Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Bisnis Properti Terbentur Lokasi

Pembangunan perumahan bersubsidi sempat tersendat. Berbagai kebijakan diluncurkan untuk mendorong pertumbuhan.

25 Agustus 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Bisnis Properti Terbentur Lokasi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEBIJAKAN yang terbit akhir-akhir ini semestinya bisa membuat pengembang properti kembali bergairah dan bergerak lebih cepat. Setelah Bank Indonesia meluncurkan paket relaksasi pembiayaan sektor perumahan yang membebaskan uang muka kredit perumahan, Otoritas Jasa Keuangan mengizinkan perbankan menyalurkan kredit pembebasan lahan bagi pengembang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Kami jadi punya ruang untuk berkreasi agar bisnis properti makin menggeliat," kata Ketua Umum Realestat Indonesia (REI) Soelaeman Soemawinata, Selasa pekan lalu. Asosiasi pengembang ini menargetkan pembangunan 200 ribu unit rumah komersial pada tahun ini, sama seperti tahun lalu. REI juga berencana mendirikan rumah untuk kelompok masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) sebanyak 230 ribu unit.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pengadaan perumahan untuk dua segmen itu bertujuan mendukung program sejuta rumah yang dicanangkan pemerintah. Presiden Joko Widodo ingin membangun 1 juta unit rumah tiap tahun guna memenuhi kekurangan suplai tempat tinggal. Sebanyak 60 persen di antaranya untuk MBR, sementara 40 persen berupa rumah komersial. Targetnya, pada 2019, defisit pasokan rumah atau backlog tinggal 5,4 juta, menurun dibanding angka pada 2015 yang mencapai 7,6 juta.

Pembangunan perumahan sempat tersendat pada semester pertama lalu. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat mencatat, pengadaan rumah MBR, misalnya, hingga pertengahan Agustus baru terealisasi 14.043 unit atau sekitar 2,3 persen dari target. Sebanyak 100 ribu unit di antaranya dibangun pengembang REI.

Salah satu penyebab tersendatnya program sejuta rumah tak lain sulitnya mencari lokasi. Direktur Jenderal Pembiayaan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum Lana Winayanti menyebutkan hanya ada tiga kata kunci dalam bisnis properti: "Lokasi, lokasi, dan lokasi." Siapa pun pengembang properti, kata dia, pasti lokasi menjadi kata kunci.

Lana mengaku sering mendapat keluhan, bahkan omelan, dari para pengembang yang merasa sudah berkontribusi merealisasi program sejuta rumah tapi proyek mereka tak laku. Konsumen tidak tergiur membeli karena lokasi rumah tidak strategis atau infrastruktur, seperti sarana, prasarana, dan utilitas umum, belum tersedia. Misalnya layanan listrik belum tersambung. Karena itu, ia menekankan kepada para pengembang agar membuat kajian pasar sebelum membangun perumahan.

Adapun REI mengeluhkan soal perizinan yang tak semudah janji dalam Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2016 tentang Pembangunan Perumahan Masyarakat Berpenghasilan Rendah. Regulasi itu menyederhanakan perizinan penyediaan perumahan yang selama ini dianggap berbelit dan memakan waktu.

Aturan itu merupakan tindak lanjut terhadap paket kebijakan ekonomi ke-13 yang diluncurkan Presiden Jokowi. Isinya, antara lain, memotong waktu penerbitan izin pembangunan perumahan dari 900 hari menjadi 40 hari. Selain itu, jumlah izin yang perlu diurus dipangkas dari 33 menjadi 11 izin saja melalui pelayanan terpadu satu pintu.

Tapi, menurut Soelaeman Soemawinata, beberapa jenis izin, seperti izin lokasi, izin mendirikan bangunan, dan analisis mengenai dampak lingkungan, rumah MBR masih diperlakukan sama seperti izin rumah komersial. "Beberapa daerah belum menerapkannya," ucapnya.

Dari sisi pembiayaan, Kementerian Pekerjaan Umum mengapresiasi kebijakan OJK dan BI dalam merespons dinamika sektor properti. Pembukaan kembali keran pinjaman untuk pengadaan lahan properti diyakini akan mengerek pertumbuhan perumahan. Fasilitas ini sempat disetop sekitar setahun lalu karena dikhawatirkan membuka peluang spekulasi. Sejumlah pengembang dinilai "menghimpun" lahan dan tidak segera menggarapnya.

OJK juga menyesuaikan rasio aktiva tertimbang menurut risiko (ATMR) alias bobot risiko kredit beragun rumah tinggal. Angka rasio ini semula dipukul rata sebesar 35 persen untuk kredit perumahan rakyat (KPR) bank konvensional dan bank syariah. Dengan adanya relaksasi, ATMR menjadi berbeda-beda, yakni 20-35 persen, sesuai dengan rasio loan-to-value (LTV). Singkat kata, makin besar uang muka yang disetorkan konsumen, tingkat risiko kredit makin rendah.

Dalam menghitung rasio kecukupan modal (CAR), ATMR adalah pembagi modal. Makin rendah angka pembagi itu, CAR suatu bank akan makin meningkat. Dengan begitu, ada ruang bagi bank untuk menyalurkan kredit lebih besar. Artinya, dengan menurunkan rasio ATMR, OJK mendorong perbankan mengembangkan KPR.

Adapun BI, melalui kebijakan pelonggaran rasio LTV, tak lagi mematok jumlah uang muka yang mesti disetor. Perbankan dipersilakan menentukan besaran uang muka berdasarkan manajemen risiko masing-masing. Aturan ini berlaku per 1 Agustus 2018. Dengan regulasi ini, BI memprediksi pertumbuhan KPR bisa mencapai 13,46 persen pada tahun ini. BI mencatat pertumbuhan KPR per Mei 2018 sebesar 12,75 persen.

Pemerintah sebenarnya telah memberikan berbagai insentif dan bantuan pembiayaan untuk pembelian rumah MBR. Salah satunya subsidi bunga KPR melalui fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP). Tahun ini, pemerintah mengalokasikan anggaran untuk program ini sebesar Rp 6,5 triliun. Tapi, hingga 15 Agustus lalu, dana yang terpakai hanya Rp 1,6 triliun. Bantuan lain berupa subsidi pembayaran uang muka senilai Rp 4 juta.

Upaya lain untuk menggenjot penyediaan rumah MBR adalah menyediakan dana murah bagi perbankan penyalur KPR bersubsidi. Tugas ini diemban PT Sarana Multi Finance. Badan usaha milik negara di bawah Kementerian Keuangan ini mendapat penyertaan modal negara sebesar Rp 1 triliun, plus dana hasil penerbitan obligasi Rp 2 triliun, sehingga bisa memberikan pinjaman murah-dengan tingkat bunga 4,45 persen-kepada bank penyalur dana FLPP.

Tersedianya tambahan dana murah membuat porsi penyertaan duit perbankan bisa dinaikkan dari 10 persen menjadi 25 persen dalam KPR. Sedangkan porsi pemerintah menurun dari 90 persen menjadi 75 persen. Perubahan porsi itu dituangkan dalam adendum perjanjian yang diteken pada 14 Agustus lalu.

Dengan demikian, alokasi pembangunan 60.625 unit rumah MBR dari anggaran FLPP sebesar Rp 6,5 triliun bisa ditingkatkan menjadi 70 ribu unit. "Jadi ada dua manfaat, yakni menurunkan beban fiskal sekaligus menaikkan jumlah unit MBR," tutur Lana Winayanti.

Dana tersebut disalurkan melalui 30 bank konvensional (bank umum dan bank pembangunan daerah) serta 13 bank syariah. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat mencatat, PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk atau BTN mendominasi penyaluran KPR bersubsidi, yakni sekitar 92 persen (kumulatif sejak 2010 hingga Juni 2018).

Direktur Utama Bank BTN Maryono mengatakan, hingga Juli 2018, perseroan telah menyalurkan KPR untuk 541.833 unit rumah. Realisasi itu sekitar 72,24 persen dari target dukungan perusahaan dalam program sejuta rumah. Khusus untuk pembiayaan rumah bersubsidi, BTN sudah mendistribusikan pinjaman untuk 297.044 unit rumah senilai Rp 17,15 triliun.

Bank penyalur KPR bersubsidi lain adalah Bank Rakyat Indonesia Syariah (3,4 persen) dan Bank Pembangunan Daerah Papua (1,27 persen). Direktur Utama BRI Syariah Hadi Santoso menyebutkan total realisasi penyaluran KPR bersubsidi banknya hingga Agustus 2018 tercatat Rp 1,927 triliun untuk membangun 19.770 unit rumah MBR. Tahun ini, BRI Syariah memiliki kuota penyaluran Rp 669 miliar, meningkat dibanding tahun lalu yang sebesar Rp 600,8 miliar.

Kementerian Pekerjaan Umum akan mengevaluasi secara ketat bank-bank penyalur dana FLPP setiap tiga bulan. Kementerian bakal mencoret bank yang kinerja pendistribusiannya kurang dari 50 persen. Selanjutnya, kuota bank itu diberikan kepada bank lain yang mampu menyalurkan KPR bersubsidi lebih baik. "Kalau memang tidak mampu, terpaksa akan kami cut," ujarnya.

Retno Sulistyowati, Dias Prasongko

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus