Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lin Che Wei*
Negara maju bukan tempat orang miskin bisa memiliki mobil, melainkan tempat orang kaya mau menggunakan transportasi publik." Ucapan Wali Kota Enrique Penalosa dari Bogota, Kolombia, itu mendadak populer di tengah kontroversi mobil murah-ramah lingkungan (LCGC) yang tengah merebak di Indonesia.
Di antara lima negara berpopulasi terbanyak (Cina, India, Amerika Serikat, Indonesia, dan Brasil), industri otomotif di negeri ini terhitung paling tidak mandiri. Cina memiliki Geely, India punya Tata, Amerika punya General Motors, dan Brasil merupakan produser mobil terbesar di dunia. Indonesia tak punya merek sendiri dan bukan produsen besar.
Penyebab keterpurukan itu: Indonesia tak punya strategi industri otomotif yang jelas. Kebijakan baru pemerintah tentang mobil murah semakin menunjukkan ketidakmandirian industri otomotif Indonesia. Kandungan komponen lokal LCGC hanya 40 persen. Jadi, komponen impor ada 60 persen. Untuk industri yang telah berdiri lebih dari 40 tahun, kandungan lokal 40 persen itu sangat rendah.
Berdasarkan analisis rantai nilai (value chain analysis) dengan model Hofer & Schendel, terlihat fakta menyedihkan. Beberapa jenis aktivitas rantai nilai yang paling memiliki nilai tambah, yaitu riset dan pengembangan, produksi komponen penting, dan belanja komponen, masih dikuasai pihak asing. Pihak lokal hanya menjalankan aktivitas produksi komponen tak penting, penjualan dan pemasaran, logistik, serta layanan pelanggan.
Rendahnya nilai tambah juga terlihat dari analisis atas lima komponen utama otomotif. Komponen itu terdiri atas (1) suku cadang utama dan badan mobil, (2) komponen elektrikal dan elektronik, (3) interior, (4) powertrain dan chassis, dan (5) suku cadang lain, seperti A/C, bearing, slang, dan kipas kaca.
Ketimpangan bisa pula dilihat dari analisis rantai pasokan (supply chain) di Astra International. Penikmat pasokan di sini adalah perusahaan asing, seperti Toyota Motor (27 persen dari total ongkos produksi), Dell (18 persen dari belanja modal), dan Toyota Tsuho (8 persen dari ongkos produksi). Tak ada satu pun pemasok lokal yang punya pangsa pasar lebih dari 2 persen dari ongkos produksi.
Di sisi lain, perusahaan otomotif multinasional sangat cerdik memperkenalkan skema baru untuk menangkap nilai tambah yang sebenarnya tidak proporsional. Sekarang, misalnya, ada istilah komisi model baru (new model fee). Komisi ini dibayarkan kepada pemegang merek setiap kali meluncurkan model baru.
Kebijakan membebaskan pajak suatu produk industri yang mayoritasnya nilai tambahnya dikuasai oleh pihak asing sungguh strategi industri yang sulit dimengerti dan tidak mendorong kemandirian industri otomotif nasional. Pembebasan pajak seharusnya dilakukan secara integratif. Kita harus mulai dengan asumsi makro berapa jumlah pertumbuhan mobil yang dapat diterima seiring dengan pembangunan infrastruktur jalan ataupun perbaikan transportasi publik. Setelah itu, baru kita memproyeksikan berapa jumlah mobil berdasarkan level ekonomi. Peluncuran mobil murah harus dibarengi disinsentif untuk tidak memakai mobil mahal dan boros energi.
Rantai nilai suatu industri harus dilihat bukan berdasarkan nilai absolutnya, melainkan persentase nilai tambah yang ditangkap oleh para pihak. Sangat mengejutkan bahwa argumen rantai pasokan dipakai sebagai justifikasi untuk kebijakan industri yang justru lebih menguntungkan negara lain. Apabila Indonesia hendak membuat mobil murah, sudah seharusnya insentif hanya diberikan kepada produsen yang memiliki kandungan lokal tinggi.
LCGC diposisikan untuk menangkap segmen pasar menengah ke bawah. Kebijakan ini sangat sektoral dan jelas bertentangan dengan kebijakan energi, kebijakan transportasi publik, bahkan kebijakan untuk mendorong pertumbuhan industri otomotif yang mempertahankan nilai tambah tinggi untuk kepentingan nasional.
Meluncurkan program mobil murah yang 60 persen rantai nilainya dinikmati pihak asing akan menimbulkan efek berantai. Misalnya pemakaian bahan bakar minyak akan jauh lebih tinggi, mengakibatkan kemacetan, serta mendorong masyarakat menengah ke bawah lebih konsumtif dan tidak menggunakan transportasi publik.
Dalam kebijakan mobil dan transportasi publik, Indonesia tampaknya memang bukan negara maju atau negara berkembang. Kita lebih tepat disebut negara yang mengalami pelapukan. l
*) Pendiri Independent Research & Advisory Indonesia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo