MENJELANG pertengahan tahun 1950-an, di bawah nama taktik front persatuan nasional, Aidit dan kawan-kawan yang baru saja merebut kepemimpinan PKI, mendekati Bung Karno dan Partai Nasionalis Indonesia (PNI). Kerja sama itu kemudian dibikin komplet dengan munculnya NU sebagai salah satu kekuatan politik. Kebetulan inilah yang diingini Bung Karno, dan terciptalah suatu "persatuan nasional berporoskan Nasakom". Aidit dan kawan-kawan mengesahkan strategi baru itu dalam Kongres Nasional PKI kelima pada 1954. Di sana dijelaskan, karena persatuan antara golongan buruh dan tani masih belum kuat, halal bagi PKI untuk bekerja sama dengan golongan yang disebutnya "borjuis nasionalis", yang tak lain dari Bung Karno dan PNI. Sejak itu, setidak-tidaknya secara politis, Sukarnoisme identik dengan komunisme. Kebetulan kesimpulan Aidit itu, setidaknya begitulah menurut David Mozingo yang menulis Chinese Policy toward Indonesia, 1949-1967 (1976), sejalan dengan kebijaksanaan gerakan komunisme internasional pada waktu itu. Mozingo mengatakan, politik PKI yang mendekati "borjuasi nasional" itu dianut setelah Uni Soviet maupun RRC melihat potensi Indonesia sebagai bagian dari kelompok negara netral yang tak mengekor kepada politik pembendungan Amerika di tahun 1950-an. Di samping itu, memang kondisi obyektif Indonesia menyebabkan Aidit tak punya alternatif lain. Malangnya, kerja sama dengan "borjuasi nasional" itu justru telah menghanyutkan partai komunis terbesar di luar dunia komunis itu. Strategi yang tadinya hanya alat mencapai tujuan sekarang telah menjadi tujuan itu sendiri. Dari hari ke hari, terutama setelah Dekrit 5 Juli 1959, kekuasaan makin terpusat di tangan Bung Karno. Sebenarnya, teori Marxis-Leninis membolehkan sebuah partai komunis bekerja sama dengan kekuatan "progresif-revolusioner" lain, asal saja partai itu memegang peranan penentu di dalamnya. Celakanya buat PKI, mitranya dalam front persatuan itu adalah Bung Karno yang penuh karisma, sehingga kemudian PKI-lah yang lebih memerlukan Bung Karno ketimbang sebaliknya. Dan Bung Karno bukan komunis. Oleh karena itulah, ketika Bung Karno tidak merestui G-30-S/PKI, gerakan itu gagal total. Tak lama setelah PKI terjungkir dari pentas politik Indonesia, sisa-sisa pengikutnya di luar negeri terpecah menjadi dua aliran utama: yang pro-Moskow dan pro-Beijing. Pernyataan sayap Moskow yang disiarkan pada Maret 1967 pada satu pihak menyebut tepatnya garis strategi yang disahkan oleh Kongres PKI Kelima pada 1954. Tapi di pihak lain ia mengkritik kebijaksanaan Aidit yang "meletakkan kepentingan nasional di bawah perjuangan kelas". Sebagai akibat kesalahan taktik ini, demikian kata kritik tersebut, PKI lebih meletakkan harapannya pada kaum tani dan bukan pada kaum buruh. Malah ia melakukan kesalahan lebih besar dengan menyandarkan diri pada kaum borjuasi nasional. Barangkali dilihat dari strategi kaum komunis secara global, kritik sayap Moskow itu ada benarnya juga. Tapi, sebelum 1957 PKI merupakan suatu partai terpencil. Kesetiaannya diragukan, dan yang penting aksinya di Madiun pada 1948 membuat Angkatan Darat tetap curiga. Jadi, Aidit tak punya alternatif lain selain bekerja sama dengan "kekuatan-kekuatan progresif revolusioner lain" di luar PKI. Sayap Beijing sebaliknya melihat kegagalan PKI dari kaca mata Maois. Ia memandang PKI di bawah Aidit sudah kejangkitan penyakit "revisionisme modern". PKI, katanya, sejak 1954 sudah berubah menjadi suatu partai borjuis. Para pemimpin dan kadernya telah mengalami proses "pemborjuisan". Itu sebagai akibat kedudukan para pemimpin dan kadernya dalam pemerintahan yang borjuis dan hubungannya dengan golongan borjuis nasional. Sementara itu, konsesi-konsesi politis juga diberikan kepada kaum borjuis nasional itu, sehingga PKI tenggelam di dalamnya. "PKI telah terperosok di dalam perjuangan yang berbau parlementer dan legalistis," demikian kira-kira kesimpulan sayap Beijing. Salah satu kelemahan PKI utama lain adalah kegagalannya membentuk sayap militer yang berada dalam penguasaan partai. Dari situ bisa diambil kesimpulan bahwa apa yang dilakukannya di Madiun pada 1948 merupakan suatu kesalahan langkah yang sangat besar. Lantaran setelah itu Angkatan Darat selalu memasang kuda-kuda untuk setiap saat berhadapan dengannya. Siasatnya untuk menggerakkan "perwira-perwira yang berpikiran maju" pada 1965 juga tak berhasil karena itu ternyata tidak direstui Bung Karno, orang yang paling berkuasa di Indonesia pada waktu itu. Ketika semuanya gagal, sisa-sisa PKI beralih ke strategi militer ini dengan meniru siasat Maois, yakni dengan mendirikan bsis-basis gerilya di Blitar Selatan. Taktik yang digunakannya adalah bersandar kepada kaum tani dan melaksanakan strategi "desa mengepung kota". Blitar Selatan akan menjadi semacam Yan'an, basis revolusi Mao di Cina pada 1937-1945. Sekali lagi PKI salah perhitungan. Wilayah Blitar Selatan walaupun medannya cocok untuk perang gerilya, kurang terpencii seperti Yan'an. Karena itu, pasukan-pasukan pemerintah dengan mudah dapat menghancurkannya dalam tempo yang relatif pendek. Para pemimpin sisa-sisa PKI mungkin tak memperhatikan, berbeda dengan tentara Kuomintang, Angkatan Darat tumbuh dari suatu tradisi militer gerilyawan. Mereka juga telah terlatih menghadapi gerilyawan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini