Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jika pelatih Indra Syafri tidak blusukan ke pelosok Nusantara, mungkin Muhammad Sahrul Kurniawan saat ini masih berkutat dengan tim lamanya, Persatuan Sepak Bola Ngawi (Persinga), di kota kecil Ngawi, Jawa Timur. Indralah yang mengendus bakat istimewa anak kampung itu dan memboyongnya ke pemusatan latihan tim nasional usia di bawah 19 tahun (U-19) di Yogyakarta. "Dia anak pemetik teh di Gunung Lawu," kata Indra kepada Tempo pekan lalu.
Kini anak pemetik teh itu menjadi salah satu pilar penting tim nasional U-19. Sahrul ikut mengantarkan tim Garuda Muda mencetak sejarah dengan menjuarai Piala Federasi Sepak Bola ASEAN (AFF) U-19, Ahad pekan lalu. Sebuah gelar setelah negeri ini tak pernah menggapainya dalam 22 tahun terakhir. Lebih istimewa lagi, gelar itu direnggut dengan menyingkirkan negara-negara jawara sepak bola di kawasan Asia Tenggara: Malaysia, Thailand, dan Vietnam!
Di tim Merah Putih, Sahrul bukan pupuk bawang atau sekadar pemain pelengkap. Perannya sebagai centre-back tak tergantikan sejak partai-partai awal. Bersama dia, hanya ada empat pemain yang tak pernah menduduki bangku cadangan alias selalu bermain penuh sepanjang turnamen. Tiga lainnya adalah Evan Dimas (kapten), Ravi Murdianto (kiper), dan Putu Gede Antara (bek kanan). Evan, untuk kepentingan strategi, memang sempat digantikan Paulo Sitanggang saat menghadapi Myanmar. Tapi itu terjadi pada menit terakhir.
Penemuan Sahrul dan semua anggota skuad U-19 itu adalah bagian dari kisah panjang Indra Syafri dalam membentuk tim berkelas. Ia yakin negeri ini memiliki banyak bibit unggul yang tersebar di segala penjuru Tanah Air. Hanya dibutuhkan kesabaran dan ketelitian untuk mencarinya. Maka ia lalu melakukan perjalanan ke banyak tempat, dari kota besar hingga kampung-kampung. "Di daerah banyak sekali pemain berbakat. Mereka tinggal dipoles sedikit saja," kata Indra.
Semua berawal pada September 2011. Saat itu Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) meminta Indra membesut tim nasional usia di bawah 16 tahun. Ia dibebani target muluk: lolos kualifikasi Piala AFC 2011.
Persoalannya, Indra tak diberi keleluasaan memilih pemain. Di atas mejanya ia sudah disodori nama-nama pilihan PSSI. Pendeknya, ia tak punya peluang melakukan proses seleksi pemain. Hasilnya? Gagal total!
Tim ini kandas di babak penyisihan grup setelah dihabisi Australia 5-2. "Kami memang pantas kalah karena pemain tidak siap bertarung di Piala Asia," kata Indra.
Dari situ pelatih berusia 50 tahun ini kemudian memutuskan mencari pemain sendiri. Tim pemburu pemain pun dibentuk. Mereka terdiri atas empat orang, yakni Indra Syafri, Nur Saelan (pelatih fisik), Guntur Cahyo Utomo (pelatih mental), serta Jarot Supriadi (pelatih kiper). Kerja pertama adalah memetakan daerah-daerah yang dianggap menyimpan potensi pemain. Tim rampung menyusun peta pada awal 2012, dan langsung bergerak.
Mereka punya cara sangkil dan mangkus untuk mengendus pemain berbakat. Indra membawa tim nasional U-16 yang tersingkir di Piala AFC itu ke banyak daerah untuk bertanding. Mereka antara lain pernah menyambangi Surabaya, Pasuruan, Ngawi, Jember, Ternate, hingga Gorontalo. Di setiap daerah itu, timnas U-16 ia hadapkan dengan tim lokal.
Dalam setiap uji tanding itulah Indra dan kawan-kawan saksama pasang mata. Ia kerahkan kemampuannya menilai setiap anak yang berlaga. Dan, ia tak keliru, calon bintang lapangan hijau memang bertebaran di pelosok daerah. Di Banda Aceh, misalnya, mereka menemukan Hendra Sandi Gunawan dan Miftahul Hamdi. Dan, di Ngawi, tentu saja ada sosok Sahrul Kurniawan itu.
Cara lain mencari pemain, mereka menyebar dan menyelinap ke suatu kota secara sendiri-sendiri. Indra Syafri, misalnya, pernah blusukan ke Alor, Nusa Tenggara Timur, pada Juli tahun lalu. Saat itu ia sempat dihadang badai selama beberapa hari sebelum melanjutkan perjalanan laut dari Kupang.
Hasilnya tak sia-sia. Dari sana ia membawa pulang bocah ajaib bernama Yabes Roni. Pada waktu lain, ia juga melanglang ke Nusa Ina, Maluku, dan menemukan Alqomar Tehupelasury serta Irfandy Al Zubeidy.
Selama hampir satu setengah tahun blusukan, kata Indra, dia dan tim telah mendatangi setidaknya 49 kota dan menjaring 160 pemain. "Alhamdulillah, banyak pemain dari hasil jaringan itu," katanya.
Tim pelatih lalu melakukan seleksi ketat, sehingga hanya 96 yang lolos untuk digembleng di Yogyakarta. Dari jumlah ini, Indra menentukan 20 pemain untuk membela Merah Putih di Piala AFF.
Sebuah jalan panjang yang bagi Indra tidak semata untuk merenggut piala. Pemain PSP Padang 1985-1993 ini punya misi lain. Dia ingin membuktikan bahwa tim nasional bukan milik segelintir orang. "Selama ini kesannya seperti itu," katanya.
Indra benar-benar ingin membangkitkan semangat daerah bahwa mereka punya hak yang sama untuk menyumbangkan pemain ke tim nasional. Faktanya, timnas U-19 ini akhirnya memang benar-benar mencerminkan keragaman daerah di Indonesia. Dan, di lapangan, keragaman itu mampu lebur menjadi satu kekuatan menakutkan bagi lawan.
Rupanya Indra juga punya rahasia lain. Ia yakin anak pedalaman memiliki kekuatan fisik lebih prima dibanding anak kota. "Sebab, mereka hidup lebih sehat dan langsung ditempa alam."
Indra punya data ilmiah. Hasil tes fisik menunjukkan VO2max para pemain pedalaman ini lebih tinggi dibanding pemain kota. VO2max mereka rata-rata di atas 53, bahkan ada yang sampai 60. Padahal, "Standar Asianya (hanya) 53," kata Indra.
VO2max adalah kapasitas maksimum tubuh untuk menyalurkan dan menggunakan oksigen selama berolahraga. Semakin besar angkanya, semakin prima dan bugar fisiknya. "Seperti tangki bensin, makin besar ukurannya makin banyak bensin yang bisa ditampung," Indra menganalogikan. "Makin jauh pula mobil itu bisa jalan."
Selain fisik lebih prima, teknik dan kualitas anak-anak pedalaman ternyata tak kalah dahsyat. Inilah yang membuat Indra tak segan melengserkan banyak pemain tim nasional U-16. Dari 20 pemain yang berlaga di Piala AFF U-19, hanya Muhammad Hargianto yang ia ambil dari tim U-16. "Sebab, banyak pemain bagus dari daerah yang bisa menggantikan mereka."
Hargianto mengakui ketatnya seleksi yang diterapkan pelatih. Dia juga merasakan betapa spartan cara Indra menggojlok mereka. "Tidak ada kata menyerah," kata pemain yang memperkuat timnas U-16 saat menjuarai turnamen HKFA Hong Kong pada 2012 itu.
Pesta kecil itu digelar di depan sebuah rumah di Kompleks Simpang Lima, Kelurahan Maliaro, Kota Ternate, Maluku Utara, Ahad malam pekan lalu. Layar besar berukuran 2x3 meter yang dipacak di pelataran rumah milik Badir Armaiyn itu masih menayangkan cuplikan gol-gol tendangan penalti pemain Garuda Muda.
Setiap kali gambar Ilham Udin Armaiyn tertayangkan, suara klakson sepeda motor langsung bersahutan. Maklum, anak ini adalah tetangga mereka sendiri yang menjadi penentu kemenangan Indonesia. Beberapa ibu tampak bersujud syukur. Salah satunya Rohani. Dialah ibunda Ilham. "Kami sangat senang anak kami bisa mengharumkan nama bangsa," katanya terharu.
Pada saat yang hampir bersamaan, di stadion, air mata juga menitik dari indra penglihatan Indra Syafri. Tendangan Ilham yang melesak ke gawang Vietnam itu untuk sesaat bagai mengakhiri ketegangan, juga jalan berliku yang ia tempuh selama ini dalam membentuk tim U-19 itu. "Ini akan menjadi sejarah baru bagi Indonesia," katanya dengan suara bergetar. "Kita sudah 22 tahun tidak pernah mendapat gelar. Ini akan menjadi pengalaman penting bagi semua pemain."
Bersama para pemain, Indra Syafri lalu ikut mengarak piala perak itu keliling lapangan. Bibirnya tersenyum dan matanya masih tampak berkaca-kaca. Ia seperti memahami, kerja kerasnya benar-benar tak sia-sia....
Dwi Riyanto Agustiar, Agita Sukma Listyanti (Sidoarjo), Budhy Nurgianto (Ternate)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo