Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Anak sontoloyo dari gang sentiong

Yustejo tarik, petenis, tentang kehidupan dan kariernya. wawancara dengan Tempo, setelah dijatuhi hukuman tidak boleh main dan melatih. (or)

3 Maret 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IA tak mengeluh, apalagi menang menghadapi hukuman yang dijatuhkan. Barangkali kalau hukuman itu dilayangkan di lapangan, dia akan membalas dengan membanting raket dan memekik "Sialan". Sebagaimana biasa, dia mengumpat kalau ada orang mengganggu konsentrasinya. Hukuman tak boleh main dan melatih itu malahan membangkitkan rasa keadilannya. Cuma, ibunya yang tak tahan. "Beitu mendengar Tedjo ditahan di Halim Perdanakusuma, saking kagetnya, saya sampai tidak bisa Jalan. Ibarat kejatuhan bom. Saya tidak menyangka Pak Jono sampal hati memberi hukuman begitu berat. Bagaimana cucu-cucu saya bisa makan, kalau Tedjo nggak kerja. Ia anak kami. Kesedihannya adalah kesedihan kami," ujar Sarti, ibu petenis yang bandel itu. Kalau dia minta maaf, sebagaimana diisyaratkan Jonosewojo, hukuman itu bisa ditinjau kembali. Tapi Yustedjo Tarik tidak mau menyerak. Ibunya juga mengharap supaya anaknya itu minta ampun saja. Katanya, "Kalau bisa, jangan sampai dibawa ke meja hijau. Ibu takut. Ibu hanya orang desa, syukur tidak buta huruf. Tapi ia menolak. Malah menjawab 'Ibu tahu apa'." Begitu orangtua yang berusia 54 tahun itu menceritakan gelagat anak sulungnya itu. Mengenang masa kecil Yustedjo, ibunya mengakul bahwa adatnya memang sontoloyo. "Tetapi dia anak baik. Asal jangan disakiti hatinya," ujar Sarti. Waktu di bangku SMA kelas I, dia pernah tak mau masuk sekolah gara-gara janji ayahnya yang tidak ditepati. "Habis, sudah dijanjikan kalau naik kelas akan dibelikan sepeda motor, nggak dibeli-belikan juga, gue ngadat," Yustedjo mengakui sendiri polahnya semasa remaja. Tapi begitu sepeda motor sudah nongkrong di rumah, dirawatnya baik-baik. "Kotor sedikit saja saya lap. Pokoknya selalu menkilap," kata Yustedio. Bagaimana sebenarnya masa kecil Anda, sejauh yang Anda ingat? Sebelum menekuni tenis, waktu saya lebih banyak dihabiskan untuk bermain-main terutama main layang-layang dan adu ayam. Saya senang adu ayam. Ayam yan mau dipotong saya adu dulu. Yang kalah dipotong, sedangkan yang menang dipelihara samai beberapa hari untuk kemudian diadu lagi. Ayam yang diadu masih kecil-kecil, yang belum mempunyai taji. Saya sempat belajar mengaji selama tiga tahun. Cuma segitu saja. Habis, guru ngaji yang baru nggak enak dan galak. Lebih enak guru yang pertama, ceritanya menarik. Karena guru yang pertama pindah, gue juga berhenti ngaji. Guru yang pertama itu kalau mengajar gue kuntit terus. Saya ikuti terus karena saya senang sama dia. Yustedjo lahir di Jakarta 30 Agustus 1953. Menurut pengakuannya, dia keturunan Belanda. Tetapi Yustedjo lebih senang disebut anak Betawi. Sedangkan kalau bicara dialek Betawinya medok bukan main. Dia mengaku darah tenisnya mengalir dari ayahnya, Muhammad Yusuf Tarik, seorang pemain yang pernah jaya tahun 1930-an. Yustedjo mulai mengayun raket ketika berusia enam tahun. Sepuluh tahun setelah berlatih, dia sudah bisa mengalahkan ayah yang merangkap pelatihnya. Yusuf konon tidak pernah dapat lebih dari tiga angka melawan putranya ini. "Pukulan volley-nya maut," cerita sang ayah memuji. Sejak usia berapa Anda mulai jatuh cinta pada tenis? Olah raga ini mulai saya gemar ketka saya sudah duduk di bangku kelas 1I SMP. Umur saya 15 tahun waktu itu. Sejak saat itu, saya lebih banyak berlatih tenis daripada bermain-main dengan teman sebaya, walaupun sebenarnya saya lebh senang bermain layang-layang daripada berlatih. Dia berlatih di lapangan tenis milik engkong (kakek)nya yang terletak di samping rumah di Jalan Sentiong. Tahun 1970, ketika berusia 17 tahun, untuk pertama kali dia mengikuti kejuaraan yunior di Malang. Keluar sebagai juara kedua. Dia dikalahkan Hadiman di final. Tapi setahun kemudian dia berhasil merebut tempat tertama. Pintu sukses mulai terbuka. Tahun 1971 dia terpilih untuk digodok dalam proyek pembibitan pemain berbakat DKI . yang dimotori pemain nasional, Sugiarto Sutaryo. Pusat latihannya pindah dari Sentiong ke lapangan Monas. Dia diasuh Sugiarto lebih kurang lima tahun. Dari empat bersaudara ternyata si sulung ini yang lengket dan bahkan menjadikan raket tenis sebagai gantungan periuk-nasinya. Yang lain bukannya tidak suka. Cuma mereka main asal-asalan saja. Sekadar bisa. Setelah tamat dari SMA V di Jakarta, tahun 1971, dia sempat meneruskan pelajaran ke Sekolah Tinggi Olah Raga. Lain dengan temannya, Hadiman, yang bisa meraih gelar insinyur, Yustedjo hanya sampai di tingkat III STO. Menurut dia, otaknya tak cukup mampu membagi waktu antara berlatih dan bangku sekolah. Lagi pula, dia keburu menikah tahun 1978 dengan Elfia Nizarwan, juga seorang petenis terkenal. Anda pernah bekerja di Bulog, sebagai pegawai negeri? Saya terdaftar sebagai karya7an begitu tamat dan SMA, tahun 1971. Kerjanya, sih, cuma main-main. Kalau ada waktu saja, masuk kantor. Sebagaimana pegawai Bulog yang lain, saya juga dapat beras. NIP juga. Kerja saya di bagan keuangan seks gaji. Jadi, tugasnya hanya membagikan gaji pada akhir bulan. Biasanya, saya masuk kantor kalau orang mau gajian saja. Tapi dengan adanya pergantian pimpinan tahun 1975, saya diharuskan kerja benar-benar. Padahal, saya masih ingin latihan. Akhirnya, saya mengundurkan diri. Karena gue kagak ada tampang orang kantoran. Lebih cocok jadi orang lapangan. Kariernya memuncak pada tahun 1979 ketika untuk pertama kali keluar sebagai juara nasional di Semarang. Dia menundukkan Atet Wiyono, pemain yang selama ini merajai gelanggang. Berpaiangan dengan Hadiman, dia juga berhasil mengungguli pasangan Atet Wiyono - Gondowijoyo. Dari kejuaraan nasional itu, selain menerima Piala Presiden, dia juga menggondol hadiah Rp 600.000 sebagai juara tunggal. Ditambah Rp 200.000 dari juara anda. Tarifnya sebagai pelatih ikut melonjak sejak itu. Minimum dia menarik Rp 15.000/jam. Tampilnya Yustedjo memberi warna sendiri dalam dunia tenis di sini. Dari permainan serba sopan dan suasana patuh kepada wasit, Yustedjo tampil dengan gayanya yang membikin gemas orang. Sesekali dia menjulurkan lidahnya mengejek lawan. Dia memang terkenal dengan servisnya yang menggeledek. Tapi juga diingat orang sebagai pemain yang tak segan bertengkar dengan wasit atau penjaga garis. Kalau disoraki, dia bisa naik darah, dan memaki "Babi, lu." Bahasa Inggrisnya jadi berani karena ia pernah berlatih di Alabama. Ketika penonton India yang panas karena Yustedjo membendung India ke final beregu di Asian Games New Delhi, mereka meneriakinya dari pinggir lapangan. "Tarik . . . Tarik." Anak Betawi itu melemparkan raketnya ke tanah dan mencarut daiam bahasa Inggris: "Shit!" Dia tak mau pusing siapa yang dihadapinya. Akhirnya, ke kuping orang India itu dia muntah lagi: "Tai, lu." Sikapnya itu barangkali dianggap penonton kurang sopan. Tapi begitulah, caranya,dia mengatasi ketegangan. Dia, katanya, hanya sekadar mau bergurau. "Main tenis memang sangat menegangkan. ak mengherankan untuk melepaskan stress-nya itu ia berbuat aneh-aneh, meskipun kalau sudah sadar ia tak tahu apa yang baru dilakukannya. Saya bisa maklumi. Dan figur macam Tedjo tak ada duanya di Indonesia saat ini," komentar Yolanda Sumarno, 37, pemain putri yang pernah disegani di kawasan Asia. Mengapa Anda suka membantingbanting raket dan marah-marah, apakah Anda meniru Natase atau McEnroe? Bisa-bisa gue lebih dulu daripada Natase. Ini memang turunan dari engkong gue. Waktu saya masih kecil, saya serin melihat Engkong membanting raket kalau lagi kesal. Berapa saja raket merk Dunlop hancur dibanting Engkong. Kalau sudah hancur begitu, senarnya saya cabuti untuk mainan. Kalau gue sekarang bantin-banting raket, di samping raketnya sudah butut, juga lagi kesal. 'Kan nanti raket bisa diganti sponsor kalau rusak. Kalau nggak rusak nggak diganti-ganti. Dan barangkali itu memang ciri-ciri Yustedjo. Bicaranya ceplas-ceplos, tapi jujur. Orang yang tak biasa bisa panas kuping. Satu kali ada tamu yang terheran-heran mengapa puluhan medali yang diperolehnya hanya igantung di paku, di garasi mobilnya. "Medali ini belum semuanya, Mas, masih banyak lagi yang hilang waktu pindahan dulu," jawabnya ketus, di rumah yang baru dia bangun. Apakah Anda mau menjadi Drofesional tulen dan mencari nafkah di luar negeri? Saya tidak memusuhi Pelti dan saya tidak berniat ke luar negeri. Pengda Ja-Bar aja ngajak saya main dengan bendera Ja-Bar tapi saya tolak. Apalagi ke luar negeri. Enak aja main buat Ja-Bar. Saya 'kan anak Sentiong. Lahir dan gede di Sentiong. Masak anak Betawi main buat daerah lain.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus