Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
UNTUK pertama kali dalam sejarah, Federasi Asosiasi Sepak Bola Internasional (FIFA) menggelar Piala Dunia di Timur Tengah, yakni di Qatar. Penduduk negara mini dan kaya di kawasan Teluk Arab atau Teluk Persia ini didominasi migran (88 persen) daripada warga Arab Qatar, yang hanya 12 persen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Piala Dunia 2022 digelar pada 20 November-18 Desember. Ada 32 tim yang akan berkompetisi memperebutkan piala tertinggi sepak bola ini. Perwakilan negara Arab yang bermain di Piala Dunia tahun ini adalah Arab Saudi, Tunisia, Maroko, dan tentu saja Qatar, yang mendapat tiket gratis karena menjadi tuan rumah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menjadi tanda tanya besar kenapa Qatar yang terpilih sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022. Prestasi sepak bola negara itu tidak terlalu cemerlang meskipun tim nasionalnya pernah bermain di Copa America (2019) dan CONCACAF Gold Cup (2021). Secara umum prestasi dan rekam jejak Qatar dalam sepak bola kalah telak oleh tetangganya, khususnya Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA), atau negara Arab lain, seperti Aljazair, Mesir, Maroko, dan Tunisia.
Belakangan, tercium aroma busuk di balik pemilihan Qatar, yakni isu suap kepada petinggi FIFA yang bertanggung jawab atas pemilihan negara-negara yang akan menjadi tuan rumah Piala Dunia. Barney Ronay, kolumnis The Guardian, membeberkan sejumlah elite FIFA—dari Sepp Blatter dan Chuck Blazer hingga Issa Hayatou dan Mohammed bin Hammam—terlibat konspirasi, korupsi, kolusi, dan suap jutaan dolar atas pemilihan Qatar. Banyak dari mereka yang kemudian masuk bui, dipecat dari FIFA, dan dilarang terlibat di berbagai perhelatan sepak bola internasional.
Bagi Qatar, mengeluarkan uang pelicin jutaan dolar bukan masalah. Ada gengsi menjadi tuan rumah Piala Dunia karena bisa mempromosikan, mempopulerkan, dan mengokohkan Qatar di kancah dunia internasional. Sejak terpilih menjadi tuan rumah, Qatar kemudian membangun delapan stadion megah supermodern. Forbes memperkirakan biaya untuk menghelat Piala Dunia ini sebesar US$ 150 miliar, sepuluh kali lebih banyak ketimbang biaya Piala Dunia di Rusia pada 2018.
Selain diramaikan oleh isu suap dan korupsi, Piala Dunia Qatar diwarnai sejumlah protes dan boikot dari para pengamat, praktisi, dan aktivis sepak bola karena beberapa alasan. Misalnya berkaitan dengan isu-isu politik regional, proses dan mekanisme penyelenggaraan acara, kondisi geografi, serta masalah perlindungan hak asasi manusia di Qatar.
Yang menarik, para tokoh islamis militan dan teroris di Qatar tidak bersuara sedikit pun atau mengkritik Piala Dunia. Sejak beberapa tahun silam, Qatar menjadi “bunker” para pemimpin dan aktivis islamis militan dan teroris khususnya dari Mesir dan Afganistan yang memicu ketegangan politik regional, khususnya dengan negara tetangga, seperti Arab Saudi, UEA, dan Bahrain, yang kemudian membentuk “koalisi kuartet” (plus Mesir) untuk memboikot Qatar.
Meskipun ada polemik dan kontroversi, tidak sedikit yang menyambut Piala Dunia Qatar dengan antusias dan sukacita, khususnya para pendukung “militan” sepak bola, baik penduduk non-Arab maupun masyarakat Arab Timur Tengah. Banyak mahasiswa saya yang warga Saudi bahkan meminta kuliah diliburkan saat ada pertandingan yang melibatkan tim kesayangannya karena mereka akan pergi dan menonton langsung di Qatar.
Bagi sebagian masyarakat Timur Tengah, sepak bola telah menjadi “agama kedua”. Tidak ada cabang olahraga di sini yang lebih populer dan meriah ketimbang sepak bola. Meskipun kelompok Salafi menganggap panahan sebagai “olahraga islami” dan “sunah Rasul”, hanya segelintir orang yang tertarik.
Sepak bola memang laksana “agama”. Di sini ada stadion yang berfungsi sebagai “masjid” tempat orang berkumpul. Ada pengikut yang setia, ada tokoh-tokoh yang bermain, ada hierarki dan struktur sosial, ada praktik ritual (berdoa sebelum bermain atau agar tim favoritnya menang).
Bagi penduduk Timur Tengah dan Afrika Utara, yang didominasi oleh Arab/muslim, sepak bola bukan hal baru. Sepak bola menjadi bagian dari sejarah, tradisi, dan budaya mereka sejak dulu jauh sebelum menjadi negara-bangsa. Karena itu, wajar jika sepak bola kemudian menjadi “agama kedua” yang banyak digemari masyarakat. Di Arab Saudi, misalnya, meski asosiasi sepak bola nasional terbentuk pada 1956, tim sepak bola Arab sudah eksis sejak 1927, sebelum deklarasi dan pendirian negara-kerajaan Arab Saudi modern pada 1932.
Di sejumlah negara Timur Tengah, sepak bola berkembang pesat dan menjelma menjadi industri olahraga prestisius, berkelas, dan terpopuler sehingga menjadi bisnis menggiurkan. Bahkan di sejumlah negara yang menjadi basis kelompok ultrakonservatif agama, seperti Arab Saudi, Qatar, dan Mesir, sepak bola berkembang menjadi industri dengan total aset yang tidak sedikit.
Menurut Nermeen Abbas, jurnalis Forbes Middle East, sepuluh klub sepak bola Timur Tengah teratas memiliki nilai aset US$ 395 juta. Dari sepuluh tim kaya itu, Arab Saudi mendominasi dengan lima klub, disusul Qatar dan UEA masing-masing dua klub, dan Mesir satu klub.
Para bintang bola Arab, seperti Omar Abdulrahman (UEA); Rabah Madjer (Aljazair); Ali Al-Habsi (Oman); Mohammed Noor, Majed Abdullah, Yusuf al-Thunayan, dan Nasser al-Shamrani (Arab Saudi), serta Mohamed El-Shenawy (Mesir), menjadi superstar yang digandrungi banyak fan, baik laki-laki maupun perempuan.
Klub-klub sepak bola Arab populer, seperti Al-Hilal, Al-Ittihad, Al-Ahli, Al-Nasser, Al-Shabab, Al-Sadd, Al-Ain, dan Al-Duhail, memiliki fan militan. Para pemain klub sepak bola di Timur Tengah bukan hanya warga Arab lokal (atau non-Arab), tapi juga banyak dari Eropa, Amerika Latin, atau Jepang. Mereka di antaranya Gonzalo Martinez, Fabio Martins, Romarinho, Igor Jesus, dan Soya Nakajima.
Barangkali karena sepak bola bukan permainan bola kaki semata. Ia merupakan sebuah fenomena budaya yang kompleks. Ia bisa dilihat dari berbagai dimensi: politik, bisnis, agama. Ada banyak aktor dan pemain yang turut bermain dan memainkan “irama gendang” sepak bola: dari elite politik dan pebisnis hingga tokoh agama dan masyarakat.
Juga: sepak bola bukan hanya hiburan masyarakat. Ia memiliki berbagai fungsi sosial yang beragam. James Dorsey dalam The Turbulent World of Middle East Soccer membahas sejarah dan perkembangan sepak bola di Timur Tengah dan Afrika Utara merinci pelbagai dampak politik, sosial, dan agama di kawasan ini. Di satu sisi sepak bola jadi medium kelompok elite politik tertentu melanggengkan otoritarianisme (misalnya kasus Al Saadi Qadhafi dengan Al Ahli Tripoli-nya), di pihak lain ia bisa jadi sarana memprovokasi dan memobilisasi massa guna menggulingkan penguasa (misalnya kasus Ultras Ahlawi Mesir).
Selain sarat dengan politik, sepak bola Timur Tengah berkelindan dengan persoalan keagamaan (keislaman). Misalnya pengikut fanatik Syiah mengharamkan sepak bola karena, menurut mereka, jenis olahraga ini mengingatkan pada sejarah kelam yang menimpa imam mereka, Husein, yang dibunuh dengan dipenggal kepalanya lalu ditendang-tendang laksana permainan sepak bola. Sementara itu, kelompok ultrakonservatif Sunni (seperti Sahwa di Arab Saudi) memandang sepak bola sebagai sebuah aktivitas sia-sia, budaya kafir-sekuler Barat, jalan menuju kemaksiatan, atau tantangan bagi supremasi syariat Islam.
Upaya kelompok ultrakonservatif agama yang anti-sepak bola ini sempat berhasil di Iran dan Arab Saudi. Dulu, di Arab Saudi, mereka menerapkan “stumbling block” untuk mengganjal dan menghalangi perkembangan sepak bola, baik buat laki-laki maupun perempuan. Tapi sekelompok Salafi konservatif yang anti-sepak bola perempuan menjadikan sepak bola sebagai medium menarik pengikut, lalu mencuci otak mereka dengan ajaran konservatif dan militansi agama. Bukankah Usamah bin Ladin adalah fan Arsenal FC, klub Inggris yang kini memuncaki klasemen Liga Primer?
Dalam beberapa tahun terakhir peran dan eksistensi kelompok konservatif-militan agama sudah dibekukan oleh Raja Salman dan Putra Mahkota Muhammad bin Salman. Dampaknya, kini Arab Saudi memiliki klub sepak bola perempuan di sejumlah daerah dan bahkan sudah menggelar kompetisi tingkat nasional serta ikut berpartisipasi di ajang internasional. Di negara-negara Arab Timur Tengah lain, tim sepak bola perempuan sudah lama terbentuk dan biasa menggelar turnamen antarklub.
Walaupun kubu ultrakonservatif agama, baik rumpun Sunni maupun Syiah, sering mengharamkan atau tidak mengapresiasi sepak bola karena alasan sosio-kultural dan keagamaan, dunia sepak bola tetap eksis dan menjadi bagian dari budaya masyarakat Timur Tengah. Itulah kenapa Piala Dunia Qatar disambut dengan meriah.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo