DI masa lesu seperti sekarang ini, ternyata, tidak semua perusahaan harus berhitung bolak-balik untuk investasi baru. Bakrie & Brothers (BB), contohnya, meski sudah memiliki 14 anak dengan berbagai jenis industri - mulai dari pabrik pipa, pengecoran logam, sampai pabrik pengolahan karet. Hanya dalam waktu tiga minggu terakhir ini muncul lagi dua anak baru ber bendera BB. Pertama, terjadi pada akhir bulan lalu, ketika BB membeli PT James Hardie Industrie, PMA Australia yang memproduksi pipa dan bahan bangunan. KeJutan kedua, baru saja terjadi Senin pekan ini, ketika bapak dan anak yang memiliki BB berkumpul di Bank Bumi Daya untuk menandatangani pembelian 22.000 hektar kebun karet milik Uni Royal Inc., AS, di Kisaran, Sumatera Utara. Tentu saja pembelian ini bukan sekadar pelampiasan kekesalan, karena kegagalan mereka membeli Perkebunan Kelapa Sawit Tor Gamba, dua bulan lalu. "Selain untuk diversifikasi, kondisi kebun ini memang menguntungkan," kata Aburizal Bakrie, 'Executive Vice President BB, yang belum berusia 40 tahun itu. Dengan keyakinan itu, ditambah perubahan sistem perkebunan di Malaysia yang mengganti karet dengan kelapa sawit, Aburizal yakin dalam jangka waktu yang tidak begitu lama harga karet akan membaik. Apalagi, ketika dipegang Amerika, karet yang dihasilkan perkebunan ini - termasuk sepatu yang diproduksinya - sudah biasa diekspor. Praktis BB tinggal melanjutkan jejak yang dibuat Uni Royal, yaitu terus berada di pasar negara-negara Eropa, Jepang, AS, dan Rusia. Maka, Aburizal berani menargetkan penjualan tahun ini sampai US$ 22 juta. Kalau target itu bisa tercapai, maka pilihan BB atas Uni Royal tidak meleset. Begitu pula pandangan kalangan pengusaha karet yang menyebut Uni Royal sebagai perkebunan terbaik dan menguntungkan. Seperti yang dikemukakan pengelola lama, George Lavinder, Uni Royal dijual bukan karena rugi. "Tapi disebabkan Pusat membutuhkan dana untuk membayar utang," ujar Kepala Perwakilan Uni Royal itu. Kata dia, omset perkebunan ini dalam setahun bisa mencapai rata-rata US$ 47 juta. Padahal, untuk kebun beserta isinya BB hanya membayar US$ 55 juta. Kalau saja Uni Royal tidak harus membayar utang yang telah mencapai satu milyar dolar, perkebunan ini tidak mungkin dijual, "Sebab masih menguntungkan, sekalipun harga karet sedang jatuh," kata Lavinder yang kini diangkat BB sebagai Penasihat Direksi di sana. Cuma soal utang yang dijadikan alasan menjual Uni Royal? Perusahaan yang didirikan pada 1911 ini, sebenarnyalah, sudah lama merasakan ada sedikit ganjalan dari peraturan-peraturan di negeri ini. Menurut Lavinder, di Indonesia, sesuatu yang gampang bisa menjadi sulit dan sebaliknya. Meskipun akhirnya nama Uni Royal menghilang, diganti dengan PT United Sumatra Plantation (USP), Aburizal berjanji tak akan mem-PHK-kan pekerja yang sudah ada yang jumlahnya sekarang mencapai tujuh ribuan itu. Dengan menggunakan para pekerja, yang memang sudah terampil itu, Abu yakin dalam jangka 15 tahun modal yang ditanamnya pekan ini sudah bisa kembali. Janji Aburizal ternyata tidak hanya kepada para pekerja perkebunannya saja. Tapi juga kepada para pekerja pabrik PT James Hardie Industrie (JHI) yang jumlahnya tidak kurang dari 360 orang. Perusahaan yang memproduksi pipa jenis AC (Asbest Cement) dan bahan bangunan - seperti dinding penyekat dan fiber cement ini dibeli BB dengan harga Rp 11 milyar. Tidak seperti Uni Royal, JHI sengaja dijual karena dalam operasinya selama tiga tahun terakhir rugi sekitar Rp 5 milyar. Ini disebabkan JHI hanya mampu berproduksi 50% bahan bangunan dan 30% untuk pipa dari kapasitas terpasang. Sementara kapasitas maksimum yang bisa dicapai untuk pipa dan bahan bangunan masing-masing tiga juta dan 6,5 juta ton setahun. JHI rupanya tak mampu memasarkan produknya. Menurut Aburizal, "JHI rugi karena manajemen pemasarannya impoten, padahal pasarnya cukup tersedia." Semula, yang diincar BB dari JHI ini hanya pabrik pipanya, dengan tujuan bisa melengkapi jenis pipa yang telah diproduksinya. Selama ini BB hanya membuat pipa baja, sedangkan yang diproduksi JHI pipa beton. Tapi, karena mesin-mesin yang ditawarkan JHI ini termasuk mesin untuk membuat bahan bangunan, "terpaksa dibeli juga meskipun tidak masuk dalam strategi," ujar Aburizal. Dengan sedikit meningkatkan manajerial BB yakin JHI akan sehat. Apalagi, kalau dilihat, pasar domestik saja masih cukupan luasnya. Juga pasar ekspor yang telah dirintis JHI - konon, selama ini, JHI mengekspor 10% dari seluruh total penjualannya. Jadi, masa tak bisa menaikkan omset penjualan menjadi Rp 15 milyar dari total penjualannya tahun lalu yang hanya mencapai Rp 12 milyar? Diperkirakan modal pemilik baru bisa kembali dalam waktu tujuh tahun. Besar memang dana yang dibutuhkan BB untuk dua perusahaan barunya itu. Tapi, seperti laiknya pengusaha tulen, kali ini pun BB memanfaatkan fasilitas perbankan dengan sebaik-baiknya. Untuk pembelian Uni Royal, misalnya, dari koceknya BB hanya mengeluarkan US$ 13 juta. Sedangkan sisanya diperoleh dari BBD dengan tingkat bunga 1,25% di atas Sibor (Singapore borrow rates) dengan jangka pengembalian 10 tahun. Juga untuk membeli JHI, BB memanfaatkan dana dari konsorsium lembaga keuangan, yang beranggotakan Hongkong Bank, Aseam, dan Indovest. Andai kata kedua perusahaan ini bisa makmur di tangan BB, sudah tentu harus diakui bahwa ada swasta yang mampu mengelola perusahaan dengan baik. Sehingga kelak, jika ada BUMN yang perlu dibantu, Tor Gamba misalnya, pemerintah tak perlu ragu lagi menunjuk Dewa Penolong yang tepat. Budi Kusumah Laporan Biro Medan & Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini