Peristiwa kecil yang terjadi di sebuah jalan di Jamaika belasan tahun yang lalu itu dianggap cuma bualan biasa seorang ahli ramal jalanan. Bagaimana mungkin anak berumur 12 tahun itu kelak jadi seorang terkenal? Ia hanya putra seorang pegawai telepon. Kulitnya hitam, tubuhnya kurus, dan gagap. Terbukti di belakang hari ramalan pak tua itu tak salah. Hanya dua belas tahun kemudian, nama Benjamin Sinclair Johnson Jr. atau lebih dikenal sebagai Ben Johnson, mulai melejit ke seantero dunia. Ia menjuarai lari 100 meter dalam sirkuit atletik musim panas Eropa di Zurich, Swiss, Agustus 1985. Anak ceking tadi kini sudah tumbuh menjadi seorang pemuda yang tegap, dengan tubuh dililit tonjolan otot. Memang ia tidak memecahkan rekor apa pun, tapi tak urung peristiwa itu menggegerkan dunia atletik, sebab Ben mempecundangi pelari paling terkemuka di dunia saat itu, Carl Lewis dari Amerika Serikat. Dua tahun kemudian, dalam kejuaraan dunia atletik di Roma, September 1987, namanya betul-betul meroket. Ketika itu ia mampu menyelesaikan jarak 100 meter hanya dengan waktu 9,83 detik. Artinya, pelari Kanada kelahiran Jamaika ini telah memecahkan rekor dunia, 9,93 detik, yang diciptakan pelari Amerika Serikat, Calvin Smith. Padahal, saat rekor Calvin Smith tercipta di kejuaraan atletik musim semi di Colorado, AS, Juli 1983, dunia sudah terkejut. Sebab, Smith berhasil menembus batas 10 detik, yang disebutkan oleh Brutus Hamilton, pakar atletik dari University of California, tak akan mungkin ditembus oleh manusia untuk jarak 100 meter. Tak aneh kalau para ahli kemudian membuat ramalan baru, rekor yang dipatok Ben Johnson itu akan bertahan setidaknya dalam 50 tahun. Ternyata, Ben cuma butuh waktu setahun untuk memperbaiki waktunya itu. Lewat tengah hari waktu setempat, di Seoul, Korea Selatan, Sabtu dua pekan lalu, Ben cuma membutuhkan waktu 9,79 detik untuk melintasi tartan sejauh 100 meter itu. Bukan main. Dan ini ia lakukan di arena Olimpiade Seoul yang diikuti semua jago lari paling hebat di bumi ini. Lihat saja nama-nama yang ia pecundangi. Selain Carl Lewis, ada Calvin Smith, dan ada pula bintang Inggris, Linford Christie. Tapi hanya dua hari medali emas 100 meter putra olimpiade itu di tangan Ben. Senin pekan lalu, komisi medis IOC (International Olympic Committee) mengirim surat pada ketua kontingen Kanada di Olimpiade Seoul, Carol Anne Letheren memberitahukan bahwa dari tes yang dilakukan ternyata air seni Ben Johnson mengandung stanozolol, sejenis obat turunan dari steroid anabolik yang terlarang untuk para atlet olimpiade. Tes itu memang baru terbatas pada air seni Ben dalam sampel A. Tes sampel B akan dilakukan pukul 10 pagi itu, dan pihak Kanada dipersilakan hadir menyaksikannya. Maka, pagi itu tiga staf kontingen Kanada yang terdiri atas pimpinan tim atletik, Dave Lyon, pelatih Ben Johnson, Charlie Francis, dan ketua tim medis kontingen, Dr. Bill Stanish, menyaksikan tes sampel B itu, yang berlangsung tiga jam penuh. Hasilnya: positif. Maka, keputusan pun jatuh: Medali Ben dicabut. Federasi Atletik Internasional (IAAF) menjatuhkan hukuman: melarang Ben bertanding selama dua tahun. Selasa pagi keputusan itu diberitahukan pada Ben. Dan sekitar pukul 10 pagi, Ben meninggalkan Seoul dan pulang ke Kanada. Rumah Ben yang besar, berdinding batu bata cokelat, di Scarborough, kota satelit Toronto, segera dijaga sejumlah polisi. Tapi tak satu pun wartawan bisa menemui Ben, kecuali dua wartawan TV dari Amerika Serikat. Mereka bisa masuk rumah karena membawa panganan dan pisang dari Jamaika, negeri leluhur Ben. Itu pun mereka hanya diizinkan lima menit di dalam rumah. "Ia tampak lesu dan menyatakan terima kasih atas perhatian dan dukungan yang diberikan," kata wartawan tersebut pada orang yang mengerumuninya begitu ke luar rumah. Toh Ben tampaknya masih tetap pahlawan negeri berpenduduk 26 juta itu. Menteri Olah raga Jean Charest -- yang telah diminta mundur oleh pihak oposisi karena peristiwa ini -- pada mulanya berang. Ia menyerukan agar Ben dilarang bertanding seumur hidup di Kanada. Tapi kemudian ia menyatakan agar tuduhan doping terhadap atlet itu diteliti sedalam-dalamnya. "Karena ada dugaan Ben Johnson kena sabotase." Ben sendiri, setelah beberapa hari mengunci diri, akhirnya, Jumat pekan lalu, memberikan keterangan kepada wartawan koran The Toronto Sun. "Saya tak pernah tahu telah meminum obat terlarang," katanya. Dalam wawancara itu, Ben yang tampak letih dan murung mengaku bahwa menjelang pertandingan yang menentukan di hari Sabtu itu, ia disuntik oleh dokter pribadinya, George Mario Astaphan. Suntikan itu merupakan antiperadangan kelenjar hormon untuk mengatasi luka di tumitnya. Ia tak curiga suntikan itu sebagai obat terlarang karena ia amat mempercayai sang dokter. "Ia sudah seperti bapak saya sendiri. Saya sangat mempercayai dia," katanya. Seperti biasa, sebelum pertandingan itu, ia hanya minum sarsaparilla yang dicampur dua kerat akar ginseng, yang disarankan Astaphan, karena berkhasiat untuk menambah energi. "Saya tidak bersalah dan saya siap untuk membuktikan itu," katanya dengan menahan genangan air di matanya. Tak lupa ia sampaikan tekadnya merebut kembali medalinya yang dirampas itu di Olimpiade Barcelona, empat tahun mendatang. Setelah skandal ini, sulit meramalkan karier Ben selanjutnya. Tekad yang diikrarkannya untuk meraih emas di Barcelona merupakan sesuatu yang tampaknya mustahil bila diingat sekarang saja umurnya sudah 27 tahun. Apalagi berbagai prestasi ajaib yang lahir dari kecepatan kaki Ben selama ini sekarang diragukan. Sebab, seperti diungkapkan Gary Lubin seorang pelatih senior di Canadian Track and Field Association (semacam PASI di sini), empat hari sebelum dan sesudah kejuaraan atletik dunia di Roma, Agustus tahun lalu itu, Ben Johnson telah mendapat "obat ekstra" dari dr. George Mario. Hari itu, ketika Ben membuat start seperti kilat, di pinggir lapangan, dokter pribadi Ben yang biasa dipanggil Jamie itu berkata pada Gary. "Anda lihat start Ben yang indah ?" Gary menggumam, "Hebat sekali." Saat itulah Jamie membongkar rahasia kehebatan anak asuhnya itu. Bahwa Ben sudah mendapat sejenis obat yang sebenarnya terlarang. Gary mengaku waktu itu ia memperingatkan Jamie bahwa tindakan itu berbahaya, tapi Jamie tidak mau peduli. "Sejak itu perasaan bersalah menghantui saya sampai hari ini. Sekarang beban itu saya lepaskan pada kamu dan saya merasa lega," kata Gary Lubin kepada sejumlah wartawan di depan rumah Ben Johnson, pekan lalu. Tapi yang pasti Ben baru tertangkap basah di Seoul. Stanozolol yang dikelompokkan dalam obat perangsang steroid anabolik atau testosteron memang amat digemari para atlet belakangan ini. Soalnya, bila sang pemakai menghentikan pemakaiannya dalam beberapa minggu, jejak obat itu di air seni bisa hilang tak terdeteksi. Selain itu ada probenicid, sejenis zat yang bisa mengkamuflasekan testosteron. Bila zat itu ditelan beberapa jam sebelum waktu pemeriksaan air seni, testosteron bisa tak terdeteksi. Steroid anabolik dalam jumlah kecil sesungguhnya ada di dalam tubuh manusia, berfungsi untuk memperbaiki jaringan yang rusak. Sekitar 12 tahun yang lalu, steroid anabolik buatan mulai dikenal dan digunakan untuk orang yang menderita penyakit sehingga tidak mampu memproduksi hormon itu sejumlah yang diperlukan. Misalnya untuk orang kurang gizi, luka bakar yang hebat, atau kanker. Tapi kemudian obat ini dianggap bisa merangsang atlet untuk memacu prestasi karena bisa menambah kekuatan tubuh. Ia pun akrab dengan -- terutama -- atlet angkat besi yang membutuhkan tenaga ekstra seketika. Dari penelitian para ahli khasiat hormon ini hanya terbatas: mampu memperlambat rasa lelah. Sehingga, porsi latihan sang atlet bisa meningkat. Dalam olimpiade di Moskow, 1980, diduga sudah banyak atlet yang menggunakannya. Kecurigaan terutama pada para perenang putri Jerman Timur yang memiliki otot kelaki-lakian dan suara yang rada besar. Itu memang termasuk efek samping steroid anabolik, selain tumbuhnya jenggot pada wanita. Tapi hasil pemeriksaan laboratorium olimpiade itu tak berhasil menangkap seorang atlet pun. Baru setelah itu, Profesor Manfred Donike dari Jerman Barat menemukan metode yang tepat melacak hormon buatan itu di air seni, yaitu dengan melihat normal tidaknya jumlah hormon itu di dalam tubuh seseorang. Maka, dalam sidang Komite Olimpiade Internasional (IOC) di Pasadena, Amerika Serikat, Februari 1982, diputuskan bahwa hormon itu diharamkan untuk para atlet. Sebab, menurut para ahli perangsang itu bisa menyebabkan kanker, memperkecil buah zakar, dan menurunkan produksi sperma. Sebenarnya, ada puluhan jenis obat terlarang lainnya yang dinyatakan haram oleh IOC. Di antaranya yang pernah amat luas pemakainya ialah amfetamin, yang konon mampu meningkatkan stamina tubuh dan banyak dipakai oleh atlet balap sepeda dan lari jarak jauh. Kemudian ada pula beta blockers, obat antistres yang lazim dipakai para atlet menembak yang membutuhkan konsentrasi tinggi. Yang unik, ada pula yang disebut blood doping. Ini semacam doping yang amat canggih. Secara sederhana bisa disebut seperti ini darah seorang atlet yang telah mencapai kondisi bertanding, beberapa minggu menjelang turun ke gelanggang, diambil kira-kira satu liter. Darah itu diawetkan sehingga sel darah merah yang ada tetap segar. Setelah tubuh si atlet mencapai pemulihan kondisi semula, darah yang satu liter tadi disuntikkan kembali. "Saat itu HB darah di atlet akan meningkat," kata dr. Sadoso Sumosardjuno, ahli kedokteran olahraga itu, kepada TEMPO. Bukankah setiap atlet membutuhkan HB darah yang tinggi? Tapi cara ini belum dimasukkan IOC sebagai perbuatan doping. Mungkin karena selain doping darah ini harus dilakukan para ahli, efek sampingnya belum ditemukan. Atlet Finlandia, Lasse Viren, pernah melakukan doping model begini dan ia meraih medali emas untuk 5.000 dan 10.000 meter dalam Olimpiade Montreal, 1976. Pemakaian obat untuk meningkatkan prestasi olahraga sebenarnya sudah ribuan tahun dilakukan. Yang dipakai mula-mula ramu-ramuan dari tetumbuhan. Ingat, 'kan dalam komik Asterix, dukun Panoramix meramu sejenis jamu kuat yang bisa membuat peminumnya menjadi kuat luar biasa untuk sementara waktu. Bahkan si gendut Obelix tumbuh kuat luar biasa karena waktu kecil kecemplung dalam kuali adukan obat kuat. Penggunaan obat perangsang secara terus-menerus dan dalam dosis yang tak terkontrol lagi sebenarnya telah menimbulkan banyak korban. Pada tahun 1890, untuk pertama kali dideteksi, seorang pembalap sepeda Inggris meninggal dunia karena menggunakan obat perangsang efedrin. Dick Howard, pemegang medali emas lari gawang dalam Olimpiade Roma, 1960, meninggal pada 1961, karena dosis amfetamin yang berlebihan. Karena amfetamin pula, pembalap sepeda Inggris, Tom Simpson, kehilangan nyawanya ketika mengikuti Tour de France 1967. Terakhir, April tahun lalu, Dressel, atlet wanita dari Jerman Barat, menemui ajalnya karena menggunakan bermacam obat. Seorang pelatih atletik di Amerika Serikat pernah mengumpulkan lebih 100 pelari di negerinya dan mengajukan soal. "Saya bisa memberikan obat yang bisa menjadikan kamu juara olimpiade. Tapi setahun kemudian obat ajaib itu akan membunuh kamu. Bersediakah kamu menelannya?" Jawaban yang diterima Bob Bauman, sang pelatih, cukup mengagetkan: lebih separuh atlet menyatakan siap menelan pil itu. Tak aneh kalau dalam setiap olimpiade ada saja atlet terlibat doping. Malah bekas pelari jarak menengah Inggris terkenal, Sebastian Coe, memperkirakan lebih 50% atlet kelas dunia sudah terlibat dalam penggunaan obat perangsang. Naim Suleymanoglu, atlet angkat besi yang membelot dari Bulgaria dan pindah ke Turki, negeri leluhurnya, mengatakan bahwa di Bulgaria para atlet malah dipaksa pelatih memakai obat perangsang. "Kalau menolak, Anda dikeluarkan dari tim," kata atlet yang berhasil menyumbangkan satusatunya medali emas untuk Turki dalam Olimpiade Seoul. Di Seoul, selain Ben Johnson, setidaknya ada tujuh atlet lainnya yang terbukti melakukan doping. Dua di antaranya, Mitko Grablev dan Anguelov Guenchev, peraih medali emas angkat besi dari Bulgaria. Jumlah ini masih kalah dibanding 11 atlet yang tertangkap basah melakukan hal yang sama dalam Olimpiade Los Angeles, empat tahun yang lalu. Tapi kali ini doping lebih banyak dibicarakan karena yang terperangkap seorang kakap, Ben Johnson. Ben dilahirkan di Falmouth, pantai utara Jamaika, 30 Desember 1961. Sang ibu, Gloria, membawanya merantau ke Toronto. Ibu ini menjadi pelayan kafetaria untuk menghidupi enam anaknya. Untunglah, dalam usia 14 tahun Ben berkenalan dengan pelatih atletik, Charlie Francis. Orang inilah kemudian yang mengubah kehidupan Ben. Setelah menjadi juara dunia di Roma itu, hidup Ben bersimbah duit. Sebuah rumah yang mewah miliknya hampir selesai di Markham, pinggiran Toronto. Ia punya mobil mewah Ferrari dan Porche, dan berpenghasilan Rp 42 juta/bulan. Tapi setelah kejuaraan Roma tadi prestasinya melorot terus. Dalam satu kejuaraan di Zurich, Agustus yang lalu, ia ditaklukkan Carl Lewis. Empat hari kemudian, di Cologne, Jerman Barat, ia tak juga jadi juara meskipun Lewis tak ikut berlomba. Cedera pada urat di belakang lututnya amat mengganggu dan tak juga sembuh. Wajar kalau ia merasa terancam di Seoul, event yang paling penting itu. Itu sama artinya ia kehilangan popularitas dan uang sebagai orang nomor satu selama ini. Tapi setelah rahasia ini terbongkar, bisnisnya turut berantakan. Yang jelas, kontraknya untuk berlari di Tokyo seusai olimpiade, dengan "uang tampil" US$ 250 ribu, batal. Kontraknya sebagai bintang iklan sepatu sport Italia, Diadora, yang bernilai sekitar US$ 2 juta juga dicabut. Poster Ben di pompa bensin milik Kyodo Oil di Tokyo -- yang juga menggunakan tampangnya -- sudah diturunkan. Begitu pula hubungannya dengan perusahaan mobil Mazda dan Toshiba, serta enam perusahaan Jepang lainnya yang beroperasi di Kanada sudah buyar. Semuanya bernilai milyaran rupiah. Apa boleh buat, tangan mencencang, bahu memikul. Amran Nasution, Toeti Kakiailatu, Yusril Djalinus

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus