Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Menunggu "pengampunan" dari senayan

Hukuman PB Pelti dan larangan untuk ke luar negeri bagi Yustejo Tarik. Selain menggugat PB Pelti ke pengadilan, juga mengadu ke DPR. profil Yustejo dan Jonosewoyo. (or)

3 Maret 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BEGITU turun dari mobilnya, sebuah sedan Mazda 323 baru berwarna biru tua yang mengkilat, Yustedjo Tarik kelihatl an bingung. "Baru pertama kali ini saya ke sini," ujarnya. Matanya menengadah, memandang sekeliling kompleks DPR/MPR di Senayan dengan kagum. Waktu itu ia tampak seperti murid sekolah yang untuk pertama kali dibawa gurunya mengunjungi museum. Tapi kesan itu hilang, begitu ia nyeletuk "Hebat juga, ya, kantor para wakil rakyat ini." Senin pagi lalu itu Yustedjo Tarik, 31, datang ke Senayan untuk menemui wakilnya di DPR. Petenis nasional ini diterima Wakil Ketua Komisi III (Hukum) Albert Hasibuan dan Wakil Sekretaris Fraksi Karya Pembangunan Krissantono. "Saya datang untuk berkonsultasi. Juga untuk menjelaskan masalah yang saya hadapi," katanya. Seperti biasa, ia kelihatan santai, mengenakan jin biru tua dengan kemeja kotak-kotak merah, dan berbicara ceplas-ceplos khas Yustedjo. Coba dengar ini. "Sekalipun dilarang Pelti, saya sih tetap melatih terus. Tapi lama-lama nggak enak juga, takut dldatangi orang. Apalagi Pak Jonosewojo 'kan bekas anggota ABRI," katanya dengan polos kepada Albert dan Krissantono. Yustedjo memang tidak menutup-nutupi sikapnya terhadap Ketua Umum PB Pelti Mayor Jenderal (pur.) Jonosewojo. Kelihatannya keduanya tidak bertegur sapa. Sabtu siang pekan lalu, Jonosewoio menutup kejuaraan tenis Bintang Remaja III di lapangan tenis Kelapa Gading, Jakarta Utara. Yustedjo hadir juga. Jarak mereka cuma tiga meter. Yustedjo pura-pura tidak melihat sewaktu Jonosewojo memandang ke arahnya. Begitu juga sebaliknya, Jonosewojo berpaling ke arah lain tatkala Yustedjo menoleh ke arahnya. Tapi sewaktu Jonosewojo tiba, Yustedjo ikut berdiri sebentar menyambutnya. Katanya sembari duduk kembali, "Sebagai warga negara yang baik, kalau ada presiden datang, kita harus berdiri. Ironisnya, kasus Yustedjo Tarik sebenarnya menyangkut apa batasan "warga negara yang baik" itu. Ternyata, muncul berbagai sisi pandangan yang berlainan. Tiga pekan lalu, 12 Februari, Yustedjo Tarik bersama pemain tenis top lain, Atet Wiyono, dihadang di bandar udara Halim Perdanakusuma tatkala akan pergi ke Bangkok untuk mengikuti turnamen tenis Singha Beer. Alasan petugas imigrasi yang mencegat mereka: ada telepon dari Bakin yang melarang kedua pemain nasional itu (juga Yolanda Sumarno, Hadiman, dan Conny Maramis) ke luar negeri. Belakangan, terungkap bahwa larangan itu atas permintaan Ketua Pelti Jonosewojo. Alasan Jono: kepergian Tedjo dan Atet tidak seizin PB Pelti. Masih ada setumpuk alasan lain. Antara lain, Yustedjo dianggap telah berdusta. Ia menolak mengikuti seleksi nasional untuk pembentukan Tim Piala Davis Indonesia dengan alasan tidak fit, tapi ternyata diam-diam mau ikut turnamen di Bangkok itu. "Itu bukannya tindakan kenakalan lagi tetapi crime, kejahatan," kata Jonosewojo dalam sebuah jumpa pers. Sikap Yustedjo dinilainya mendahulukan kepentingan pribadi, mengesampingkan kepentingan nasional, hmgga dianggap bukan "warga negara yang baik". Yustedjo dan Atet, tentu saja, juga punya segudang alasan dan bantahan. Penolakannya mengikuti seleksi nasional, menurut Tedjo, karena telah terbukti lewat berbagai pertandingan, ia menduduki peringkat kedua setelah Tintus. Izin Pelti untuk bertanding ke luar negeri? "Itu hanya anjuran saja. Peraturan hitam di atas putih tidak ada," jawab Tedjo. Namanya, katanya, tidak tercantum dalam daftar peserta pemusatan latihan nasional (pelatnas) jangka panjang. "Berarti, saya bebas untuk pergi mengikuti pertandingan di luar negeri," katanya. Mengikuti turnamen di luar negeri, menurut Tedjo, penting untuk menambah pengalaman dan mempelajari berbagai jenis pukulan. Dalam satu tahun ada sepuluh turnamen di Asia yaog perlu diikuti. Selama ini para pemain Indonesla cuma mendapat kesempatan bertanding ke luar negeri paling banyak empat kali setahun. Padahal, pemain profesional dunia bisa mengikuti tiga turnamen dalam sebulan. "Yang ada di sini cuma pelatnas terus. Begitu mengikuti pertandingan di luar negeri, pemain Indonesia sudah minder dulu dan kalah terus," tutur Yustedjo. Tatkala tiga pekan lalu Yustedjo nekat pergi ke Bangkok, Jonosewojo tampaknya gusar karena merasa dibohongi, hingga diangkatnya telepon. Diputarnya nomor tertentu: Bakin. Tapi rupanya yang tambah membuatnya gusar adalah ulah Tedjo di luar, protes dan penolakannya atas tindakan Jonosewojo, yang diberitakan secara luas oleh pers. "Sebenarnya, Pak Jonosewojo menginginkan penyelesaian secara kekeluargaan. Tapi Yustedjo masih saja ngomong di luar hingga masyarakat luas makin mengetakui semua," kata Soedjono, Ketua Bidang Pembinaan PB Pelti, yang dikenal dekat dengan Jonosewojo. Hingga kemudian terjadilah rapat PB Pelti 16 Februari itu. Hadir dalam rapat yang diselenggarakan di kantor PB Pelti, Stadion Tenis Senayan, itu delapan dari sekitar 20 anggota pengurus besar Pelti. Antara lain Jonosewojo, Soedjono, Mien Gondowidjojo, Nartomo, Utju Suparta, Eddy Pandelaki, dan B. Pangerapan. Dengan pertimbangan suatu organisasi olah raga dalam menjalankan organisasi dan membina olahragawan memerlukan tertib organisasi dan penegakan disiplin, Yustedjo dianggap telah bertindak indisipliner. Maka, jatuhlah keputusan PB Pelti nomor 3 Tahun 1984 itu. Yustedjo Tarik dilarang mengikuti pertandingan tenis, di dalam dan di luar negeri, baik yang disponsori Pelti maupun swasta lainnya, juga melatih tenis, sampai dengan tanggal 31 Desember 1984. Banyak yang kaget dengan keputusan itu. Dan memang keputusan itu merupakan sejarah baru dalam dunia keolahragaan Indonesia. Untuk pertama kali seorang olahragawan dilarang melatih. Di cabang olah raga lain, bulu tangkis misalnya, PB PBSI memang pernah menjatuhkan skorsing terhadap pemain. Liem Swie King pernah dilarang ikut bertanding selama tiga bulan gara-gara terlambat datang dalam pertandingan semifinal bulu tangkis perorangan SEA Games di Jakarta, 1979. Menurut Soedjono, "Sebenarnya anggota rapat ada yang tidak setuju larangan melatih bagi Yustedjo, tapi banyak juga yang mengusulkan perlu." Ia menolak mengungkapkan siapa yang pro dan kontra. Menurut Soedjono, pemain tenis nasional Indonesia diperlakukan seperti pemam nasional di Eropa: mereka tidak perlu melatih karena penghasilan diperoleh dari bermain. Secara prinsip, PB Pelti tidak membenarkan pemain nasional menjadi pelatih, selama dia masih bermain. "Melatih bisa mengganggu konsentrasi serta teknik yang dimiliki," ujar Soedjono. Tapi berapa penghasilan dari bermain? Frekuensi pertandingan di Indonesia tidak terlalu sering. Hadiahnya tidak terlalu besar. Juara I Kejuaraan Tenis Nasional 1983, misalnya, mendapat Rp 1,25 juta dan juara II Rp 750.000. Dalam setahun ada lima turnamen dalam negeri yang memberikan hadiah uang. Jadi, jumlah hadiah dari bermain sebenarnya tidak terlalu banyak. Tapi seorang pemain top biasanya juga memperoleh bayaran dari perusahaan peralatan olah raga yang mensponsorinya. Yustedjo, misalnya, setahun memperoleh sekitar Rp 24 juta dari pabrik raket Wilson dan sekitar Rp 2 juta dari Lotto. Sekalipun PB l?elti "secara prinsip" melarang pemain nasional melatih, kenyataannya banyak pemain nasional, antara lain Yustedjo, Atet Wiyono, dan Hadiman, yang melatih. Tarif mereka sekitar Rp 15.000 sejam. Yustedjo, yang melatih sejak 1979, ternyata tidak pernah ditegur Pelti. Menurut pengakuan Tedjo sendiri, penghasilan dari melatih merupakan sumber utama "periuk nasinya". Maka, bisa dimengerti bila dia mencak-mencak menerima hukuman PB Pelti. Keputusan itu diterima Yustedjo 21 Februari. "Sebenarnya, PB ingin mengajak Yustedjo dan Ketua Umum Penurus Daerah Pelti Jakarta Soeparno berdiskusi, untuk melakukan pembelaan, setelah surat keputusan itu diserahkan," kata Soedjono. Tapi, ternyata, kata Soedjono, Yustedjo terus pergi begitu menerima SK. "Pak Jonosewo sangat geram dengan tingkah laku Yustedjo. Karena diajak berunding tidak mau, akibatnya seperti sekarang ini, seperti bermusuhan saja antara PB dan dia," kata Soediono. Namun, Yustedjo membantah. "Tidak benar waktu itu saya diajak berdialog. Waktu masuk, saya langsung minta maaf kepada Pak Jono, tapi tidak digubris. Pak Jono sendiri yang memonopoli pembicaran waktu itu. Pak Parno yang mau membenkan laporan saja dipotong di tengah jalan," kata Yustedjo. Katanya, Jonosewojo waktu itu berbicara emosional, sembari memukul meja. "Bagaimana tidak lucu, masak masalah saya dikaitkan dengan pengorbanan Panglima Besar Soedirman waktu revolusi dulu," kata Yustedjo. Yustedjo sendiri merasa sebagai pemain nasional telah "melakukan kewajiban bagi kepentingan bangsa dan negara," dengan bermain dalam Asian Games, SEA Games, dan perebutan Piala Davis sejak 1971. "Apakah masih diragukan darma bakti kami untuk nusa dan bangsa?" tanya Yustedjo dalam suratnya yang ditujukan kepada Jonosewojo. Dalam surat itu, ditegaskannya juga bahwa selama tenaga dan pikirannya dibutuhkan bagi kepentingan bangsa dan negara, ia selalu bersedia menyumbangkannya. "Tetapi di lain pihak, kami iuga mau dan ingin hak-hak ami sebagal pemain dilindungi," tulisnya. Sayangnya, surat Yustedjo yang dikirim beberapa hari setelah dia urung ke Bangkok itu tak digubris Jonosewojo. Alasannya, "Ucapan Yustedjo tak bisa dipegang." Menurut Jonosewojo, sebenarnya Yustedjo bukan seorang olahragawan, tapi seorang artis atau badut seperti Gepeng dan Tarsan dari Srimulat. "Badut yang pandai bermain tenis. Sebab, selama ini penampilannya sebagai artis atau badut lebih menonjol dibandingkan sebagai olahragawan," kata Jonosewojo. Dan "badut" Yustedjo ternyata tak bertindak tanggung-tanggung untuk melindungi hak dan periuk nasinya. Ia ternyata tak peduli dengan keputusan PB Pelti yang juga menetapkan, "Bila selama dikenakan larangan yang bersangkutan memperlihatkan penyesalannya dan memperbaiki sikap serta tindakannya, yang seharusnya dimiliki seorang olahragawan nasional, keputusan ini dapat ditinjau lagi." Sabtu pekan lalu, Yustedjo menemui Pengacara O.C. Kaligis di kantornya, Jakarta Pusat. Di situ ia menandatangani surat kuasa kepada pengacara itu untuk menggugat PB Pelti. Dalam gugatan perdata yang dimasukkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin lalu, Yustedjo menuntut agar pengadilan menyatakan perbuatan PB Pelti yang melarangnya mengikuti pertandingan yang disponsori swasta, termasuk melatih tenis, melawan hukum. Ia tidak mengajukan tuntutan ganti rugi. "Saya hanya menuntut agar PB mau meninjau kembali keputusan melarang saya melatih," ujar Tedjo. Menurut Kaligis, 42, menyatakan Yustedjo tidak boleh melatih merupakan melanggar hukum karena "hal yang sifatnya pribadi itu wewenang hakim." Tindakan Pelti itu, menurut dia, melanggar pasal 1365 KHU Perdata. Kaligis menilai Yustedjo telah mengangkat citra Indonesia. "Dia telah beberapa kali berhasil mengibarkan bendera merah putih di negeri orang," ucapnya. Sebenarnya memang bisa dipermasalahkan apakah PB Pelti berhak melarang Yustedjo mengikuti pertandingan yang tidak disponsori Pelti atau melatih. Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Pelti sendiri tidak mengatur ketentuan sanksi terhadap anggota sejauh itu. Dalam ART hanya disebutkan, seorang anggota yang mengingkari AD/ART dan segala keputusan atau peraturan Pelti bisa diberhentikan keanggotaannya. Seperti juga anggota yang tiga bulan berturut-turut tidak membayar iuran. Sebelum anggota diberhentikan, pengurus berkewajiban memberikan peringatan kepada anggota itu. Pertanyaan lain: mengapa bukan Penda Pelti Jakarta yang menghukum Yustedjo? Yustedjo adalah anggota klub Kilat di Jakarta Utara. Ketua Umum Pengda Pelti Jakarta Laksamana Muda Soeparno menjawab, "Status Yustedjo memang sebagai anggota Pengda Jakarta. Tapi sebagai pemain nasional dia berada di bawah pengawasan PB Pelti langsung." Jadi, PB bisa saja menjatuhkan skorsing tanpa melalui Pengda, walau - menurut Soeparno - hendaknya PB paling tidak mengajak Penda menentukan jenis hukumannya. Hal ini tidak dilakukan PB Pelti. Soeparno menilai bahwa hukuman PB Pelti kepada Yustedjo "tidak pada tempatnya." Sebelm SK PB Pelti dikeluarkan, bersama Yustedjo ia sudah minta waktu pada Jonosewojo untuk mengadakan diskusi, tapi selalu ditolak dengan alasan "sibuk". Menurut dia, kesalahan yang dilakukan Yustedjo tidak berat. "Dia hanya berbohong karena ingin pergi ke luar negeri," katanya. Menurut dia, tidak ada kewajiban tertulis untuk melaporke PB kalau akan ke luar negeri. "Itu hanya sopan santun adat Timur belaka. Ya, sekadar lapor seperti kalau mau pergi kita bilang sama orangtua," ujarnya. Pengda Pelti Jakarta, kata Soeparno, telah mengirimkan surat kepada PB agar mau meninjau keputusannya. "Dalam kasus Yustedjo ini seolah-olah tidak ada pemeriksaan dan kesempatan Yustedjo membela diri," katanya. Soeparno sendiri tidak tahu sanksi yang akan dikenakan bila Yustedjo melangar hukuman PB, misalnya tetap melatih. "Belum ada peraturan atau petunjuk pelaksanaan Anggaran Dasar atau Anggaran Rumah Tangga itu." Ia mengharapkan agar kelemahan ini segera mendapat perhatian. Sebab, "tanpa adanya peraturan yang mendetail, organisasi tidak akan berwibawa." Bukan cuma Soeparno saja yang bersimpati pada Yustedjo. Minggu malam lalu di sebuah rumah di Jalan Besuki, Jakarta Pusat, berkumpul belasan pemain, bekas pemain, dan pelatih nasional. Selain Yustedjo - yang tidak ikut berbicara - hadir juga antara lain Atet Wiyono, Hadiman, Lita Sugiarto, Sugiarto Sutaryo, Yolanda Surnarno, dan Ayi Sutarno. Semua yang hadir pro-Yustedjo, dan menganggap hukuman PB Pelti "emosional, tidak mendidik, tidak bijaksana dan melanggar hak asasi." Anehnya, hampir semua yang hadir tidak menuding langsung pada Jonosewojo. Yang menjadi sasaran kecaman malam itu terutama Soedjono dan Mien Gondowidjojo, pelatih fisik yang ditentang keras Yustedjo. Jonosewojo paling-paling dikecam karena kurang "melakukan kontrol". Kehadiran Mien dan Soedjono dianggap "faktor penyebab tidak berfungsinya mekanisme kerja organisasi Pelti." Begitu mereka menyimpulkan. Yolanda Sumarno, 37, bekas pemain nasional yang beken terutama antara 1974 dan 1982, menganggap kepengurusan PB Pelti saat ini sudah terlalu lama. "Sehingga merasa superbenar, seolah-olah organisasi ini milik pribadi," katanya. Menurut Yolanda "pemberontakan Yustedjo" lebih berkisar pada tuntutan seorang pemain agar tidak dilatih seorang wanita. "Mana ada di dunia ini pelatih fisik pemain pria ditangani wanita. Saya memaklumi keinginan Yustedjo," katanya. Hadiman mempertanyakan kriteria PB Pelti menentukan pelatih. Menurut dia Soedjono - yang mengetuai bidang pembinaan PB Pelti - dalam melatih cukup lumayan. "Hanya saja, kalau datang ke lapangan cuma 10 sampai 15 menit, lalu pergi lagi." Kata Hadiman, para petenis pria sering meminta pada Jonosewojo agar pelatih mereka pria yang berfungsi ganda: melatih teknik dan fisik. "Tapi tidak disetujui," katanya. Yang bersuara keras terhadap Soedjono dan Mien bukan cuma bekas pemain. Ketua Umum Pengda Pelti Ja-Bar Roeshan Roesli malah menganggap, "selama Soedjono dan Mien masih bercokol, Pelti akan tetap kacau." la melihat peranan Mien besar sekali dalam menentukan hak pemain. Misalnya, kasus rencana pengiriman petenis putri Yusti, yang diasuh Mien, ke suatu turnamen di Singapura bulan ini. "Yusti yang menduduki urutan keempat diizinkan pergi tanpa seleksi, sedang Yustedjo yang ada di urutan kedua harus ikut seleksi dan tak boleh pergi." Roesli mengharap agar kasus Yustedjo menyadarkan semua pihak akan perlunya peningkatan hubungan atlet denean pengurus. "Kalau ada perselisihan, kumpulkan semua famili. Dengarkan pandangan mereka." Karena itu, ia mengusulkan agar diadakan suatu musyawarah nasional yang dihadiri seluruh pengurus daerah, dan diundang juga para bekas pemain nasional, untuk menyelesaikan masalah ini secara kekeluargaan. Petenis nomor satu Indonesia, Tintus Arianto Wibowo, 24, menganggap bahwa keutusan PB Pelti menghukum Yustedio "ngawur". Katanya, pekan lalu, "Kan sudah diketahui, Yustedjo hidupnya dari melatih. Padahal, dengan melarang tidak boleh mengikuti pertandingan saja hukumannya sudah cukup." Diakuinya, Yustedjo masih merupakan pemain top Indonesia yang ikut membuat Indonesia berhasil masuk 16 besar dunia dalam perebutan Piala Davis. "Salah besar kalau dia tidak dimasukkan dalam pelatnas jangka panjang," ujarnya. Tintus berpendapat, dilatih oleh pelatih wanita "agak risi dan tidak enak." Adanya pelatih putra dianggapnya akan membuat para pemain bisa berkomunikasi dan "lebih sreg." Penguru Pelti dlnilainya kuran memperhatikan para pe main berlatih. "Meski hadir mereka hanya mengawas dari jauh dan tidak tahu apa yang harus dilakukan. Hanya dalam pertandingan saja mereka berkumpul dengar pemain. Di luar itu tidal pernah. Akibatnya, mereka tidak tahu apa kemauan pemain, bagaimana mereka berlatih, dan bagaimana kemajuannya," tuturnya. Tidak semua pemain nasional menentang Mien. Misalnya Suharyadi 19, pemain paling muda yang masuk ialam Tim Piala Davis "Di bawah bimbingan Mbak Mien tidak ada persoalan apa-apa. Saya rasa itu tergantung individu masing-masing," katanya pekan lalu. Mien Gondowidjojo sendiri menolak berbicara banyak "Saya- tidak salah. Saya hanya menjalankan kepentingan nasional. Untuk apa membela diri," katanya dengan gagah. Dalam soal penentuan pemain, ia merasa sebagai orang kecil yang tidak punya wewenang apa-apa. "Tidak benar saya memasukkan atlet favorit saya. Saya 'kan cuma pelatih biasa. Apa bisa seorang pelatih menentukan ? Kalau bisa, opo ora hebat (apa tidak hebat)." Menurut Mien, ia sama sekali tidak punya niat buruk kepada Yustedjo, sampai mau menjatuhkan. "Yustedjo itu anak yang baik. Entah kenapa akhir-akhir ini ia kehilangan kontrol. Seolah-olah ada yang mengisikinya. Entah siapa. Padahal, orangtuanya sudah menitipkan dengan baik kepada saya, agar dibimbing," ujarnya dengan sendu. Matanya tampak berkaca-kaca. Lalu bagaimana penyelesaian kasus "pemberontakan Yustedjo"? Menurut Albert Hasibuan, untuk menyelesaikannya, semua pihak mesti sama-sama terbuka. "Masalahnya, Anda bukan cuma milik Pelti atau milik keluarga. Anda milik bangsa Indonesia," katanya pada Yustedjo Senin lalu. Ia menasihati Tedjo agar tidak berkeras kepala hingga menutup kemungkinan penyelesaian secara musyawarah. Yustedjo disarankannya menemui Abdul Gafur. "Soalnya, Bung Gafur, sebagai Menteri Pemuda dan Olah Raga, mempunyai kewajiban melakukan pembinaan." Rekannya Krissantono sependapat. Ia mengingatkan Yustedjo agar sebagai seorang atlet bersikap sportif, termasuk dalam penyelesaian kasusnya. Seperti Albert, ia juga menganggap larangan pada Yustedjo untuk ke luar negeri dan melatih sebenarnya tidak manusiawi dan hendaknya ditinjau. Keadaan sekarang dinilainya belum adil. "Yang selalu kena sanksi selama ini hanya atlet saja. Padahal, kalau peneurus sendiri tidak disiplin dan tidak sportif, seharusnya juga dihukum," katanya. Menanggapi imbauan agar dia segera bermusyawarah dengan Jonosewojo serta anggota PB Pelti lain, Yustedjo dengan gaya khasnya menyahut, "Ya, kalau segera, jelas tak mungkin. Soalnya, Pak Jonosewojo 'kan sedang di Pakistan." Ketawa ngakaknya membuat semua yang hadir di ruang Fraksi Karya Pembangunan DPR siang itu ikut tertawa lebar. Senin siang lalu, Jonosewojo memang berangkat ke Pakistan memimpin Tim Piala Davis Indonesia bertanding di sana. Sikapnya terhadap Yustedjo tampaknya tegar. "Itu hak Yustedjo untuk tetap bersikeras. Tapi skorsing tetap jalan terus," katanya pada Rudy Novrianto dari TEMPO, akhir pekan lalu. Menurut dia, skorsing 10 bulan pada Tedjo dimaksudkan agar ia sadar akan tingkah lakunya selama ini. "Sebenarnya, dengan hukuman ini saya ingin menyelamatkan dia agar tetap bisa berprestati ujarnya. Tampaknya, Jonosewojo, yang telah 19 tahun memimpin Pelti, mempunyai gaya dan kebanggaan tersendiri. Seperti juga Yustedjo Tarik. Agaknya sekarang terpulang pada kedua tokoh itu untuk menurunkan sedikit ego mereka, dan merenungkan kembali arti "warga negara yang baik". Dan mungkin juga "kebanggaan nasional".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus