DI mulut jembatan timbang Tanjungmorawa 11, Medan, Astim Koto,
kernet truk Singgalang Jaya, berdiri agak ragu. Sebilah papan
bertuliskan "Dilarang masuk!" terpancang di situ. Ketika Astim
masih ragu, seorang petugas Dinas Lalu-Lintas dan Angkutan Jalan
Raya (DLLAJR) berteriak dari dalam gedung "Jalan terus."
Truk memang tak perlu masuk jembatan timbang itu lagi. Sebab
sejak 13 Desember, Tanjungmorawa 11 termasuk di antara 118
jembatan timbang yang ditutup Menteri Perhubungan Roesmin
Nurjadin. Mulai saat itu pula, semua kendaraan bermotor
dibebaskan dari kewajiban menimbang dan membayar retribusi
jembatan timbang. Sedang kendaraan bermotor dengan muatan sumbu
terberat 8 ton diizinkan melalui jalan nasional dan provinsi.
Keputusan di luar dugaan itu, ditelurkan sesudah Menko Ekuin
Widjojo Nitisastro beserta sejumlah menteri dan Dirjen, serta
Pangkopkamtib Laksamana Sudomo menghadap Presiden Soeharto di
Istana Merdeka pekan lalu. Selama beberapa hari sebelumnya,
Laksamana Sudomo selaku Ketua Opstib Pusat, melancarkan
penertiban di sejumlah jembatan timbang di Jawa dan Sumatera
yang diduga jadi salah satu sumber pungli.
Tapi untuk tetap menjaga kelancaran arus barang dan ketertiban
di jalan raya Menteri Roesmin masih membuka 55 jembatan timbang
lainnya, yang akan digunakan untuk tujuan pengawasan muatan
secara uji petik (steek proof). Menurut Dirjen Perhubungan
Darat, Nazar Nurdin, uji petik itu akan dilakukan petugas
patroli DLLAJR sendiri. "Sekali lihat, petugas yang sudah
berpengalaman bisa mengukur sebuah mobil pengangkut bermuatan
lebih, atau tidak," katanya. "Jika mencurigakan, petugas bisa
langsung menggiringnya ke jembatan timbang."
Untuk mengetahui muatan sebuah truk melebihi kapasitas, kata
Suparman, Ketua Organisasi Angkutan Darat (Organda) Jawa Barat,
petugas bisa melihat per kendaraan. "Bila pernya datar, atau
sampai melenting ke atas sebaiknya digiring saja ke jembatan
timbang," ujarnya. Tapi, kata Sutono dari Organda Daerah
Istimewa Yogyakarta, pengusaha bisa saja mengelabui petugas
dengan cara mengganti, atau menambah jumlah per.
Kendati kemungkinan seperti itu tetap terbuka, para pengusaha
angkutan kini tak perlu lagi menyisihkan uang ekstra buat sopir.
Ny. Fransiska dari PT Muncul, Yogya, misalnya, selalu memberi
bekal Rp 13 ribu buat sopir untuk perjalanan Yogya-Jakarta. Uang
itu sengaja dicadangkannya untuk sejumlah petugas di jembatan
timbang. Dana liar semacam inilah, yang diberikan dengan tujuan
supaya petugas lengah dalam memeriksa muatan, yang ingin
diberantas Ketua Opstib Laksamana Sudomo.
Menurut Surat Keputusan Bersama Menteri Perhubungan dan Dalam
Negeri 10 Agustus 1977, pungutan resmi setiap kendaraan yang
dikenai Tanda Pembayaran Retribusi (TPR) besarnya hanya Rp 125.
Jika muatannya lebih, maka setiap Pemerintah Daerah Tingkat I
berhak menetapkan denda tambahan untuk setiap kelebihan per kg.
Tapi prakteknya, menurut Tirtawiryasentika, Direktur Perusahaan
Angkutan Indonesia Cepat, Bandung, muatan lebih atau kurang,
pungutan liar di jembatan timbangan toh tetap ada. "Ada yang
memungut Rp 500, ada pula yang Rp 1.000," ujar Tirta.
Sejauh ini, sesungguhnya pengusaha dengan senang memberikan dana
yang dititipkan lewat sopir itu. Sebab sesudah menerima imbalan,
petugas biasanya tidak cerewet menimbang, dan memeriksa, yang
menyebabkan kendaraan terhenti sekitar 10 menit. Dengan cara
itulah PT Alsuda Ekspres, perusahaan angkutan dengan truk yang
berpangkalan di Jl. Jatibaru, Jakarta, berusaha mengejar
ketepatan jadwal kedatangan barang. Untuk mengantarkan barang
dari
Jakarta ke Medan, yang melewati 17 jembatan timbang, dan
menyeberang Selat Sunda pakai ferry, truknya hanya perlu waktu
lima hari. Celakanya ketika Ketua Opstib Laksamana Sudomo turun
lewat Operasi Teratai V yang membatasi muatan "perjalanan justru
makan waktu tujuh sampai delapan hari," ujar Rusdi Sir, Direktur
Alsuda.
Tapi kini keadaannya mungkin akan berbeda. Setidaknya' Datok
Bustami agen truk Singgalang Jaya di Medan, sudah menghitung,
bahwa perjalanan barang akan lancar. Dulu sebelum Operasi
berantai, perjalanan truk dari Medan-Padang, yang melewati 20
jembatan timbang, bisa makan waktu tiga hari, sekarang cuma dua
hari, kata Bustami yang setiap hari mengirimkan 10 ton barangke
Padang. Toh Sutono yang biasa melepas truknya dari Yogya ke
Jakarta, melewati 12 jembatan timbang, menganggap peniadaan
kewajiban menimbang tak banyak bermanfaat. "Hanya menghemat
waktu dua jam, dan hal ini tak menyebabkan frekuensi perjalanan
truk bertambah," katanya.
Pendapat Sutono itu, tentu saja ada benarnya, mengingat
lalu-lintas di Jawa (terutama lintas utara) terkenal padat dan
bengis. Karena itulah dia agak mengkhawatirkan, penghapusan
peranan sejumlah jembatan timbang itu justru akan mendorong
pengusaha memuat truk secara berlebihan. Namun betapapun buruk
citra jembatan timban, kata Tirtawiryasentika, kehadirannya
tetap diperlukan. "Bagi kami jembatan timbang merupakan alat
kontrol terhadap sopir untuk tetap mematuhi daya angkut maksimum
kendaraan," katanya. "Sebab muatan berlebih, buat kendaraan juga
bahaya--kalau atas roda patah bagaimana? "
Yang menjengkelkan pengusaha, menurut Suparman, Ketua
Organdaja-Bar, sesungguhnya adalah jumlah jembatan timbang "yang
terlalu banyak, hingga memperlambat kelancaran lalulintas."
Pendapat itu tampaknya benar. Dari 173 jembatan timbang yang ada
di Indonesia, 27 di antaranya berada di Sumatera Utara. Untuk
mencapai Sigli (Aceh) dari Medan (Sum-Ut) yang jaraknya sekitar
500 km, "sebuah truk harus melewati jembatan timbang. Di
sepanjang jalan itu, kelebihan muatan seliap kg didenda Rp 10.
Alhasil jika sebuah truk mengangkut muatan lebih dari 5 ton,
maka "denda damai yang dibagikan kepada petugas sepanjang jalan
bisa mencapai Rp 25 ribu," kata Alimin, Direktur Pengangkutan
Kumita Jaya, Medan.
harena itulah para pengusaha ankutan truk lebih cenderung jika
jumlah jembatan timbang dibatasi saja. Sutono, misalnya,
mengusulkan agar setiap provinsi memiliki dua jembatan timbang.
Memang belum tentu pungli akan hilang, tapi berkurangnya
jembatan itu setidaknya akan menyebabkan pengusahasedikit
mengeluarkan dana ekstra, dan dengan wajar menetapkan ongkos
angkut. Sebab sering terjadi, demi mengeja keuntungan, seorang
pengusaha yang membanting ongkos angkut, memuati truknya secara
berlebihan.
Di jalan raya Medan-Aceh, truk berkapasitas maksimum 3 ton
sering dimuati barang 8 ton. Ongkos angkut pun kadang dibanting
sampai Rp 15 per kg. Padahal untuk truk Medan-Padang, ongkos
angkut Rp 40 per kg. "Karena itulah kompetisi jadi tak shat,"
ujar Alimin.
Karena itu yang penting agaknya, berhati-hatilah kalau
berpapasan atau beriringan dengan truk. Coba longok per nya,
masih lurus, atau sudah melenting ke atas?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini