Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BERJALAN di antara kerumunan orang yang hampir semuanya berbaju merah seragam tim nasional Denmark, laki-laki itu berulang kali berbisik, “Tiket? Tiket, tiket.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penampilannya tampak mencolok karena ia memakai kostum klub sepak bola Amerika Serikat, New York Red Bulls, di tengah orang-orang berkostum kesebelasan tim Denmark. Sore itu, Sabtu, 26 Juni lalu, di Stadion Johan Cruijff ArenA di Amsterdam akan berlangsung pertandingan Wales versus Denmark pada babak 16 besar Piala Eropa 2020.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Laki-laki Red Bulls itu berbisik kepada siapa saja yang berpapasan dengannya. Kami bersirobok di depan Johan Cruijff ArenA. Sembari menatap saya penuh harap, ia berbisik, “Anda butuh tiket?”
Tanpa menunggu jawaban, ia mengajak saya menjauhi kerumunan. Setelah cukup jauh, ia menawarkan tiket kategori 2 seharga 180 euro (sekitar Rp 3 juta). Saya menanyakan tiket kategori 3. Ia lalu memencet layar telepon selulernya. Dalam pembicaraan telepon, ia berbahasa Prancis.
Setelah menutup sambungan telepon, dia menyampaikan bahwa tiket kategori 3 tersedia seharga 120 euro (sekitar Rp 2 juta). Untuk lebih meyakinkan, laki-laki itu menunjukkan tiket pada aplikasi UEFA Tickets yang ada di telepon selulernya. Dia juga menunjukkan daftar alamat surat elektronik yang pernah ia kirimi tiket. Saya melihat sedikitnya delapan alamat e-mail.
Sistem tiket penonton di Piala Eropa kali ini memang menggunakan aplikasi UEFA Tickets sehingga tidak ada tiket fisik. Setiap penonton wajib punya akun dengan alamat e-mail yang terdaftar di aplikasi itu. Nantinya, tiket ditransfer dan langsung masuk ke aplikasi tiket yang ada di ponsel pembeli masing-masing.
Terdorong rasa penasaran, saya bertanya kepada si calo mengenai hasil tes Covid-19 yang menjadi syarat masuk stadion. Calo berkulit gelap itu mengatakan tiket tersebut sudah mencakup gelang tangan, sembari mengeluarkan gelang berwarna hijau dari dalam tasnya. Ia menyakinkan gelang itu berlaku juga di Johan Cruijff ArenA, yang setahu saya memakai aplikasi CoronaCheck untuk mengkonfirmasi hasil tes.
Keberadaan calo tiket dalam perhelatan Piala Eropa 2020 itu membuat saya terperenyak. Ternyata, di tengah sistem penjualan tiket yang serba digital pada era industri 4.0 ini, masih ada calo. Keribetan membeli tiket secara daring untuk menyaksikan pertandingan Belanda versus Ukraina sebelumnya seakan-akan tak berarti.
Penjualan tiket Piala Eropa 2020 sejatinya sudah dimulai pada pertengahan 2019, sebelum pagebluk Covid-19 menyelimuti dunia. Sebagian penonton sudah memesan tiket yang dijual lebih murah dengan potongan harga tertentu karena masuk kategori pra-pesan (pre-order). Dita Hartono salah satunya. Perempuan yang bermukim di Bukarest, Rumania, ini memesan empat tiket. Ia hanya sukses mendapatkan satu tiket setelah diundi Asosiasi Sepak Bola Eropa alias UEFA lantaran pembatasan kapasitas stadion.
Selain dipesan secara resmi, tiket Piala Eropa 2020 bisa kita beli di pasar pihak ketiga. Namun harganya lebih mahal. Tiket kategori 3 laga Belanda melawan Ukraina pada Senin, 14 Juni lalu, misalnya, mesti saya beli seharga 200 euro (sekitar Rp 3,5 juta). Sedangkan dalam situs resmi UEFA, harga tiket di babak grup hingga babak 16 besar hanya 50 euro (sekitar Rp 850 ribu).
Setelah pengalaman itu, saya mengikuti pergerakan harga tiket pertandingan terakhir Piala Eropa di Amsterdam antara Wales dan Denmark. Empat hari menjelang laga itu, harga tiket kategori 3 bergerak liar. Sempat menyentuh angka tertinggi 350 euro (sekitar Rp 6 juta), harga tiket kemudian turun hingga di angka 88 euro (sekitar 1,5 juta) pada H-1.
Hal yang sama saya temukan pada harga tiket di kota lain, seperti di Sevilla (Spanyol), Kopenhagen (Denmark), London (Inggris), dan Budapest (Hungaria). Tiket kategori termurah di Sevilla sempat mencapai angka tertinggi 320 euro, di London 250 euro, di Budapest 150 euro, dan di Kopenhagen 250 euro. Bahkan sempat ada tiket kategori 1 yang dijual seharga lebih dari 1.000 euro (sekitar Rp 17 juta).
Saya menduga tiket harga normal UEFA sudah diborong para calo seperti pria berbaju tim New York Red Bulls itu. Mereka menjualnya kembali dengan harga lebih tinggi.
Setelah mengobrol agak panjang, saya memutuskan tak membeli tiket dari calo itu. Selain harganya terlalu mahal, ia tak bisa menjawab soal jaminan hasil tes Covid-19 yang menjadi syarat wajib masuk stadion. Laki-laki itu lalu meninggalkan saya dengan menggerutu dan bersungut-sungut.
TITO SIANIPAR (AMSTERDAM)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo