MASIH saja ada oknum ABRI yang belum manunggal dengan rakyat:
malah bersekutu dengan perampok. Empat anggota TNI AD, kedapatan
telah memperjualbelikan senjata api, pistol FN5 dan sepucuk
Vickers, kepada kawanan perampok untuk keperluan "mencari uang."
Mereka juga mendapat semacam "uang sewa" bila operasi perampokan
berhasil. Seorang oknum lain, turut terlibat karena
menyembunyikan Anton otak kawanan perampok itu, ketika kakinya
kena tembak.
Majelis Hakim Mahkamah Militer Jakarta-Banten yang diketuai
Letkol CKH Iskandar Kamil SH, menyebut mereka, "telah
mencemarkan citra ABRI dalam masyarakat." Maka kepada Pelda
Achmad dan Peltu Aris yang masingmasing dijatuhi hukuman empat
tahun enam bulan dan tiga tahun penjara, diberi hukuman
tambahan: dipecat dari dinas militer. Dua terwakda lain dihukum
agak ringan. Kapten Dadim kena setahun sembilan bulan dan Peltu
Djini dua tahun enam bulan, tanpa dipecat.
Mereka dipersalahkan melanggar pasal 1 Undang-Undang No.
12/Darurat/ 1951 (UU tentang Senjata Api). Adapun Peltu Heri
hanya dikenai pasal 221 KUH Pidana: menyembunyikan orang yang
melakukan tindak kejahatan. Ia divonis sembilan bulan penjara
dan kontan menyatakan menerima, karena sudah ditahan sejak 2
Januari 1982.
Pelda Achmad dan Peltu Aris yang dipecat, Sabtu pekan lalu naik
banding ke Mahakamah Militer Tinggi. Dengan begitu, untuk
sementara keluarga keduanya masih akan menerima beras dan gaji,
karena putusan Majelis Hakim belum mempunyai ketetapan hukum
yang pasti.
Cerita jual-beli senjata api itu cukup berliku juga. Pistol
FN-45 mulanya berasal dari Peltu Djini, yang katanya ia peroleh
dari Peltu Aris. Dengan imbalan Rp 25.000, FN45 dipinjamkan
kepada Kapten Guntoro (almarhum). Tapi Djini kemudian menariknya
kembali dari tangan Guntoro, dan menjualnya kepada Pelda Achmad
seharga Rp 200.000. Oleh Achmad, senjata api itu dijual lagi
kepada Anton alias Tan dan kawan-kawan, komplotan perampok kelas
kakap.
Komplotan ini juga memperoleh sepucuk Vickers, lewat Achmad,
dari Kapten Dadim yang mendapatkannya waktu ia bertugas di Timor
Timur. Dadim mendapat imbalan Rp 100.000, dan ia tahu persis
senjata api yang tak mempunyai dokumen resmi itu digunakan Anton
untuk merampok. Tapi ternyata komplotan itu masih mempunyai
sepucuk pistol lagi. Colt 38, yang menurut Anton milik seorang
temannya, Ban Siang (almarhum).
Bersenjatakan tiga pucuk senjata api, kawanan itu cukup sukses
merampok nasabah bank. Dalam lima kali operasi tahun 1981,
mereka berhasil menggaet Rp 76 juta uang tunai.
Oktober 1981, misalnya, kawanan Anton yang mengendarai sepeda
motor menguntit mobil Lie Tian Jun alias Yanto, yang baru
mencairkan cek Rp 20 juta di BNI 1946 Cabang Kota, Jakarta
Barat. Begitu tiba di kantornya di Jalan Balikpapan, Yanto
disergap. Rusli, pengemudi, sempat mempertahankan tas berisi
uang itu. Namun perampok lalu menembak kaki si sopir hingga tak
berdaya. Syukur yang Rp 10 juta selamat, karena ditaruh di
bagasi.
Menjelang akhir tahun, 30 Desember 1 981 siang, kawanan Anton
beraksi lagi. Korbannya kali ini Abdul Rasuid, Direktur PT
Raslim Trading Co., perusahaan kayu. Ia dihadang Anton dan Sabar
yang dikenal berdarah dingin, tepat di ruangan kantornya di
Jalan Suryopranoto. Uang Rp 32 juta yang baru diambil dari Chase
Manhattan Bank dan uang pribadinya sebesar Rp 750.000 segera
dibawa kabur.
Tapi rupanya hari itu naas. Sabar, untuk menggertak agar tak ada
yang berteriak atau melawan, membuang tembakan. Sebutir peluru
nyasar mengenai kaki kanan Anton, temannya. Buru-buru mereka
angkat kaki menuju rumah kontrakan di Bendungan Jago, lalu
mengontak Pelda Achmad. Akhirnya diputuskan Anton harus diobati
di luar Jakarta supaya aman. Peltu Heri yang tinggal di Cimahi,
mcngusa'hakan Anton bisa dirawat di Rumah Sakit Rajawali di kota
itu. Di situlah Anton ditangkap, dan kemudian komplotannya
digulung.
Agustus lalu Anton dan kawan-kawannya diadili di Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat. Anton divonis tujuh tahun penjara dan
Sabar kena delapan tahun. Pepeng enam tahun, sedangkan Robert,
Wong dan Agus masing-masing dihukum lima tahun penjara.
Sukses besar yang diraih komplotan Anton. mcnurut Oditur Letkol.
CKH Yuda Langliat SH membuat pemilik senjata api kecipratan.
Achmad, misalnya, beberapa kali memperoleh imbalan sampai Rp 2
juta lebih, plus sebuan sepcda motor. Para terdakwa lain pun
kebagian, meski tak sebanyak Achmad.
Tapi dalam pleidoinya, Pembela Mayor CKH A.M. Ghalib SH, dan
Lettu CKH A.M. Ambong, SH menyatakan bahwa uang yang diterimakan
kepada para terdakwa, "diserahkan sebelum perampokan
berlangsung." Pembela juga menyebutkan bahwa motif perbuatan
para terdakwa semata karena kebutuhan ekonomi. Pelda Achmad,
misalnya, mempunyai tanggungan tujuh anak, seorang istri dan
mertua. Peltu Aris menanggung 10 jiwa.
Namun Majelis Hakim yang terdiri dari Letkol CKH Iskandar
Kamil, SH Letkol Kum Budi Sunarto, SH, dan Letkol. KH Sutanto,
SH, tegas menyatakan bahwa alasan ekonomi tak bisa diterima.
Sebab bila hal itu ditolerir, bagaimana pula dengan orang-orang
miskin lain yang tak sedikit jumlahnya?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini