Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kasijanto Sastrodinomo*
Di ambang siang, Lebaran lalu, saya menyambangi Mbah Waginem, penganyam tikar pandan di kaki Bukit Menoreh, Magelang, Jawa Tengah. Simbah merupakan salah seorang di antara sedikit pelaku sejarah wong cilik yang masih hidup sejak masa akhir Hindia Belanda. Menurut laporan pemerintah kolonial, setidaknya sejak pertengahan abad ke-19, kerajinan anyaman (vlechtwerk), seperti tas tangan dan topi, di kawasan itu berkembang sebagai produk ekspor. Ribuan peti chapeaux—topi modis wanita—yang berton-ton beratnya dikapalkan melalui Batavia ke rumah-rumah mode di Prancis dan beberapa kota besar di Amerika Serikat, Turki, dan Australia.
Namun kejayaan itu kini memudar. Siang itu, di rumahnya yang sederhana, Simbah tidak sedang menganyam lembaran daun pandan, tapi dondom—menjahit secara manual—kebayanya yang dia katakan "dèdèl-duèl" semua. Lalu ia menunjukkan, mungkin pula membanggakan, selembar tikar pandan yang tergelar di atas amben tempat tidurnya adalah hasil anyamannya sendiri. Tempat tidur itu cuma beralas galar bambu tanpa kasur. "Lha, kasurnya ya wis dèdèl-duèl kabèh," ujar Simbah terkekeh. Beringsut ke bagian belakang rumah, sambil menjerang air kopi, dia menunjuk sebagian gedèk dapurnya yang juga dia sebut dèdèl-duèl karena dimangsa waktu.
Dalam khazanah bahasa Jawa, dèdèl-duèl merupakan contoh tembung saroja atau kata majemuk yang menyangatkan, sebanding dengan ajur-mumur atau babak-bundas misalnya. Kata dedel (tanpa aksara khusus è) tercatat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa yang berarti "retas", misalnya pada jahitan atau kelim; sedangkan duel adalah perkelahian di antara dua orang, biasanya dengan menggunakan senjata api atau senjata tajam. Dalam kamus itu, kedua kata tersebut merupakan lema yang terpisah. Sementara itu, duel hanya tercatat dalam KBBI sebagai hasil serapan dari bahasa Inggris, tapi tidak muncul dalam kamus Jawa. Kesimpulan sementara, duel bukan kosakata Jawa yang berdiri sendiri.
Kata duèl lebih berfungsi menyangatkan kata pasangannya. Jadi, dèdèl-duèl kebaya Mbah Waginem bukan cuma lepas jahitannya pada satu bagian tertentu, melainkan juga robek di sana-sini. Lain halnya dengan Pak Kawit. Saat saya meminta contoh nyata wujud dèdèl-duèl, ia langsung membuka dompetnya yang dia katakan "melompong" setelah kembali dari Lebaran yang lalu. Ia mengaku upahnya sebagai penyeduh kopi di kantornya cuma pas-pasan dan langsung ludes dalam sekali "kepruk" berlebaran di kampung halaman. Lalu, dia menambahkan, ia balik ke "titik nol" ketika situasi "normal" kembali.
Aslinya, dèdèl-duèl adalah ajektif yang menunjuk pada luka fisik yang terbuka atau menganga di beberapa bagian tubuh (jadi selalu jamak) manusia atau hewan sebagai akibat perkelahian. Tatkala diucapkan berkali-kali oleh Mbah Waginem seraya menunjuk kebayanya yang kelewat lawas, atau jadi "contoh empirik" pada dompet Pak Kawit, dèdèl-duèl menyembulkan makna sosiologis yang memantulkan cabik-cabik wajah kehidupan sebagian masyarakat kita, terutama di pedesaan. Pada "stadium lanjut", dèdèl-duèl memerikan semacam misery yang ditandai oleh kerapuhan, ketakberdayaan, dan mungkin kekalahan mereka untuk menggapai kualitas hidup yang layak.
Di jagat maya terpampang lirik lagu berbahasa Jawa, Kudu Misuh (Ingin Mengumpat), yang ditulis oleh dalang Poer. Dalam lagu itu dilukiskan tentang Aku yang selalu mengalami kesulitan dalam menjalani hidup: sukar cari kerja; coba menggarap sawah warisan orang tua tapi pupus oleh harga pupuk yang tinggi; ndilalah kebanjiran lumpur; utang tidak kesahur. Beralih jadi sopir angkudes (angkutan desa), tapi terhadang harga bensin yang menanjak. Si Aku lalu nyepi di kuburan berharap dapat "tembusan togel". Apa lacur, tertulis pada akhir bait, nomer ngeblong terus awakku dèdèl-duèl/ hee... gombal! Ujungnya, si Aku jadi bandar sabu, yang akhirnya menyeret dia ke bui.
Rasanya dèdèl-duèl juga pas sebagai metafora untuk melukiskan luka suatu negeri yang mengalami gejolak. Situasi konflik politik di Mesir akhir-akhir ini, misalnya, bisa diringkas dengan kata kunci dèdèl-duèl sebelum negeri itu terjerumus—moga-moga tidak terjadi—ke kancah perang saudara (Tempo, 26 Agustus-1 September 2013). Ungkapan serupa bisa pula dialamatkan pada rusuh akibat pengabaian pluralisme dan toleransi, ditingkahi teror, perilaku koruptif para elite, dan ricuh soal administrasi negara. Jika ditambah dengan bencana yang mendera karena kehendak alam ataupun ulah manusia sendiri, lengkaplah makna dèdèl-duèl itu lahir-batin.
Senyampang masih bergayut pada roh kebersamaan, optimistis saja: negeri ini mampu membasuh luka di tubuhnya seraya berkaca pada ketelatenan Mbah Waginem merajut kembali robekan demi robekan pada kebaya usangnya. Bedanya, sementara perempuan renta itu menjahit baju rombeng sekadar menjalani kehidupan subsistensinya, "jahitan" negara mestilah mengukuhkan kesejahteraan hidup warganya.
*) Pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo