FRANCISCO Lisboa Nrun ke gelanggang tinju baru 2 tahun. Pemegang
piala Sarung Tinju Emas ini dikenal sebagai tukang berantem di
desanya. Tiap ada perkelahian di Desa Markade biang keladinya
pasti dia. Ulah "jagoan" ini sering mengundang pihak keamanan.
Sekalipun belum sempat kena hukuman berupa penahanan.
Pada suatu hari, Pangdam XVI Udayana, Brigjen Dading Kalbuadi,
mengadakan kunjungan kerja ke Dili. Dalam peninjauan itu
panglima mengikutsertakan pelatih tinju Daniel Bahari. "Si anak
nakal" itu kemudian dicari dan ditemukan. Daniel Bahari
menantang Lisboa berkelahi. A-nak Timor Timur itu menerima
tantangan tadi. Perkelahian singkat, sekedar tuk mengetahui
kemampuan si tukang bikin onar itu, berakhir dalam beberapa
menit saja.
Ketika masih berusia 15 tahun waktu itu Francisco Lisboa
langsung diajak merantau ke Bali. Tantangan ini juga tidak
ditampiknya. Karena memang sudah tak ada yang terlalu mengikat
di kampung halamannya. Ketika berusia 4 tahun dia ditinggalkan
ibunya yang berangkat ke Angola, Afrika. Dan pada usia 10 tahun
dia rnenjadi anak yatim, karena ayahnya menyusul meninggal.
Lisboa dan tiga saudaranya menumpang hidup pada pamannya. Di
Denpasar dia tinggal bersama keluarga Pangdam XVI Udaya di Jalan
Udayana No. 1. "Saya perlakukan dia sebagai anak sendiri," kata
si ayah angkat, Dading Ralbuadi, orang nomor satu di Denpasar.
Menurut cerita sang ayah angkat, Lisboa adalah anak yang lugu
dan rajin. Di samping kegemarannya pada tinju, dia juga senang
mereparasi mobil. Seleranya makan daging selangit. "Dia paling
doyan makan guling," kata pelatihnya, Daniel Bahari.
Pelatih yang hidup dari bisnis restoran ini punya jasa besar
dalam membimbing naluri agresif Lisboa menjadi petinju tangguh.
Latihannya keras. Acaranya padat. Pagi mulai pukul 6,
berlangsung selama 3 jam. Acara yang sama diulangi lagi pada
sore hari. Orang-orang kerap melihat Lisboa berlatih daya tahan
dengan lari sambil membawa anjing herder.
Pendidikannya, menurut pengakuannya, cuma sampai kelas 3 sekolah
dasar. Tetapi tinggi badannya yang 178 cm dan bobot 67 kg, serta
kemahirannya berkelahi memberi dia peluang untuk mengangkat nama
daerahnya, Timor Timur. Dia tidak akan dikenal hanya sebagai "si
tukang bikin ribut" di desanya. Tapi juga akan menunjukkan
kepada orang, bahwa Timor Timur tidak hanya menghasilkan kepalan
tinju Thoras Americo.
Tapi buat dirinya sendiri yang paling penting naluri agresif
untuk main pukul sudah tersalur baik dengan berkelahi secara
kesatria di atas ring. Ketika ditanya apakah dia masih suka
berkelahi? Jawabnya: "Jangankan memukul orang. Melihat orang
yang dipukul saja kasihan," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini