Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEKELEBAT saja Defia Rosmaniar menyadari kejanggalan tendangan berputar atlet taekwondo Korea Selatan, Yun Jihye. Gerakan Jihye, yang menjadi lawannya dalam semifinal nomor poomsae di Asian Games, Ahad pekan lalu, itu terlihat goyah. Toh, Defia terus berkonsentrasi menyelesaikan rangkaian aksinya di arena pertandingan di Plenary Hall Jakarta Convention Center, Senayan, Jakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Defia lega bukan kepalang begitu juri menyatakan dia menang dan lolos ke final dengan skor 8,52, unggul hanya 0,12 poin atas Jihye. Apalagi dialah satu-satunya wakil taekwondo Indonesia yang lolos ke final untuk nomor poomsae setelah atlet tunggal putra serta beregu putra dan putri gagal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di final, Defia mengumpulkan skor 8,69 dan mengalahkan lawannya dari Iran, Marhan Salahshouri, yang mendapatkan nilai 8,47. Defia pun meraih medali emas perdananya di Asian Games. "Saat tahu ada gerakan atlet Korea itu yang goyang, sebenarnya saya sudah yakin bisa menang," kata Defia kepada Tempo, Rabu pekan lalu.
Hal yang sama rupanya dirasakan manajer tim nasional taekwondo Rahmi Kurnia. Mengamati Yun Jihye dari sisi arena, Rahmi mengenali sejumlah kesalahan dilakukan pesaing terberat Defia itu. "Atlet wanita lain tidak sebagus wakil Korea Selatan ini," ujarnya. "Tapi saya tetap minta Defia jangan meremehkan."
Nomor poomsae adalah pertandingan di cabang olahraga taekwondo yang menampilkan rangkaian jurus pukulan dan tendangan. Ini adalah nomor baru yang untuk pertama kalinya ditampilkan dalam Asian Games. Sebelumnya, cabang taekwondo hanya mempertandingkan kategori pertarungan (kyurogi) berdasarkan kelas bobot tubuh.
Menurut Defia, jurus-jurus dalam poomsae adalah teknik sejenis yang pada dasarnya sama-sama dilatih para atlet taekwondo. Pembedanya adalah tingkat kesulitan saat menerapkan jurus-jurus itu dalam serangkaian gerakan berkelanjutan. "Makin tinggi tendangan, nilai juga tinggi, tapi risiko untuk goyah dan mempengaruhi keseimbangan juga besar," ucap atlet 23 tahun itu.
Defia awalnya atlet kyurogi. Namun sakit tifus yang menyerang sekitar enam tahun lalu memaksanya absen berlatih dan bertanding. Kesempatan rupanya datang lagi setelah para pelatihnya menawari Defia untuk mencoba poomsae. "Saya tak ingin meninggalkan dunia taekwondo," katanya.
Keputusan perempuan asal Bogor, Jawa Barat, itu pindah haluan berbuah manis. Pada 2012, ia menjuarai nomor poomsae individu dan tim dalam turnamen di Gwangju, Korea Selatan. Dalam Kejuaraan Dunia di Kolombia pada tahun yang sama, Defia meraih medali perunggu.
Dalam lima tahun terakhir, Defia mengoleksi belasan prestasi. Di antaranya, medali perunggu SEA Games 2013, medali perak Malaysia Terbuka 2014, dan medali emas Korea Terbuka 2015. Defia pun direkrut masuk pemusatan latihan nasional untuk Asian Games 2018. "Bolak-balik latihan di Korea Selatan," kata Rahmi.
Korea Selatan dipilih menjadi pusat pengembangan karena negara asal taekwondo itu dinilai sebagai pesaing terberat di Asian Games. Apalagi ukuran postur para atletnya mirip dengan postur anggota tim taekwondo Indonesia. Meski demikian, menurut Rahmi, kesiapan mental menghadapi atmosfer pertandingan juga ikut menentukan. "Kalau teknik dan fisik bagus tapi kondisi mentalnya sedang jelek, penampilannya goyah juga," ujarnya.
Meski bukan nomor pertarungan, menurut Rahmi, poomsae sulit dilakukan. Atlet harus menampilkan gerakan yang mengkombinasikan kekuatan, keseimbangan, dan keindahan. Rangkaian jurus pukulan dan tendangan harus bertenaga tapi tidak kaku. "Kalau tangan masih goyang setelah memukul, gagal," katanya.
Medali emas dari nomor poomsae itu adalah perolehan pertama kontingen Indonesia dalam Asian Games XVIII. Medali itu juga satu-satunya yang bisa direbut atlet taekwondo Indonesia. Keberhasilan Defia Rosmaniar diikuti sesama atlet Indonesia dari cabang olahraga berbeda.
Jagoan wushu, Lindswell Kwok, menyumbangkan medali emas kedua untuk kontingen Indonesia dengan menjuarai nomor taiquan dan taijijian yang digelar di Jakarta International Expo Kemayoran, Senin pekan lalu. "Medali ini saya persembahkan untuk keluarga, tim pelatih, pengurus, dan masyarakat Indonesia," ujar Lindswell, yang memutuskan pensiun karena lama bergulat dengan cedera lutut.
Inilah prestasi terbaik Lindswell dalam tiga Asian Games yang diikutinya. Dalam Asian Games di Cina delapan tahun lalu, dia pulang dengan tangan kosong. Empat tahun kemudian di Korea Selatan, perempuan asal Medan itu berhasil meraih perak.
Pada hari yang sama, cabang sepeda gunung ikut menyumbang medali emas. Pesepeda Khoirul Mukhib dan Tiara Andini Prastika sama-sama menjuarai nomor downhill.
Rekor baru juga dibuat Eko Yuli Irawan. Dia menjadi atlet pertama Indonesia yang meraih medali emas di cabang angkat besi dalam Asian Games. Dengan total angkatan 311 kilogram, atlet asal Lampung itu mengalahkan wakil Vietnam, Van Vinh Trinh, yang membukukan 299 kilogram. Sedangkan medali perunggu diraih atlet Uzbekistan, Adkhamjon Ergashev, yang meraih total angkatan 298 kilogram.
Berusia 28 tahun, Eko adalah salah satu atlet senior dan andalan tim nasional angkat besi Indonesia. Eko menjadi atlet Indonesia pertama yang selalu membawa pulang medali dari tiga Olimpiade. Meski demikian, ia menyatakan belum ingin pensiun. Dia masih bertekad tampil dalam Olimpiade 2020 di Tokyo, Jepang.
Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi menyatakan bangga terhadap prestasi kontingen Indonesia. Hanya dalam dua hari perolehan medali sudah melampaui hasil Indonesia dalam Asian Games 2014 di Incheon, Korea Selatan. Kala itu Indonesia pulang dengan membawa 4 medali emas, 5 medali perak, dan 11 medali perunggu.
Prestasi Indonesia di Asian Games kali ini perlahan terdongkrak. Dalam sepekan pertama setelah pembukaan, kontingen Indonesia sudah mengoleksi 9 medali emas. Total medali yang dikumpulkan hingga Sabtu pekan lalu mencapai 34 keping. Perolehan ini bisa meningkat hingga Asian Games ditutup pada 2 September.
Sejauh ini perolehan medali kontingen Merah Putih adalah yang terbaik sejak Asian Games 1978. Kala itu, dalam kompetisi yang digelar di Bangkok, Thailand, Indonesia mengoleksi 8 medali emas dan menempati peringkat ketujuh. Setelah itu, prestasi Indonesia kembang-kempis.
Hasil tertinggi Indonesia sejak ikut Asian Games perdana pada 1951 didapatkan 56 tahun lalu. Dalam Asian Games yang juga digelar di Jakarta, kontingen Indonesia mengumpulkan 21 medali emas. Itulah pertama kali dan satu-satunya Indonesia bisa menembus tiga besar negara terbaik di Asian Games.
Kembali menjadi tuan rumah, pemerintah Indonesia menargetkan masuk daftar 10 negara terbaik. Untuk memenuhi ambisi ini, kontingen Indonesia ditugasi mengumpulkan setidaknya 16 medali emas. Meski demikian, Indonesia masih mengandalkan sejumlah cabang baru dan non-Olimpiade, seperti wushu, pencak silat, paralayang, dan jetski.
Panjat tebing, yang baru pertama kali dipertandingkan di Asian Games, memenuhi proyeksi itu dengan menyumbang satu medali emas. Kemenangan yang didapat berkat kecepatan Aries Rahayu Susanti ini menjadi modal besar bagi Indonesia. Dua tahun lagi, di Olimpiade Tokyo, panjat tebing juga bakal dipertandingkan.
Kejutan besar justru terjadi di cabang olahraga dayung, Jumat pekan lalu. Tim Indonesia menjuarai nomor lightweight eight, disusul oleh Uzbekistan dan Hong Kong. Tim juga berhasil mendapatkan dua medali perak dan dua medali perunggu di empat nomor lain. "Ini perolehan medali terbanyak kita di Asian Games," kata Ali Buton, anggota tim dayung lightweight eight.
Paralayang, yang juga baru dipertandingkan di Asian Games, bahkan bisa menyumbang dua medali emas lewat kemenangan tim beregu putra dan Jafro Megawanto, yang turun di nomor ketepatan mendarat. Kepala pelatih tim paralayang, Gendon Subandono, mengatakan timnya sudah memenuhi permintaan Kementerian Pemuda dan Olahraga meraih satu medali emas.
Menteri Imam berharap kemenangan Jafro dan kawan-kawan menjadi motivasi bagi atlet lain meraih medali. "Semoga ini menjadi pemicu baru bagi semua atlet Indonesia," ujarnya.
Gabriel Wahyu Titiyoga, Ade Ridwan Yandwiputra (Bogor), Ahmad Supardi (Palembang)
Perolehan Medali Emas Indonesia di Asian Games
Tahun | Peringkat | Medali Emas | 1951 | 7 | - | 1954 | 11 | - | 1958 | 12 | - | 1962 | 2 | 21 | 1966 | 6 | 7 | 1970 | 4 | 9 | 1974 | 5 | 15 | 1978 | 7 | 8 | 1982 | 6 | 4 | 1986 | 9 | 1 | 1990 | 7 | 3 | 1994 | 11 | 3 | 1998 | 11 | 6 | 2002 | 14 | 4 | 2006 | 22 | 2 | 2010 | 15 | 4 | 2014 | 17 | 4 | 2018* | 5 | 9 |
*hasil sementara hingga Jumat, 24 Agustus 2018
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo