Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Tidak Timur, Tidak Barat

DIREKTUR American Gamelan Institute Jody Diamond dengan tegas menyatakan istilah musik Timur dan Barat tidak relevan disematkan pada gamelan.

25 Agustus 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Tidak Timur, Tidak Barat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DIREKTUR American Gamelan Institute Jody Diamond dengan tegas menyatakan istilah musik Timur dan Barat tidak relevan disematkan pada gamelan. Barat tidak mewakili kebudayaan yang paling bagus, sebaliknya Timur pun begitu. "Musik Timur dan Barat berada di tempat yang sama. Istilah Timur dan Barat harus dihapus," kata Diamond dalam diskusi panel di Teater Kecil Institut Seni Indonesia Surakarta, 11 Agustus lalu, sebagai bagian dari festival gamelan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pengotak-ngotakan musik Timur dan Barat membuat komposer kontemporer gamelan tak leluasa berkarya. Mereka ingin melepaskan Timur-Barat supaya bisa menyampaikan karya dengan bebas dan apa adanya kepada publik. Kepada Diamond, komponis Indonesia asal Sumatera Utara, Ben M. Pasaribu (almarhum), pernah mengatakan musiknya di Indonesia dianggap terlalu Barat, sedangkan di Australia musiknya dianggap terlalu Timur. Diamond juga mengutip tulisan komposer I Wayan Sadra (almarhum): apakah komponis Indonesia perlu identitas? Wayan di Bali dianggap tidak Bali lagi karena memasukkan instrumen Barat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Diamond mengatakan gamelan memiliki dimensi yang lengkap. Gamelan punya bahasa yang menyatukan dan mengikat manusia. Diamond kemudian menampilkan komposisinya, Sabbath Pride, yang menggunakan nada gamelan Jawa slendro. Dia membuatnya pada 1982 berdasarkan lagu liturgi Yahudi berbahasa Ibrani, Lecha Dodi. Lagu ini biasanya dinyanyikan pada hari Jumat saat senja di sinagoge untuk menyambut Shabbat sebelum kebaktian malam.

Guru besar tari dan budayawan Sardono W. Kusumo melihat pengaruh Barat muncul, misalnya, pada gamelan Bali. Pelukis, komposer, dan penari dari luar negeri berdatangan ke Bali pada 1930-an dan membawa pengaruh pada gamelan. Seniman-seniman dari Eropa dan Amerika berinteraksi dengan empu-empu tradisional Bali. Komposisi musik gamelan kreasi baru kemudian muncul.

Sardono mencontohkan pengaruh seniman Barat itu dalam bentuk musik gamelan yang makin ekspresif. Bunyi musik yang rancak, menonjolkan bunyi setiap instrumen. "Itu sangat Barat sekali," ujar Sardono.

Guru besar Institut Seni Indonesia Denpasar, I Gede Arya Sugihartha, menyebutkan sedikitnya ada sepuluh gamelan baru yang lahir sejak awal 1980-an hingga saat ini, di antaranya Genta Pinara Pitu, Semarandhana, Bumbang, Jes Gamelan Fusion, Manika Shanti, Siwa Nada, dan Ketug Bumi. Jes Gamelan Fusion karya Windha tahun 2005 menggabungkan instrumen dari gamelan jegog, Semara Pagulingan, drum set, dan jimbe Afrika. Gamelan ini memiliki konsep musik progresif. Pada 2015, muncul gamelan Ketug Bumi karya kolektif dosen Jurusan Seni Karawitan ISI Denpasar, yang dimainkan 100-150 penabuh. Ketug Bumi lahir dari keinginan adanya pembaruan gamelan untuk acara seni budaya berskala besar, misalnya Pawai Pesta Kesenian Bali. Instrumen Ketug Bumi sebagian besar menggunakan alat musik tradisional Bali, kecuali jimbe, instrumen musik Afrika.

Konsep musikal, seperti pola melodi, ritme, dan harmoni, banyak meminjam konsep musik Barat, Afrika, dan etnis lain sebagai penanda silang budaya. "Ketug Bumi diolah secara kreatif, inovatif, adaptif, dan plural sesuai dengan nuansa kekinian," kata I Gede Arya Sugihartha.

Akan halnya kajian penting tentang gamelan dari Amerika Serikat datang dari etnomusikolog University of Michigan, Marc Benamou. Gamelan di Amerika populer dan tercatat setidaknya ada sekitar 200 gamelan, di antaranya gamelan Jawa, Bali, dan Sunda.

Profesor yang lancar berbahasa Jawa ini mengumpulkan 500 kaset gamelan Yogyakarta dan Jawa Tengah selama lima tahun terakhir. Kaset itu ia dapatkan dari perusahaan rekaman musik Lokananta Solo dan Fajar Records untuk meneliti cakepan atau syair dalam gamelan. Kaset-kaset yang ia kumpulkan merupakan koleksi 1970-an.

Pengumpulan kaset itu bermula dari pertanyaan banyak orang yang menonton gamelan di luar negeri. Penonton bertanya apakah gendhing (nyanyian) yang dibawakan punya arti. "Tak seorang pun bisa menjawab secara penuh. Pengrawit tidak mengerti betul syair atau cakepan yang disajikan," ujar Benamou.

Syair dalam gamelan, kata dia, sangat heterogen dan mengandung banyak kalimat atau frasa yang tidak mengandung pesan apa-apa. Misalnya sampiran atau wangsalan. Selain itu, beberapa syair menggunakan bahasa Jawa kuno yang sulit dipahami, misalnya pada macapat. Bahkan orang Jawa pun banyak yang tidak mengerti artinya.

Benamou punya pengalaman ketika belajar nembang. Menurut dia, yang diutamakan adalah laras dan ucapannya. Tapi makna dari tembang tidak diperhatikan.

Benamou mentranskrip kaset yang ia kumpulkan untuk melihat syair-syairnya. Ia kemudian membuat klasifikasi. Beberapa syair merupakan hasil dari sastra kuno. Ada juga wangsalan pendek-pendek yang mudah dimengerti. Tapi antara satu kata dan kata yang lain tidak punya kaitan. "Sulit dimengerti secara utuh," ucapnya.

Sebagian syair muncul dari sastra tertulis atau naskah kalangan keraton, misalnya pada macapat. Sebagian wangsalan juga diambil dari sindenan bedhoyo srimpi. Sedangkan senggakan atau vokal yang menyela pada sindenan biasanya mudah dimengerti. Misalnya pada isen-isen yang berbau sastra rakyat.

Senggakan itu, contohnya, yo mas-yo mas, man eman eman, ojo mepet-mepet. Unsur sastra rakyat itu, menurut Benamou, memberi kesan spontan dan banyak variasinya.

Shinta Maharani

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus