Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Juara Sejati Dari Tim-Tim

Kejuaraan sarung emas ke-7 di denpasar, francisco lisboa, 17 th, dari timor timur terpilih sebagai petinju terbaik, dan sebagai juara. (or)

25 Desember 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

CITA-cita untuk membuat Kejuaraan Sarung Tinju Emas ke-7 di Denpa sar sebagai gelanggang, tempat memperlihatkan "mutu tinju Indonesia sekarang ini", kelihatannya berhasil. Paling tidak lebih baik dari kejuaraan sebelumnya, yang berlangsung di Tanjungkarang (Lampung). Ketika itu sebuah partai yang menarik antara Adi Swandana (Bali) dan Syamsul Anwar (DKI) dibatalkan karena Syamsul, katanya, "muntah-muntah" sebelum bertanding. Dari 10 kelas, yang dipertandingkan selama 6 hari sampai 17 Desember di Gelanggang Olahraga Stadion Ngurah Rai itu, muncul petinju muda yang amat mempesona: Francisco Lisboa, 17 tahun. Pemuda berambut keritirlg semut itu kelahiran.Desa Markade, Kecamatan Fikeke, Dili, Timor Timur. Dia terpilih sebagai pebnju terbaik. Jangkauannya panjang. Geseran kakinya ringan dan tonokannya yang selalu mengena. Maka banyak pengamat bnju berani bertaruh Lisboa satu ketika pasti akan menjadi petinju besar. Puncak penampilannya bukan pada babak final ketika dia harus bertarung di kelas welter dengan Rudy Haurissa dari sasana bnju Garuda Pattimura (Ambon). Karena pada pertandingan yang menentukan itu anak Ambon tadi hanya sanggup adu kekuatan pada ronde pertama. Begitu gong untuk ronde kedua dipukul, Rudy ternyata tidak muncul, tanda menyerah. Mutu Francisco Lisboa yang sebenarnya justru tampil pada hari ketiga ketikadia harus berhadapan dengan kawan sesasananya (Nusatenggara Boxing Club), raja kelas welter ringan Adi Swandana. Baru saja pulang dengan kegagalan dari Asian Games IX di New Delhi, Adi terpaksa bertarung di kelas welter karena gagal menurunkan berat badan untuk mencapai kategori welter ringan sekalipun su dah tiga hari berpuasa. "Perang saudara" itu dimenangkan Lisboa dengan memanfaatkan jangkauannya yang lebih jauh. Adi pernah mengakhiri karir emas raja kelas welter ringan Syamsul Anwar, tapi di ungan petinju asal Tim-Tim itu dia tak bisa banyak berkutik untuk mengumpulkan angka. Tubuh lawannya lebih tinggi. Serangannya tertahan oleh jangkauan Lisboa. Menghadapi ronde ke atau yang terakhir, Adi memantapkan uktiknya untuk merobohlian saudara sesasananya itu dengan KO. Kalau tak roboh, dia takkan bakalan bisa memenangkan pertarungan itu. Sebab angka kemenangan sudah berada di tangan Lisboa pada tiga ronde sebelumnya. Tanpa pukulan keras Adi ke muka dan kepalanya, Lisboa tetap tegak bagaikan banteng siap menanduk. Kemenangan angka mutlak untuknya. Inilah puncak pertarungan 10 kela selama seminggu di Pulau Dewata itu. "Saya cukup senang dengan kemenangan ini. Saya bisa mempertahankan reputasi sebagai juara kelas welter," kata Lisboa kepada waawan TEMPO, I Nengah Wedja. Pada kejuaraan tinju nasional di Semarang Oktober lalu, kemenangannya di kelas welter atas petinju Franklin (Sumatera Utara) menentukan tim Bali muncul sebagai juara. Di pojok lain Adi Swandana menangisi kekalahan. "Saya yang salah bukan siapa-siapa. Saya seharusnya masih tetap di kelas welter ringan," ucapnya. Tapi kelebihan berat badan setengah kilo sekembalinya dari New Delhi gagal diatasinya. Sekalipun kalah, Adi telah tidak mengecewakan bagi 3.000 pecandu tinju "Pertandingan Francisco Lisboa dengan Adi Swandana adalah yang terbaik dan terbersih. Keduanya memang berbakat sebagai petinju," ucap Alex Setyabudi, Pengurus Daerah Pertina Bali. Komandan Korem 163 Wirsatya itu bertindak sebagai ketua panitia kejuaraan. Ketua Umum Pengurus Besar Pertina, Saleh Basarah, bekas KSAU dan dubes di Inggris itu nampak puas dengan kejuaraan yang meniru gaya Golden Glove dari Amerika Serikat. "Kejuaraan di Denpasar ini menghasilkan juara saringan dari saringan. Dia menjadi juara murni dan sejati. Jadi tak ada juara hanya karena permainan Hakim," katanya. Mereka yang boleh turut serta dalam Sarung Tinju Emas haruslah yang terbaik. Paling tidak pernah merebut medali perunggu dalam kejuaraan nasional. Dari hasil saringan ternyata 102 petinju yang bisa ambil bagian. Tapi nyatanya yang memanfaatkan kesempatan cuma 56 'orang. "Kami tidak mempersoalkan jumlah yang sedikit. Biar sepuluh orang asal petinju yang bagus tak soal bagi saya. Karena saya menginginka mutu," ulas Saleh Basarah. Namun nama tenar seperti Charles Yerisetow, pemegang sarung tinju emas ke-6, tidak muncul. Begitu juga Harry Maitimu, Lodewijk Akwan, Krismanto, Erwinsyah dan Sepi Karubaba. Mereka berhalangan karena berbagai alasan. Maitimu akan melangsungkan pernikahan. Akwan tak bisa memperpanjang izin dari kantornya. Ada pula yang sedang menghadapi ujian. Sedang di luar tersebar kabar beberapa petinju enggan tampil. "Karena datang ke Bali berarti muncul di mulut macan," kata seorang. Entahlah. rapi Bali, kabarnya, memang punya sistem pembinaan yang lebih haik. Banyak petinju dari daerah Nusatenggara maupun Maluku mencoba nasib di pulau darmawisata itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus