MEREKA sering tampak di pinggir jalan. Di bilangan Pasar Minggu, Jakarta Selatan. misalnya, berdiri berdua atau bertiga menunggu mobil tumpangan. Dan bila Anda membuka pintu kendaraan dan membawa orang-orang kulit putih itu, mereka akan berusaha bercakap-cakap, lalu berkhotbah, lalu memberi Anda brosur. Mereka mengaku dari Children of God (COG). Itu sudah sejak dua-tiga tahun yang lalu. Dan baru diributkan sekarang. Semua koran - mula-mula Minggu Merdeka - memberitakan mereka sebagai kelompok yang, atas nama ajaran Kristen, mendakwahkan seks bebas. Di gedung DPR, orang pun bertanya kepada Menteri Agama - dalam acara rapat kerja dengan Komisi IX, 22 Februari - dan Menteri Agama menjawab. Di luar wartawan bertanya pula kepada Menteri Alamsyah - dan Alamsyah menjawab. Dan semua jawaban it berisi tudingan, bahkan kutukan, kepad kelompok itu. Sebagian koran juga mencantumkan jumlah orang kita yang sudah bisa digaet para mubalig bule itu: 5.000 di Jakarta, 3.600 di Semarang, 3.000 di Yogya, 2.000 di Bandung, 600 di Solo, dan 300 d i Purwokerto. Jumlah itu pun dikutip koran New Straits Times, Kuala Lumpur, Itu di luar keresahan dan perasaan sebal kalangan Kristen sendiri. Mereka itu bukan baru pertama kali ini mendengar tentang COG. Ardi Yunus, Kepala Bimas Kristen Protestan Departemen Agama Ja-Bar, malah pernah meneliti kelompok-kelompok yang dicurigai sebagai COG, dua tahun lalu, dan untuk itu ia bekerja sama dengan pihak Laksusda. Di Jakarta, majalah Sfara Pelayanan (Supel), dari sebuah yayasan Kristen, sudah sejak bulan November 198 menulis tentang COG lengkap dengan serangannya. Kecaman kepada kelompok itu juga datang dari, misalnya, Ketua Dewan Gereja-Gereja di Indonesia (DGI), Prof. Dr. P.D. Latuihamallo, yang kepada TEMPO menyatakan kelompok itu sebagai "sangat berbahaya". Meski begitu, jumlah "jemaat" COG yang seluruhnya 14.500 itu sebenarnya baru perkiraan kasar. Kapolda Ja-Teng, Brigjen Pol. Drs. Soenarjo, misalnya, malah menyangkal berita suara Merdeka yang menyatakan jumlah mereka 7.500 orang. "Menurut estimasi saya, belum sampai sejauh itu," katanya. Yang disebut Suara Mereka itu jumlah anggota Family of Love - yang, seperti dikatakan Kapolda, tak lain COG itu juga. Jumlah itu juga disangsikan oleh James (bukan nama sebenarnya), 27, yang pernah melakukan "penyelidikan pribadi" ke dalam COG di Bandung, dan bersama seorang rekannya memberikan banyak informasi kepada kantor Departemen Agama di Ja-Bar. Menurut James, anggota di Bandung itu "paling-paling seratus orang." Sedang angka 2.000 itu, ia menebak, "mungkin pengikut kursus mereka yang namanya terdaftar di Jakarta." Mereka memang menyelenggarakan kursus bahasa Inggris di mana-mana. Demikian juga di Jakarta. Di sini, kelompok bermusik yang diberi nama Alunan Surya, termasuk dalam "keluarga besar" COG, punya anggota sekitar 150 orang menurut Elvi (bukan nama sebenarnya), anggota yang kemudian keluar "karena muak," katanya. Sementara itu, kelompok bermusik lain, bernama Music with Meaning - yang seperti juga Alunan Surya menyebarkan kaset-kaset, antara lain lewat beberapa radio amatir, bahkan sempat tampil di Munas PRSSNI (Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia), di Orchid Palace Hotel, Jakarta - beranggotakan sekitar 35 orang. Itu menurut keterangan Maria (yang ini nama sebenarnya), cewek keturunan Spanyol bermata biru, yang boleh dikatakan salah satu prirnadona COG Jakarta, kepada TEMPO. Tak banyak, jadinya. Toh, kalaupun jumlah angota kedua grup itu tidak berarti jumrah seluruh warga COG di Jakarta, bisa pula didengar keterangan Elvi lebih lanjut. Yakni tentang para peserta acara khusus mereka, sebuah acara puncak, yang disebut "tancap kasih". Pengikut acara ini melakukan sangama "secara campur-aduk di satu ruang," katanya, dan acap dibikin film oleh sebuah kamera yang terlindung. Yang terakhir itu menurut Tini (juga bukan nama sebenarnya) di Bandun. Nah, para "penancap kasih" itu, di Jakarta, jumlahnya tak lebih dari sekitar 20 orang. Jadi, andaikan saja ada seratus acara seperti itu di seluruh DKI, maka jumlah keseluruhan baru 2.000 orang. Memang, itu bisa berarti para anggota COG berlapis-lapis. Dan itu juga dicerminkan oleh jenis-jenis brosur yang beredar di kalangan ini. Yang dibagikan di jalan-jalan, di dalam toserba, restoran, atau di dalam mobil, bila orang membawa mereka, adalah yang termasuk dalam kategori GP, General Public. Isinya kurang lebih masih hanya dakwah sekitar pertobatan, ajaran kasih sayang yang bersifat umum, dan semacamnya. Tapi entah bagaimana, pada waktu-waktu yang lebih akhir kalangan "awam" pun ada juga yang agaknya masuk kategori lain: DFO, Disciple Friend Only. Ini biasa diberikan hanya kepada para pengikut yang teguh dan suporter, dan berisi gambar-gambar seksual yang merangsang. Adapun brosur tingkat ketiga adalah yang dikategorikan sebagai LTO, Leaders of Traning Only, untuk para pimpinan lokal. Kemudian, yang tidak operasional di sini, RFO, Royal Family Only. Ini khusus untuk keluarga dan orang dekat sang pendiri COG di Amerika. Dan sang pendiri itu David Brant Berg namanya - kemudian dikenal sebagai Moses David atau Father David. Ialah, tokoh bercambang-bauk bagai Charles Darwin orang kelarhiran Oakrand, California, AS, yang gambarnya selalu muncul di banyak brosur dan "komik-komik yang benar" yang mereka edarkan. Baai Rasul Paulus orang yang memulai dakwah COG-nya pada akhir 1960-an ini - setelah selama 13 tahun menjadi penginjil yang wajar menubuhkan ajarannya secara tertulis melalui surat-surat, yang diberinya bernomor dan dinamakannya MO Letters. Pada mulanya adalah kasih. Demikian inti ajaran sang guru yang menganggap dirinya the prophet of God for today, nabi zaman ini, dalam suratnya no. 607 - sambil mengutip ayat I Yohanes 4:8. Dan pengertian kasih itu tidak hanya seperti dipahami Gereja atau para pendeta. Melainkan juga "penyerahan diri kita dan pelayanan kita kepada orang lain," secara total. Termasuk, atau terutama, pelayanan persetubuhan kepada siapa saja yang membutuhkan. Itulah kasih sejati, dan "pernyataan iman". Tak jelas apakah David Berg jujur dalam keyakinannya. Agaknya tidak. Setidak-tidaknya, orang boleh teringat pada riwayat sang guru sendiri: di Tucson, Arizona, pada masa awal ajarannya, penginjil yang punya istri dan empat anak ini terlibat percintaan denan seorang sekretaris sebuah gereja lokal, lalu hidup bersama. Dan baru sesudah itu ia mengeluarkan MO Letters-nya yang "penuh kasih" itu, yang memang lebih mudah dipahami sebagai upaya merasionalisasikan cara hidupnya yang menyimpang. Tapi yang lebih menyimpang, dan terasa tidak konsisten, adalah ini: ajaran David, kepada para wanita yang "membuang-buang energi dan waktumu dengan bermain cinta tanpa bayaran," agar menerima upah, alias melacur. Bukan "kasih" lagi, tentunya. Hanya saja itu bisa dipahami bila diingat bahwa ajaran "kasih yang revolusioner" itu, sebagaimana mereka sendiri menamakannya, pada akhirnya akan membentuk kelompok-kelompok yang lepas dari masyarakat dan hidup secara komunal. Dan pelacuran itulah upaya pembiayaannya - di samping sumbangan dari para "pendukung", yang mungkin sekali berarti "langganan". Dan langganan itu bisa orang gedean atau yang mengenal COG karena salah satu anggota keluarganya terlibat, pernah berkata kepada Amos alias Alpha, Indo Belanda-Jawa yang menjadi salah satu pimpinan di Bandung, bahwa lama-lama mereka itu bisa digerebek. Jawab Amos: "Kita tidak takut. Kita 'kan punya backing." Mungkin ia hanya melagak. Memang ada usaha lain untuk mencari dana, baik lewat kursus bahasa, penjualan kaset secara terbatas, pertunjukan kecil-kecilan maupun ngamen. Tapi Kapolda Ja-Teng yakin bahwa pelacuran itulah sumber biaya terpenting. Rudy, 22, seorang mahasiswa di Bandung, yang juga pernah masuk ke dalam COG, memang menuturkan bahwa dalam acara-acara mereka - yang dihadiri para anggota lokal - selalu diedarkan amplop-amplop kosong untuk diisi uang sumbangan. Tapi James yakin bahwa pelacuran tetap merupakan sumber keuanan pokok. "Kalau tidak, mana mungkin beli mobil-mobil dan mengontrak rumah mewah seperti ini" - sambil menunjuk rumah di Jl. Dago, yang besarnya sekitar 1.000 m2 dengan tanah seluas 1.700 m2. Padahal, boleh diketahui, kelompok ini membenci kerja yang wajar, seperti juga mereka mengutuk sekolah (kecuali untuk sekadar bisa baca tulis), gereja, dan kehldupan rumah tangga yan wajar. Sudah bisa ditebak, pengikut COG umumnya para remaja - dan memang begitu - meskipun nabi mereka menaiarkan tidak begitu. Dalam surat no. 502 R, David bilang: tidak hanya gadis-gadis dan para pemuda - tapi juga anda-anda yang lebih tua, para duda pensiunan, mereka yang hidup lajang, "semua sama: lapar, kesepian . . . merindukan kasih" .... Bahkan, seperti dikatakan Anna (nama sebenarnya), mahasiswi di Surabaya yang ada juga mengenal COG, "di sana kita diincar cowok-cowok bule melulu. Cowok pribuminya, sih, sulit menggaet cewek bulenya". Sampai saat ini, menurut Kapolda JaTeng, pihaknya belum bisa mengungkapkan secara tuntas kelompok ini. "Untuk menyusup sangat sulit," kata Drs. Soenarjo. Tempat pertemuan selalu berpindah, sedang waktu pertemuan ditentukan satu jam sebelum dimulai, katanya. Sudah diketahui nama beberapa orang asing yang menjadi aktivis. Sayang, pada waktu pengusutan, polisi kehilangan jejak. "Orang-orang itu sudah tidak di sini," kata Soenarjo. Paling tidak, kebiasaan berpindah-pindah memang juga mereka lakukan di tempat-tempat lain. Dan itu memang ajaran, rupanya. "Alamat dari seorang revolusioner selalu tidak pasti," demikian David Berg dalam Pelajaran-Pelajaran dari Anak-Anak Tuhan. "Maka, surat-surat harus diteruskan ke koloni indukmu, yang akan diteruskan oleh sekretarisnya jika kau pindah tempat." Demikianlah, alamat-alamat pemilik nomor tromol pos tertentu, misalnya, setelah dicek ternyata palsu, atau tak lagi dihuni. Nama-nama para aktivis asing yang kemudian bisa dikenal ternyata berbeda dengan yang tertera pada kantor imigrasi. Sebuah nomor telepon dicek, ternyata sudah dicabut. Sebuah alamat didapatkan, di Jl. Naripan, Bandung. Diusut, ternyata sudah pindah ke Jl. Macan. Didatangi, ternyata pindah ke Jl. Juanda. Dikejar ke Juanda, dan baru bisa ditemui seorang aktivis bule. Si bule diguyur dengan pertanyaan, dan minta tangguh waktu. Janji dibuat. Dan ketika waktu yang dijanjikan ditepati, ia sudah ngacir lima jam sebelumnya, bersama anak dan istrinya. "Mobilnya penuh kopor besar," kata tetangga di seberang rumah. Mayor A. Amidjaja, Kepala Bagian Intelpam Polresta Bandung, yang berangkat untuk melakukan penggerebekan di dua tempat malam Ahad pekan lalu - dan urung: kedua tempat itu sepi. Katanya, kepada Ida Farida dari TEMPO, yang turut dalam mobilnya "Tanpa bukti-bukti, kita tak berani menggerebek .
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini