Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Setelah Rebulida, Bagaimana Bermuda

Regu putra bridge Indonesia keluar sebagai juara di turnamen bridge timur jauh untuk ke-7 kalinnya. (or)

25 Desember 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

UNTUK ketujuh kalinya regu bridge putra Indonesia membawa pulang Piala Rebulida, lambang keunggulan bridge Timur Jauh. Pasangan Ferdy Waluyanl Denny Sakul dan Hengky Lasut/Max Agouw dalam turnamen bridge Timur Jauh (Far East Bridge Tournament 1982) di Bangkok, di final Rabu pekan lalu menundukkan juara tahun lalu, Taiwan, dengan 8-0. Prestasi sekali ini agaknya paling mantap, karena Indonesia berhasil meraih kemenangan lebih dari 80% (dari kemungkinan 100%), suatu rekor yang melampaui prestasi-prestasi sebelumnya. Di perebutan piala Rebulida Indonesia tercatat pernah memenangkannya pada tahun 1962, 1964, 1972, 1973, 1974 dan 1979. "Di Tokyo (1979) kita sudah meraih kemenangan walau 1 session masih harus dipertandingkan, sedangkan di Bangkok (1982 ini) kemenangan kita sudah dipastikan 2 session sebelum berakhir," tutur Chef de mission, Amran 7.amzami, membanggakan prestasi regu yang dibinanya itu. Kemenangan Indonesia di kejuaraan bridge zone Timur Jauh yang ke-25 ini dipetik selain dari dua Cina (RRC dan Taiwan), Malaysia, Thailand, Filipina, Jepang dan Australia. Cuma sekali Indonesia draw lawan Hongkong dan kalah tipis lawan Singapura dan Selandia Baru. Sebagai juara, Indonesia akan menjadi wakil zone untuk memperebutkan lambang supremasi bridge dunia, Bermuda Bowl yang akan diperebutkan di Stockholm (Swedia) Oktober 1983. "Regu Indonesia akan merupakan lawan berat bagi jagojago di Stockholm," kata Alan Truscott, kolumnis bridge terkenal dari The New York Times yang hadir sebagai komentator resmi di Bangkok. Menurut Truscott, kekuatan regu Indonesia adalah keberhasilannya dalam mengembangkan dan mempertahankan partnership secara konsisten dan efektif. Namun berdasarkan pengalaman kegagalan di perebutan Bermuda Bowl di New York tahun lalu, ketua bidang pembinaan Gabsi, Amran Zamzami, mengakui masih banyak kelemahan yang harus dibenahi. Terutama stamina dan ketahanan bertanding setiap hari sejak pukul 12.00 hingga 24.00 selama 12 hari di negeri dingin. "Pemain Eropa di New York tahun lalu juga sampai batuk-batuk. Untung pemain kita batuk-batuk cuma karena merokok. Tapi rasa tanggung jawab dalam bidding dan tanggung jawab dalam permainan, kekompakan antarpemain, antarpasangan dan dengan ofisial, dan lain-lain masih perlu dibina," tutur Amran kepada TEMPO. Rasa tanggung jawab untuk bidding dan permainan, menurut seorang ofisial, belum sepenuhnya terlihat di Bangkok. Di ronde-ronde awal, di Bangkok itu, misalnya, permainan regu Indonesia terlihat kurang mantap sehingga sempat terduduk di urutan ke-4. Pemain cadangan yang tidak seimbang dengan pemain inti, menurut Amran, juga terasa di New York tahun lalu sebagai suatu masalah. Karena itu Amran hendak menyelenggarakan pembinaan terpusat bagi para master nasional yang qualified sebagai training-squad. Dari mereka diharapkan nanti muncul pemain-pemain sekaliber Ferdy Waluyan dan kawan-kawannya, terutama lewat permainan sparring. Para calon pemain cadangan (para master nasional) itu kelak akan diikutkan ke luar negeri (antara lain kejuaraan invitasi di India Januari 1983) ataupun diajak menonton pertandingan internasional, seperti yang sudah dialami Donny Tuerah dan Munawar selama 3 tahun terakhir. PROGRAM ini bukan khusus untuk para pemain pria saja. Pembinaan untuk para pemain wanita selama ini juga tampaknya masih terlampau kurang, sehingga kalah menyolok dari regu Filipina (juara) di kejuaraan Bangkok. Nyonya-nyonya yang dikirim, yakni pasangan W. SukandartT. Gunawan, D. Hartono/M. Sujarto dan D. Suryosumarno/W. Sondakh, sebenarnya sudah cukup menguasai teknik permainan bridge. Dalam seleksi di Jakarta Oktober lalu sebelum ke Bangkok pasangan Sukandar/Gunawan bahkan menciptakan rekor kemenangan lebih tinggi dari pasangan andalan pertama regu putra. Tapi kelemahan utama para pemain wanita di cabang olahraga otak ini, yakni sering terganggu emosi, suatu ciri yang lazim menghinggapi pemain bridge wanita. Bila kalah di satu papan, terlalu lama mereka baru bisa menguasai perasaan kecewa--terkadang sampai lewat 4 papan pertandingan. "Bukannya memecahkan masalah dengan partner, tapi mereka membicarakan kelemahan partner kepada orang lain," tutur Ketua Umum Gabsi, H.N. Sumual. "Kelemahan dasar para pemain putri harus dibenahi," tambah Sumual. Kelemahan seperti ini pernah juga dialami pemain putra di masa lalu (periode 1975 hingga 1978) sampai datang Amran Zamzami (1979), tokoh bridge yang menerapkan cara berpikir dan bertindak serba tegas kepada para pemain.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus