Han Jian dan Yang Yang (RRC) KEDUA pemain ini sudah tiga kali main di Jakarta. Mungkin karena itu ketika datang untuk keempat kalinya di perebutan Piala Thomas kali ini, mereka tak tampak canggung menghadapi suasana Ibu Kota. Terutama menghadapi para pengagum mereka yang silih berganti berdatangan ke penginapan tim Cina di Hotel Borobudur. Atau melihat mereka berlatih, sejak Kamis pekan lalu, di Gedung Bulu Tangkis Pelita Jaya di daerah Kosambi, Jakarta Barat. Yang Yang, 23, pertama kali main di sini pada Agustus 1983. Yakni, ketika ikut Kejuaraan Indonesia Terbuka - yang dijua rai Liem Swie King. Pemain kidal ini waktu itu langsung mengejutkan karena di semifinal berhasil menumbangkan Icuk Sugiarto, yang baru beberapa bulan jadi juara dunia. Sedangkan Han Jian, 29, pertama kali datang kemari sewaktu ikut Kejuaraan Piala Alba, September 1984. Ketika itu di semifinal, ia menjegal andalan Indonesia, Liem Swie King. Kedua pemain tunggal RRC ini waktu itu memang belum berhasil jadi juara. Tapi, sejak kedatangan itu mereka makin dikenal banyak penggemar bulu tangkis di sini. Maklum, dalam tiga tahun setelah itu kerap sekali kedua pemain ini berhadapan dengan pemain andalan Indonesia. Han Jian, misalnya, sudah 9 kali berhadapan dengan Liem Swie King dalam pelbagai kejuaraan. Hasilnya, ia menang 5 kali. Lahir di Provinsi Li Aoning, bujangan bertubuh kekar ini, tinggi 170 cm dan berat 68 kg, mulai bermain bulu tangkis sejak usia 17 tahun. Dan baru pada usia 20 tahun mulai melejit, ketika tampil sebagai juara kedua Pekan Olah Raga Nasional RRC, 1979. Sejak itu, bersama beberapa pemain RRC lainnya, seperti LuanJin, Han Jian dipercaya mewakili negerinya ke pelbagai turnamen. Tak selalu berhasil. Bahkan di pertandingan penting, di kejuaraan Piala Thomas di Kuala Lumpur, dua tahun lalu, Han Jian adalah pemain yang jadi kunci kelemahan RRC, ketika ia di luar dugaan dikalahkan Hastomo Arbi. Tapi salah satu keistimewaan pemain yang berhidung mancung dan gigi agak tongos itu memang keuletannya. Dan dengan modal itu, karyawan yang bekerja sebagai asisten pelatih bergaji sekitar Rp 60.000 rupiah di Persatuan Bulu Tangkis Liaoning ini bang kit kembali. Tak tanggung-tanggung, tahun lalu, misalnya, ia merebut mahkota Kejuaraan Dunia di Calgary, Kanada, setelah di final menumbangkan juara Eropa Morten Frost Hansen. Kini, pemain yang memiliki gaya permainan bertahan ini tampaknya bakal jadi salah satu bintang yang memeriahkan Istora Senayan. "Sebisa-bisa harus menang," kata pemain yang kini menjadi pemain peringkat pertama dalam tim RRC. Menurut Wan Wenjio, pelatih kepala tim RRC, Han Jian memang salah satu jago yang diharapkannya memetik angka kemenangan. "Han Jian memang yang terbaik sekarang. Dari segi fisik, ia yang paling fit dalam tim kami," kata pelatih itu. Selain Han Jian, Yang Yang, pemain tunggal yang sudah lima kali mengalahkan Icuk Sugiarto dalam lima kali pertemuan mereka, juga dijagokan RRC di kejuaraan kali ini. Cukup pantas. Sebab, pemain asal Provinsi Nanjing (dulu Nanking) yang tingginya 172 cm dengan berat sekitar 67 kg ini juga termasuk pemain yang menonjol prestasinya. Februari lalu, misalnya, dia menjuarai tunggal Kejuaraan Jepang Terbuka di Tokyo. Seperti Han Jian, ia juga baru main bulu tangkis setelah remaja, usia 12 tahun. Dan baru mulai melesat setelah tampil sebagai juara ketiga Pekan Olah Raga Nasional RRC, 1983, ketika berusia 20 tahun. Sejak meraih gelar ini, anak bungsu dari tiga bersaudara, seorang asisten profesor di Sekolah Tinggi Teknik Hidraulik di Nanjing, itu dipercaya bertanding di mancanegara. Dan ia kerap tampil sebagai juara ketiga. Karena itu, suatu waktu setelah merebut gelar itu di Eropa, ia pernah bergurau, "Saya ini memang orang yang selalu serba tiga, anak ketiga dan selalu juara ketiga." Tak berarti si kidal bertubuh ceking ini lemah. Bujangan ini pernah mengalahkan beberapa pemain tenar seperti juara Malaysia, Misbun Sidek, dan juara dunia 1980, Prakash Padukone dari India. Kini Yang Yang adalah pemain peringkat kedua tim RRC. Morten Frost Hansen (Denmark) Ia berambut pirang, keriting, dan selalu tampak rapi karena dipotong pendek. Berwajah klimis dengan sorot mata tajam, itulah Morten Frost Hansen, juara dua kali All England (1982 dan 1985), salah satu andalan Denmark di Istora pekan ini. Untuk kedua kalinya, setelah kejuaraan di Kuala Lumpur dua tahun lalu, Morten, 28, bintang Denmark yang kini masih tercatat sebagai salah seorang pemain tunggal terbaik di Eropa, memperkuat negerinya di perebutan Piala Thomas. Bersama tujuh temannya di tim Denmark, Morten tiba di Jakarta, Sabtu pekan lalu, setelah bermukim "untuk penyesuaian iklim" di Penang, Malaysia, selama seminggu. "Saya kira Denmark akan merebut Piala Thomas kali ini," katanya kepada wartawan TEMPO Ahmed Soeriawidjaja, sehari setelah mendarat di Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta. Suara pemain dengan tinggi 185 cm dan berat 70 kg ini tegas. Dan tampak betul dia berambisi menjadi pemain yang bisa menjadikan Denmark - negeri ini sudah lima kali jadi finalis perebutan Piala Thomas sejak 1949, tapi terus gagal - sebagai kampiun baru kejuaraan Piala Thomas 1986. Harapan yang wajar. Sebab, Morten saat ini memang seorang pemain tunggal yang sudah bertanding ke banyak negeri. Hampir semua pemain top sudah pernah dikalahkannya. Maklum, selain pernah jadi juara All England, ia juga pernah beberapa kali, 1982 dan 1983, menjuarai pelbagai turnamen di Eropa. Misalnya, Kejuaraan Swedia Terbuka, Jerman Terbuka, Belanda Terbuka, dan Skotlandia Terbuka. Liem Swie King pernah dikalahkannya pada 1984, ketika ia menjuarai Grand-prix Pro Kennex di Kuala Lumpur. Lahir di Nykobing, kota kecil berpenduduk sekitar 5.000 jiwa, sekitar 100 km dari Kopenhagen, ibu kota Denmark, Morten mulai bermain bulu tangkis dalam usia 8 tahun. "Saya pemain alam sebenarnya. Tak ada yang mengajak bermain dan tak ada pelatih khusus yang mendidik," katanya. Hanya karena kepingin mencoba, ia waktu kecil terlibat dengan permainan adu bulu angsa itu di kotanya. Dan baru pada usia 17 tahun, setelah pindah ke Kopenhagen, anak bungsu dari dua bersaudara ini serius menekuni bu lu tangkis. Ia bergabung dengan klub Gentofte di ibu kota Denmark itu. Di klub inilah ia mematangkan permainannya, hingga mengorbit sebagai semifinalis pelbagai kejuaraan termasuk All England, mulai 1979. Setahun setelah itu, ia bisa menapak ke tangga runner-up, antara lain Kejuaraan Dunia di Swedia. Dan dua tahun kemudian betul-betul mencapai puncak sebagai juara All England untuk pertama kali. Sejak itu pula, dia kemudian menyatakan diri sebagai pemain profesional dengan mengikat kontrak dengan perusahaan alat-alat olah raga Yonex, Jepang. Dia tak mau menyebut berapa besar nilai kontraknya. Tapi, gara-gara ini, pemain yang dapat izin dari Federasi Badminton Internasional (IBF) sebagai pemain bayaran itu bentrok dengan Federasi Bulu Tangkis Denmark. Ia lalu tak diikutkan memperkuat timnya di kejuaraan Piala Thomas 1982 di London, karena, menolak memakai raket Carlton, buatan Dunlop, perusahaan tersohor dari Inggris, yang sudah mengikat kontrak dengan federasi itu. Morten terang menolak karena dia sudah terikat kontrak dengan Yonex. Kasus ini kemudian bisa diselesaikan. Dan Morten yang sejak 6 bulan lalu pindah ke London, Inggris, akhirnya kembali diikutkan memperkuat tim Piala Thomas Denmark. Menikah dengan Brett Ulla, juga asal Denmark, pemain yang terkenal dengan permainan reli dan lob-lob-nya yang akurat itu sekarang mencoba mewujudkan ambisinya untuk Denmark. Sebuah ambisi untuk ikut andil dalam upaya merebut Piala Thomas, kejuaraan beregu paling bergengsi saat ini. Park Joo Bong dan Kim Moon Soo (Korea Selatan) Dua pemain yang juga bakal mendapat perhatian di final perebutan Piala Thomas 1986 adalah ganda Korea Selatan, Park Joo Bong dan Kim Moon Soo. Ini karena merekalah yang sekarang bisa disebut ganda terkuat dunia. Dengan prestasi puncak sebagai juara ganda di Kejuaraan Dunia IV di Calgary, Kanada, dan juara dua kali berturut-turut Kejuaraan All England, mulai 1985. Debut Korea Selatan memang menonjol belakangan ini. Di All England 1986, misalnya, mereka bisa menyabet 4 dari lima gelar, termasuk yang direbut Park dan Kim, keduanya berusia 22 tahun. Memang, waktu itu dua negara terkuat bulu tangkis, Indonesia dan RRC, tak mengirimkan pemain terkuat mereka di kejuaraan yang berlangsung di ibu kota Inggris itu. Tapi, tidak dengan serta-merta bobot ketangguhan ganda dari Negeri Ginseng ini bisa diremehkan. Sebab, ada catatan bahwa ganda ini sebelumnya sudah mengalahkan hampir semua ganda terkuat dari RRC (Tian Bingyi/Li Yongbo di final Calgary, 1985), Indonesia (Kartono/Heryanto di semifinal All England 1985), dan Denmark (Michael Kjeldsen/Mark Christiansen di final All England 1985). Maka, bisa diharapkan selain partai tunggal, partai ganda kejuaraan kali ini juga bisa sengit. Sebab, Park dan Kim tampaknya tetap harus berjuang keras untuk membuktikan bahwa kendati baru dibentuk 3 tahun, merekalah sekarang kampiun ganda dunia. Perjuangan itu tak mudah. Sebab, seperti diakui Park, "Kami baru saja menyelesaikan tur sekitar sebulan di Eropa. Baru beristirahat sekitar 10 hari, tapi kini harus menghadapi lawan-lawan berat." Toh, pasangan yang masih berstatus mahasiswa di Seoul ini menyatakan siap tempur. Bertubuh tegap dengan rambut lebat, agak gondrong, Park, tinggi 185 cm, pemain kidal, pertama kali berpasangan Kim, tinggi 182 cm, ketika ikut Kejuaraan Malaysia Terbuka 1983. Sebelumnya, mereka sama-sama bermain tunggal. Park sendiri sampai saat ini masih tetap diandalkan untuk bermain tunggal selain ganda. Adalah pelatih Noh Jung Kwon, 38, yang meminta mereka main di ganda. Dengan pembagian tugas yang diatur rapi, Park, yang sudah bermain bulu tangkis sejak usia 10 tahun, diminta lebih banyak sebagai penahan serangan, karena penguasaan lapangannya bagus dan juga terampil dalam permainan reli. Sedangkan Kim, yang juga mengenal permainan badminton dalam usia sama dengan Park, dipatokkan lebih banyak sebagai penyerang, karena ia bagus bermain pendek di depan net. Paduan di antara pemain yang sama-sama ditemukan oleh pemandu bakat Persatuan Bulu Tangkis Korea Selatan ini ternyata cocok. Terus digodok di pusat latihan bulu tangkis Korea Selatan di Cinhae, sekitar 450 km sebelah selatan Seoul, prestasi pasangan ini pelan-pelan menanjak. Kedua bujangan itu diharapkan bisa memanaskan pertandingan di partai ganda di Senayan nanti. "Secara tim sangat sulit mengalahkan Denmark. Target kami memang menang di Asian Games di Seoul, nanti," kata Kim Hak Suk. Toh, manajer bertubuh gempal ini bisa tersenyum penuh arti ketika ditanya target mereka lewat Park dan Kim, ganda kebanggaan mereka. Sidek Bersaudara (Malaysia) Bisa masuk final apalagi merebut Piala Thomas bagi Malaysia memang masih teka-teki. Tapi, bekas pemegang Piala Thomas 4 kali (1949, 1952, 1955, dan 1967) itu, boleh bangga tahun ini. Sebab, kali ini mereka membuat sejarah baru: memasukkan 4 bersaudara kandung ke dalam tim Piala Thomas Malaysia yang berjumlah 8 pemain. Keempat bersaudara itu, putra Haji Sidek Abdullah Kamar, petani yang kini bermukim di Kampung Banting, Selangor, Malaysia. Masing-masing, Misbun, 27, Rashid, 17, keduanya bermain di partai tunggal, dan Razief, 24, serta Jaelani, 23, bermain ganda. Ini memang yang pertama kali keluarga Sidek tampil ramai-ramai di final Piala Thomas. Sebelumnya, dua tahun lalu, baru Misbun, Razief, dan Jaelani saja yang memperkuat Malaysia di Kuala Lumpur. Tahun ini, tak sekadar bertahan, keluarga ini meningkatkan dominasi mereka dalam tim Malaysia, dengan bergabungnya Rashid, juara yunior Malaysia merangkap juara yunior Asia tahun lalu. Bagi Malaysia, tak ada pilihan lain. Sebab, seperti kata Misbun, finalis All England 1986, dan juara Jerman Terbuka 1981 dan 1982, "Sejak 1980, kami sudah menguasai kejuaraan tunggal, ganda yunior dan senior di Malaysia." Jika di nomor tunggal gelar itu direbutnya bersama Rashid, di nomor ganda gelar tadi sampai tahun ini tetap dimahkotai adiknya, Razief dan Jaelani. Pasangan ini memang sedang menanjak. Prestasi terbagus mereka dibuat Desember tahun lalu ketika menjuarai SEA Games XIII di Bangkok dengan mengalahkan ganda terkuat Indonesia Liem Swie King/Kartono. Terakhir Februari lalu mereka juga menjuarai Kejuaraan Terbuka di Tokyo. Prestasi kakak-beradik itu tak diperoleh dengan gampang. Sang ayahlah - bekas pemain badminton yang pernah jadi juara lokal di kampungnya di Banting, dua puluhan tahun lalu - yang menggembleng mereka berlatih bulu tangkis . Haji Sidek sendiri, yang mengaku punya saudara di sebuah daerah di Jawa Tengah, punya 7 anak, satu di antaranya wanita (paling tua). Dan Misbunlah, anak kedua, yang pertama kali terorbit naik. Yakin, ketika tampil sebagai juara nasional Malaysia, 1977. Setelah itu, ia mulai main di luar negeri. Beberapa tahun kemudian jejak itu disusul adik-adiknya. Sampai sebelum bergelar haji, dua tahun lalu, Misbun dikenal eksentrik. Misalnya, dia pernah mencukur rambutnya mirip potongan orang Indian Mohican, setelah mengalahkan Liem Swie King di SEA Games XI, 1981. Kini, sudah tampak alim, Misbun, tunggal andalan Malaysia lni, memimpin tiga adiknya untuk membela Malaysia. Marah Sakti Laporan Ahmed Soeriawidjaja dan Rudy Novrianto (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini