Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Lihat pernya, jalan terus

Untuk menekan pungli dan memperlancar arus barang, 118 jembatan timbang ditiadakan, dan retribusi dihapus. (eb)

25 Desember 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI mulut jembatan timbang Tanjungmorawa 11, Medan, Astim Koto, kernet truk Singgalang Jaya, berdiri agak ragu. Sebilah papan bertuliskan "Dilarang masuk!" terpancang di situ. Ketika Astim masih ragu, seorang petugas Dinas Lalu-Lintas dan Angkutan Jalan Raya (DLLAJR) berteriak dari dalam gedung "Jalan terus." Truk memang tak perlu masuk jembatan timbang itu lagi. Sebab sejak 13 Desember, Tanjungmorawa 11 termasuk di antara 118 jembatan timbang yang ditutup Menteri Perhubungan Roesmin Nurjadin. Mulai saat itu pula, semua kendaraan bermotor dibebaskan dari kewajiban menimbang dan membayar retribusi jembatan timbang. Sedang kendaraan bermotor dengan muatan sumbu terberat 8 ton diizinkan melalui jalan nasional dan provinsi. Keputusan di luar dugaan itu, ditelurkan sesudah Menko Ekuin Widjojo Nitisastro beserta sejumlah menteri dan Dirjen, serta Pangkopkamtib Laksamana Sudomo menghadap Presiden Soeharto di Istana Merdeka pekan lalu. Selama beberapa hari sebelumnya, Laksamana Sudomo selaku Ketua Opstib Pusat, melancarkan penertiban di sejumlah jembatan timbang di Jawa dan Sumatera yang diduga jadi salah satu sumber pungli. Tapi untuk tetap menjaga kelancaran arus barang dan ketertiban di jalan raya Menteri Roesmin masih membuka 55 jembatan timbang lainnya, yang akan digunakan untuk tujuan pengawasan muatan secara uji petik (steek proof). Menurut Dirjen Perhubungan Darat, Nazar Nurdin, uji petik itu akan dilakukan petugas patroli DLLAJR sendiri. "Sekali lihat, petugas yang sudah berpengalaman bisa mengukur sebuah mobil pengangkut bermuatan lebih, atau tidak," katanya. "Jika mencurigakan, petugas bisa langsung menggiringnya ke jembatan timbang." Untuk mengetahui muatan sebuah truk melebihi kapasitas, kata Suparman, Ketua Organisasi Angkutan Darat (Organda) Jawa Barat, petugas bisa melihat per kendaraan. "Bila pernya datar, atau sampai melenting ke atas sebaiknya digiring saja ke jembatan timbang," ujarnya. Tapi, kata Sutono dari Organda Daerah Istimewa Yogyakarta, pengusaha bisa saja mengelabui petugas dengan cara mengganti, atau menambah jumlah per. Kendati kemungkinan seperti itu tetap terbuka, para pengusaha angkutan kini tak perlu lagi menyisihkan uang ekstra buat sopir. Ny. Fransiska dari PT Muncul, Yogya, misalnya, selalu memberi bekal Rp 13 ribu buat sopir untuk perjalanan Yogya-Jakarta. Uang itu sengaja dicadangkannya untuk sejumlah petugas di jembatan timbang. Dana liar semacam inilah, yang diberikan dengan tujuan supaya petugas lengah dalam memeriksa muatan, yang ingin diberantas Ketua Opstib Laksamana Sudomo. Menurut Surat Keputusan Bersama Menteri Perhubungan dan Dalam Negeri 10 Agustus 1977, pungutan resmi setiap kendaraan yang dikenai Tanda Pembayaran Retribusi (TPR) besarnya hanya Rp 125. Jika muatannya lebih, maka setiap Pemerintah Daerah Tingkat I berhak menetapkan denda tambahan untuk setiap kelebihan per kg. Tapi prakteknya, menurut Tirtawiryasentika, Direktur Perusahaan Angkutan Indonesia Cepat, Bandung, muatan lebih atau kurang, pungutan liar di jembatan timbangan toh tetap ada. "Ada yang memungut Rp 500, ada pula yang Rp 1.000," ujar Tirta. Sejauh ini, sesungguhnya pengusaha dengan senang memberikan dana yang dititipkan lewat sopir itu. Sebab sesudah menerima imbalan, petugas biasanya tidak cerewet menimbang, dan memeriksa, yang menyebabkan kendaraan terhenti sekitar 10 menit. Dengan cara itulah PT Alsuda Ekspres, perusahaan angkutan dengan truk yang berpangkalan di Jl. Jatibaru, Jakarta, berusaha mengejar ketepatan jadwal kedatangan barang. Untuk mengantarkan barang dari Jakarta ke Medan, yang melewati 17 jembatan timbang, dan menyeberang Selat Sunda pakai ferry, truknya hanya perlu waktu lima hari. Celakanya ketika Ketua Opstib Laksamana Sudomo turun lewat Operasi Teratai V yang membatasi muatan "perjalanan justru makan waktu tujuh sampai delapan hari," ujar Rusdi Sir, Direktur Alsuda. Tapi kini keadaannya mungkin akan berbeda. Setidaknya' Datok Bustami agen truk Singgalang Jaya di Medan, sudah menghitung, bahwa perjalanan barang akan lancar. Dulu sebelum Operasi berantai, perjalanan truk dari Medan-Padang, yang melewati 20 jembatan timbang, bisa makan waktu tiga hari, sekarang cuma dua hari, kata Bustami yang setiap hari mengirimkan 10 ton barangke Padang. Toh Sutono yang biasa melepas truknya dari Yogya ke Jakarta, melewati 12 jembatan timbang, menganggap peniadaan kewajiban menimbang tak banyak bermanfaat. "Hanya menghemat waktu dua jam, dan hal ini tak menyebabkan frekuensi perjalanan truk bertambah," katanya. Pendapat Sutono itu, tentu saja ada benarnya, mengingat lalu-lintas di Jawa (terutama lintas utara) terkenal padat dan bengis. Karena itulah dia agak mengkhawatirkan, penghapusan peranan sejumlah jembatan timbang itu justru akan mendorong pengusaha memuat truk secara berlebihan. Namun betapapun buruk citra jembatan timban, kata Tirtawiryasentika, kehadirannya tetap diperlukan. "Bagi kami jembatan timbang merupakan alat kontrol terhadap sopir untuk tetap mematuhi daya angkut maksimum kendaraan," katanya. "Sebab muatan berlebih, buat kendaraan juga bahaya--kalau atas roda patah bagaimana? " Yang menjengkelkan pengusaha, menurut Suparman, Ketua Organdaja-Bar, sesungguhnya adalah jumlah jembatan timbang "yang terlalu banyak, hingga memperlambat kelancaran lalulintas." Pendapat itu tampaknya benar. Dari 173 jembatan timbang yang ada di Indonesia, 27 di antaranya berada di Sumatera Utara. Untuk mencapai Sigli (Aceh) dari Medan (Sum-Ut) yang jaraknya sekitar 500 km, "sebuah truk harus melewati jembatan timbang. Di sepanjang jalan itu, kelebihan muatan seliap kg didenda Rp 10. Alhasil jika sebuah truk mengangkut muatan lebih dari 5 ton, maka "denda damai yang dibagikan kepada petugas sepanjang jalan bisa mencapai Rp 25 ribu," kata Alimin, Direktur Pengangkutan Kumita Jaya, Medan. harena itulah para pengusaha ankutan truk lebih cenderung jika jumlah jembatan timbang dibatasi saja. Sutono, misalnya, mengusulkan agar setiap provinsi memiliki dua jembatan timbang. Memang belum tentu pungli akan hilang, tapi berkurangnya jembatan itu setidaknya akan menyebabkan pengusahasedikit mengeluarkan dana ekstra, dan dengan wajar menetapkan ongkos angkut. Sebab sering terjadi, demi mengeja keuntungan, seorang pengusaha yang membanting ongkos angkut, memuati truknya secara berlebihan. Di jalan raya Medan-Aceh, truk berkapasitas maksimum 3 ton sering dimuati barang 8 ton. Ongkos angkut pun kadang dibanting sampai Rp 15 per kg. Padahal untuk truk Medan-Padang, ongkos angkut Rp 40 per kg. "Karena itulah kompetisi jadi tak shat," ujar Alimin. Karena itu yang penting agaknya, berhati-hatilah kalau berpapasan atau beriringan dengan truk. Coba longok per nya, masih lurus, atau sudah melenting ke atas?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus