LUAR biasa Korea, luar biasa. Ketika para atlet maraton berlari menyusuri jalanan, air Sungai Han mengaiir tenang. Air dan jalan di Seoul seperti beriringan, lurus atau berliku. Hijau rumput dan pepohonan bagai menyatu dengan para atlet yang berpacu. Dan, lihatlah wajah penonton yang hangat dan akrab. Mereka melambaikan tangan menyambut pelomba, menjadikan Olimpiade XXIV itu teramat manis. Tak ada wajah garang mahasiswa dengan senjata bom molotovnya. Tak ada gerakan kelompok oposisi yang siap bentrok dengan polisi dan yang sebulan lalu masih memanaskan Korea dengan demonstrasi. Tak ada semua itu. Dengan tenang dan semarak, olimpiade pun berlalu. Inilah pesta yang disebut Juan Antonio Samaranch -- Presiden Komite Olimpiade Internastional (IOC) -- "pertandingan terbaik dan paling universal sepanjang sejarah." Sebuah keberhasilan yang sulit ditandingi negara lain. Korea Selatan memang mengejutkan. Olimpiade Seoul tentulah hasil kerja sulap mereka. Sungai Han yang keruh kotor diubahnya menjadi paru-paru arena. Rumah-rumah petak di timur Seoul dipukul roboh, lalu ditumbuhi permukiman atlet. Maka tegaklah Seoul Sport Complex. Tegaklah Olympic Park, lengkap dengan fasilitas paling mutakhir. Pemerintah, 40 juta penduduk, ribuan perusahaan, dan ratusan ribu petugas keamanan bahu-membahu mempergelarkan pesta terbesar ini. Mereka meyakinkan dunia: Korea Selatan pantas menjadi tuan rumah olimpiade. Bahkan terbaik. Dan mereka berhasil. Sebanyak 13.000 lebih atlet dari 161 negara ikut ambil bagian dalam Olimpiade Seoul, jumlah peserta terbesar sepanjang sejarah. Kalaupun ada cacat, hanya ketidakberhasilan mereka membujuk saudaranya -- Korea Utara yang tampak. Sehingga, beberapa negara, termasuk Kuba, salah satu kekuatan olahraga dunia, memboikot. Tanpa Kuba dan Kor-Ut pun Korea Selatan tenggelam dalam mabuk olimpiade, yang keriuhannya menggoyang dunia. Mereka berupaya keras untuk bisa menjadi tuan rumah yang baik lagi ramah. Bibir-bibir yang tak pernah mengenal 'kata Inggris' di pusat latihankan untuk bisa berkomunikasi dengan tamu. Walaupun terbata-bata. Para tamu yang tak kebagian hotel dipersilakan menginap di yogwan -- rumah tradisional Korea. Mereka pun menyuguhkan kimchi (acar Korea), serta memotong 900 ekor sapi, 195 ribu ayam, dan 3.400 babi untuk disantap. Ramah di meja makan, itu biasa. Yang tak biasa adalah bahwa mereka pun baik hati di lapangan. Selalu ada orang Korea yang bersorak, bertepuk tangan, dan mengibarkan bendera mendukung atlet negara lain yang bertanding. Ini warna baru yang tak ada dalam olimpiade sebelumnya. Mengapa? Ternyata, setiap perusahaan yang punya bisnis di negara lain akan mengirim massa untuk mendukung atlet negara itu. Untuk atlet Indonesia, misalnya, orang-orang "Miwon" selalu riuh bertepuk sorak. Kepiawaian Korea sebagai panitia terasa di mana-mana. Misalnya ketika pada lomba renang 100 meter putra gaya kupu-kupu, secara tak terduga Anthony Nesty dari Suriname menyodok si favorit Matt Biondi, merebut emas. Banyak penonton heran. Ternyata, panitia telah siap juga dengan lagu kebangsaan Suriname. Dari semua acungan jempol buat Kor-Sel yang paling mengejutkan adalah keberhasilan kontingennya. Seperti pada bidang ekonomi, mereka pun macan Asia di olahraga. Kali ini mereka bisa mengungguli Cina, setelah menyingkirkan Jepang pada Asian Games 1986 lalu. Dengan 12 medali emas, Korea Selatan adalah kekuatan olahraga keempat dunia. Hanya kalah oleh raksasa Uni Soviet, Jerman Timur, dan Amerika Serikat. Sebuah keberhasilan yang justru dicapai di olimpiade yang diikuti blok Barat dan Timur. Padahal, mereka hanya memasang sasaran nomor 8 dunia. Sebuah lompatan besar, karena di Olimpiade Los Angeles 1984, yang tak diikuti blok Timur pun, Korea hanya mendapat enam medali emas. Mengapa mereka begitu perkasa? Agaknya, tekad dan kesungguhanlah jawabnya. Usai sukses di Asian Games lalu -- hanya kalah dengan Cina -- Korea Selatan menggodok habis-habisan atletnya. Semua atlet diseleksi ketat, "dipenjarakan" di pemusatan latihan Taenung yang dikelilingi kawat berduri. Di Korea Selatan, pelatih adalah "macan" -- boleh melumat atletnya. Walaupun kemudian "macan" dipermanis, dibikin bisa tersenyum dan menyenangkan, menadi simbol olimpiade: hodori. Disiplin "macan" itu ternyata berbuah baik. Lihat saja Kim Soo-nyung, yang baru berusia 18 tahun. Kim memecahkan dua rekor dunia panahan, untuk nomor 50 meter dan total. Korea Selatan menyapu bersih perolehan medali perorangan putri di bidang panahan ini. Mereka mengambil pula emas nomor beregu. Buat Indonesia sendiri, Seoul juga olimpiade penuh kejutan. Seoullah yang mencatat sejarah: Indonesia meraih medali olimpiade. Medali pertama sejak kita ikutolimpiade 36 tahun silam -- di Helsinki 1952. Sebuah medali perak yang mendudukkan Indonesia di posisi 36-43 pada peta olahraga dunia. Posisi yang lebih baik ketimbang negara tetangga, Muangthai dan Filipina, yang masing-masing hanya mendapat satu perunggu. Banyak pihak di Indonesia sebenarnya baru berani mengharap medali, nanti di Olimpiade Barcelona 1992. Saat bulu tangkis mulai resmi dipertandingkan. Tapi justru Seoul yang memberi. Jauh dari gemuruh suasana, sepi dari pekik sorak penonton, para pemanah Indonesia tenang merentang busur. Nurfitriyana, Kusuma Wardhani, dan Lilies Handayani berjaya. Meledaklah kegembiraan mereka, meledaklah kegembiraan seluruh kontingen. Sewaktu kontingen Indonesia berangkat ke Seoul, hanya Adrianus Taroreh si petinju itu, yang berani sesumbar. "'Kan kurebut medali olimpiade," ucapnya. Ternyata, ia kalah mutlak dari petinju papan bawah. Lintasan atletik dan barbel juga memberi arti khusus bagi Indonesia, meski tanpa medali. Di tengah persaingan sengit Carl Lewis dan Ben Johnson pada nomor bergengsi, lari 100 meter putra, Mardi mampu mengulang prestasi Purnomo di Olimpiade Los Angeles: satu-satunya pelari Asia yang masuk semifinal. Di cabang angkat besi Dirja Wiharja berhasil menjadi pengangkat barbel terkuat di Asia pada kelas 56 kg, dan nomor 4 dunia. Olimpiade Seoul juga mencatat sejumlah hal. Si manusia tercepat Ben Johnson dari Kanada, yang membetot rekor dunianya sendiri -- 9,83 menjadi 9,79 detik -- ternyata kedapatan melakukan doping. Air seninya terbukti mengandung anabolik steroid, stanozolol. Kemenangan dan rekor Ben pun dibatalkan Pupus sudah semua puji, berganti maki. Mereka yang mengharap "pertempuran" Amerika Serikat-Soviet, ternyata kecewa. Dua belas tahun sudah dua raksasa itu tak berperang di olimpiade. Sewaktu olimpiade berlangsung di Moskow, 1980, Amerika Serikat dan sekutunya -- termasuk Indonesia -- memboikot. Alasannya: tentara Uni Soviet menduduki Afghanistan. Atlet Uni Soviet pun berjaya. Empat tahun kemudian Uni Soviet dan negara-negara blok Timur (kecuali Rumania) membalas -- tak hadir di Los Angeles. Dengan hanya menghadapi tantangan Rumania, Cina, dan Jerman Barat, mudah bagi Amerika Serikat untuk mengeruk emas. Di Seoul, semestinyalah bila Amerika Serikat bersaing ketat berebut emas Uni Soviet. Ternyata, tidak. Amerika Serikat terseok. Tampil seronok, penuh percaya diri dan bertaburan bintang -- Matt Biondi, Florence Griffith Joyner, Janet Evans, Greg Louganis -- kontingen Amerika hanya bisa mengumpulkan 36 emas. Tertinggal jauh dari Uni Soviet: 55 emas. Mereka bahkan melengkapi dengan emas yang berharga: lewat sepak bola, mengalahkan Brasil. Jerman Timur -- peraih 37 emas -- pun ternyata sangat perkasa. Mereka punya Kristin Otto, memang. Peraih emas terbanyak: enam. Tapi bahwa mereka bisa mengalahkan Amerika Serikat, tak banyak yang menduga. Kebalikannya adalah nasib para singa Asia, Cina dan Jepang, yang parah. Hanya lima dan tiga emas bagi mereka. Sedang India lebih buruk. Tim hoki yang mereka andalkan, dan pelanggan medali emas atau perak dunia, kali ini tak mendapat apa-apa. Seoul adalah tempat rontoknya sejumlah bintang dunia. Sebutlah si burung albatros Jerman Barat, Michael Gross. Semula dialah yang diharapkan bisa mengganjal Biondi. Ternyata, Gross tenggelam. Di tenis meja, juara dunia Jiang Liajiang (Cina) dikalahkan si Swedia Eric Lindh. Padahal, Lindh pun kemudian kalah. Di lintasan atletik, kekalahan para juara lebih pahit. Misalnya nasib Said Aouita pelari jarak menengah Maroko. Tiga tahun terakhir ini Aouita tak pernah kalah. Tapi di Seoul ia harus puas mendapat perunggu. Paul Ereng (Kenya) mempecundanginya pada 800 meter putra. Sedang pemegang rekor dunia lari 10.000 meter putri, Ingrid Kristiansen (Norwegia), malah harus meninggalkan lintasan sebelum berakhir. Kram memaksa Ingrid yang tengah memimpin lomba bersijingkat kesakitan. Soviet boleh juara, tapi Korea Selatan juga yang menang. Untuk soal prestasi pun, Olimpiade Seoul boleh dibanggakan. Sebanyak 25 rekor dunia tumbang di Seoul. Padahal, di Los Angeles hanya ada 12 rekor dunia pecah -- 10 dari renang, 2 dari atletik. Si "Hercules" kecil Turki, Naim Suleymanoglu, yang membikin sensasi. Pembelot dari Bulgaria itu memecahkan tiga rekor dunia sekaligus. Di bawah Naim, tercatat nama Yuri Zakharevitch (Uni Soviet) dan Sedvalin Marinov (Bulgaria) juga pada cabang angkat besi Tamas Darnyi (Hungaria) pada renang, dan Kim Soo-nyung (Korea) pada panahan, yang sama-sama memecahkan dua rekor dunia. Olimpiade Seoul juga menjadi saksi makin perkasanya para atlet kulit hitam. Mereka datang bukan cuma dari afrika atau Amerika. Mereka kini mewakili juga negara-negara seperti Kanada, Inggris dan Jerman Barat. Satu perkembangan baru lagi: olimpiade sekarang juga menjadi arena yang penuh glamour. Lihat saja pakaian para atlet wanita, yang makin ketat dan berwarna-warni, dengan make-up dan aksesoris yang beraneka ragam. Dan sang ratu yang paling glamour, siapa lagi kalau bukan, Florence Griffith Joyner, peraih tiga medali emas untuk lari yang memecahkan rekor dunia lari 200 meter dua kali dalam sehari. Luar biasa Korea, luar biasa. Toh cacat terjadi juga. Selain serentetan kasus doping, para penonton Korea sangat garang terhadap atlet Jepang. Setiap kali atlet Jepang tampil, penonton Korea berteriak-teriak menerornya. Mereka ternyata benci Jepang yang pernah menduduki negerinya dengan pahit. "Orangtua kami tetap tak suka Jepang," dalih seorang petugas Korea. Tragedi lain -- ini yang memalukan terjadi di ring tinju. Sewaktu Byun Jong-il kalah oleh petinju Bulgaria Alexandar Hristov, tiba-tiba pelatih Korea menghambur ke ring memukul wasit Selandia Baru, Keith Walker. Penonton Kor-Sel pun ikut campur: melemparkan segala yang terpegang tangan. Suasana kacau. Byun tak mau beranjak dari ring, memprotes kekalahannya. Sebuah lelucon pun dipentaskan Korea di partai final tinju: mereka "merampok" emas Amerika Serikat. Awam pun tahu, Park Si-hun bukan lawan sebanding Roy Jones. Malah di ronde 2, Park sempat goyah dan dihitung wasit. Tapi petinju Korea ini malah dinyatakan menang. Padahal, tanpa emas itu, kontingen Korea Selatan harus berada di urutan 5, di belakang Jerman Barat. Betapapun, medali telah habis dibagi, olimpiade usai. Ketika gelap malam menaungi Seoul, hari Minggu silam, Stadion Chamsil gemuruh. Para atlet berbaur bersama tanpa peduli segalanya. Kembang api pun memercik menusuk langit. Sungguh sebuah olimpiade terbesar yang pernah ada, yang keberhasilannya tertolong berkat ketegangan dunia mereda, dan Uni Soviet menyeru glasnost dan perestroika. Sepertinya semua sepakat untuk bertanding lagi dengan lebih baik di Olimpiade XXV. "Sampai jumpa di Barcelona." Zaim Uchrowi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini