CITA-cita untuk membuat Kejuaraan Sarung Tinju Emas ke-7 di
Denpa sar sebagai gelanggang, tempat memperlihatkan "mutu tinju
Indonesia sekarang ini", kelihatannya berhasil. Paling tidak
lebih baik dari kejuaraan sebelumnya, yang berlangsung di
Tanjungkarang (Lampung). Ketika itu sebuah partai yang menarik
antara Adi Swandana (Bali) dan Syamsul Anwar (DKI) dibatalkan
karena Syamsul, katanya, "muntah-muntah" sebelum bertanding.
Dari 10 kelas, yang dipertandingkan selama 6 hari sampai 17
Desember di Gelanggang Olahraga Stadion Ngurah Rai itu, muncul
petinju muda yang amat mempesona: Francisco Lisboa, 17 tahun.
Pemuda berambut keritirlg semut itu kelahiran.Desa Markade,
Kecamatan Fikeke, Dili, Timor Timur.
Dia terpilih sebagai pebnju terbaik. Jangkauannya panjang.
Geseran kakinya ringan dan tonokannya yang selalu mengena. Maka
banyak pengamat bnju berani bertaruh Lisboa satu ketika pasti
akan menjadi petinju besar.
Puncak penampilannya bukan pada babak final ketika dia harus
bertarung di kelas welter dengan Rudy Haurissa dari sasana bnju
Garuda Pattimura (Ambon). Karena pada pertandingan yang
menentukan itu anak Ambon tadi hanya sanggup adu kekuatan pada
ronde pertama. Begitu gong untuk ronde kedua dipukul, Rudy
ternyata tidak muncul, tanda menyerah.
Mutu Francisco Lisboa yang sebenarnya justru tampil pada hari
ketiga ketikadia harus berhadapan dengan kawan sesasananya
(Nusatenggara Boxing Club), raja kelas welter ringan Adi
Swandana. Baru saja pulang dengan kegagalan dari Asian Games IX
di New Delhi, Adi terpaksa bertarung di kelas welter karena
gagal menurunkan berat badan untuk mencapai kategori welter
ringan sekalipun su dah tiga hari berpuasa. "Perang saudara" itu
dimenangkan Lisboa dengan memanfaatkan jangkauannya yang lebih
jauh. Adi pernah mengakhiri karir emas raja kelas welter ringan
Syamsul Anwar, tapi di ungan petinju asal Tim-Tim itu dia tak
bisa banyak berkutik untuk mengumpulkan angka. Tubuh lawannya
lebih tinggi. Serangannya tertahan oleh jangkauan Lisboa.
Menghadapi ronde ke atau yang terakhir, Adi memantapkan
uktiknya untuk merobohlian saudara sesasananya itu dengan KO.
Kalau tak roboh, dia takkan bakalan bisa memenangkan pertarungan
itu. Sebab angka kemenangan sudah berada di tangan Lisboa pada
tiga ronde sebelumnya. Tanpa pukulan keras Adi ke muka dan
kepalanya, Lisboa tetap tegak bagaikan banteng siap menanduk.
Kemenangan angka mutlak untuknya. Inilah puncak pertarungan 10
kela selama seminggu di Pulau Dewata itu.
"Saya cukup senang dengan kemenangan ini. Saya bisa
mempertahankan reputasi sebagai juara kelas welter," kata Lisboa
kepada waawan TEMPO, I Nengah Wedja. Pada kejuaraan tinju
nasional di Semarang Oktober lalu, kemenangannya di kelas welter
atas petinju Franklin (Sumatera Utara) menentukan tim Bali
muncul sebagai juara.
Di pojok lain Adi Swandana menangisi kekalahan. "Saya yang salah
bukan siapa-siapa. Saya seharusnya masih tetap di kelas welter
ringan," ucapnya. Tapi kelebihan berat badan setengah kilo
sekembalinya dari New Delhi gagal diatasinya.
Sekalipun kalah, Adi telah tidak mengecewakan bagi 3.000 pecandu
tinju "Pertandingan Francisco Lisboa dengan Adi Swandana adalah
yang terbaik dan terbersih. Keduanya memang berbakat sebagai
petinju," ucap Alex Setyabudi, Pengurus Daerah Pertina Bali.
Komandan Korem 163 Wirsatya itu bertindak sebagai ketua panitia
kejuaraan.
Ketua Umum Pengurus Besar Pertina, Saleh Basarah, bekas KSAU dan
dubes di Inggris itu nampak puas dengan kejuaraan yang meniru
gaya Golden Glove dari Amerika Serikat. "Kejuaraan di Denpasar
ini menghasilkan juara saringan dari saringan. Dia menjadi juara
murni dan sejati. Jadi tak ada juara hanya karena permainan
Hakim," katanya.
Mereka yang boleh turut serta dalam Sarung Tinju Emas haruslah
yang terbaik. Paling tidak pernah merebut medali perunggu dalam
kejuaraan nasional.
Dari hasil saringan ternyata 102 petinju yang bisa ambil bagian.
Tapi nyatanya yang memanfaatkan kesempatan cuma 56 'orang. "Kami
tidak mempersoalkan jumlah yang sedikit. Biar sepuluh orang asal
petinju yang bagus tak soal bagi saya. Karena saya menginginka
mutu," ulas Saleh Basarah.
Namun nama tenar seperti Charles Yerisetow, pemegang sarung
tinju emas ke-6, tidak muncul. Begitu juga Harry Maitimu,
Lodewijk Akwan, Krismanto, Erwinsyah dan Sepi Karubaba. Mereka
berhalangan karena berbagai alasan. Maitimu akan melangsungkan
pernikahan. Akwan tak bisa memperpanjang izin dari kantornya.
Ada pula yang sedang menghadapi ujian.
Sedang di luar tersebar kabar beberapa petinju enggan tampil.
"Karena datang ke Bali berarti muncul di mulut macan," kata
seorang. Entahlah. rapi Bali, kabarnya, memang punya sistem
pembinaan yang lebih haik. Banyak petinju dari daerah
Nusatenggara maupun Maluku mencoba nasib di pulau darmawisata
itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini