Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

wawancara

Ini Bukan Soal Uang

Lonjakan jumlah kasus Covid-19 pada satu bulan terakhir bakal meningkatkan belanja kesehatan. Kenaikan belanja kesehatan antara lain untuk pembelian 400 juta vaksin dan untuk pengobatan pasien. Kondisi darurat ini membuat Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati harus mengitung kembali kas negara untuk kebutuhan belanja kesehatan. Kementerian Kesehatan menaikkan bujet dari Rp 172 triliun menjadi sekitar Rp 185 triliun untuk belanja kesehatan. Berpengalaman menghadapi krisis moneter 1997-1998 dan menakhodai Indonesia keluar dari dampak krisis ekonomi 2008, Sri Mulyani menganggap pandemi Covid-19 menyuguhkan tantangan yang sama sekali berbeda dari krisis-krisis sebelumnya.

3 Juli 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Sri Mulyani harus menghitung kembali kas negara karena belanja kesehatan bakal naik akibat lonjakan kasus Covid-19.

  • Bagi Sri Mulyani, pandemi Covid-19 menyuguhkan tantangan yang sama sekali berbeda dengan krisis-krisis ekonomi sebelumnya.

  • PPKM Darurat dapat berdampak pada menurunnya pertumbuhan ekonomi.

MENTERI Keuangan Sri Mulyani Indrawati harus bekerja ekstrakeras di tengah melonjaknya angka kasus Covid-19 dalam satu bulan terakhir. Akibat jumlah penderita penyakit itu yang terus meroket, ia harus menghitung kembali kas negara karena kebutuhan untuk belanja kesehatan bakal naik. Kementerian, misalnya, menaikkan bujet dari Rp 172 triliun menjadi sekitar Rp 185 triliun untuk belanja kesehatan. “Belanja kesehatan utamanya selain vaksin juga untuk pengobatan,” tutur Sri Mulyani, 58 tahun, dalam wawancara khusus dengan Tempo melalui konferensi video, Jumat, 2 Juli lalu.

Dengan kurva penambahan kasus yang melonjak tajam, Sri Mulyani mengatakan biaya pengobatan juga akan melejit. Kementerian Keuangan tahun lalu saja telah membelanjakan Rp 14,5 triliun untuk biaya perawatan 200.545 pasien Covid-19 di 1.575 rumah sakit. Itu belum termasuk pelunasan tagihan-tagihan yang sekarang sedang diaudit oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan serta Kementerian Kesehatan. Belum lagi, sejumlah pemerintah daerah masih kurang sigap dalam mengalokasikan anggaran penanganan Covid-19, yang salah satunya menyebabkan tertunggaknya insentif bagi tenaga kesehatan. “Kita sedang zona merah, seharusnya PPKM sampai ke level mikro di mana RT, RW, desa itu penting,” ujarnya.

Berpengalaman menghadapi krisis moneter 1997-1998 serta menakhodai Indonesia keluar dari dampak krisis ekonomi 2008, Sri Mulyani menganggap pandemi Covid-19 menyuguhkan tantangan yang sama sekali berbeda. Ia mesti memutuskan sederet kebijakan strategis di tengah kepungan kabar tentang orang-orang di sekitarnya yang terinfeksi virus corona. Tak jarang ia mesti turun tangan memberikan penjelasan tentang kebijakan yang menuai kontroversi dan kritik publik, seperti meningkatnya utang negara dan isu perpajakan.

Kepada tim Tempo, Sri Mulyani menceritakan peliknya mengatur keuangan negara di tengah ketidakpastian akibat pandemi dan dampak pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat terhadap pertumbuhan ekonomi. Ia pun harus pasang badan dan mengambil alih keputusan pemotongan anggaran ketika ada kementerian dan lembaga negara lain yang lamban dalam mengalihkan anggaran untuk Covid-19. Ia mengatakan pagebluk membuatnya berpikiran lebih terbuka. Selain membaca banyak artikel, ia berkomunikasi dengan sejumlah menteri keuangan untuk memperoleh gambaran tentang kebijakan penanganan pandemi di negara-negara lain.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lonjakan angka kasus Covid-19 membuat pemerintah melaksanakan PPKM darurat. Bagaimana pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi di kuartal kedua tahun ini?

Pengaruhnya di kuartal kedua mungkin tetap terjadi, terutama di Juni terakhir. April-Mei sudah tinggi banget. Juni sampai dengan minggu kedua masih bagus. Tapi Juni minggu ketiga dan keempat mulai terlihat adanya softening, terutama kegiatan-kegiatan. Orang sudah melihat kasus Covid-19 naik makanya mulai menahan diri. Orang tidak lagi se-mobile sebelumnya. Itu pasti mempengaruhi, khususnya konsumsi kita. Kuartal kedua mungkin masih sekitar 7 persen. Tapi kuartal ketiga sangat bergantung pada berapa lama PPKM darurat ini berjalan. Makin lama, pengaruhnya akan makin dalam di dalam menahan pemulihan ekonomi. Kalau makin pendek dan efektif, pemulihan ekonomi bisa berjalan terus.

Apa dampaknya terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara?

Penerimaan yang tadinya sudah naik dan gross-nya sudah positif mungkin akan tetap positif tapi tidak naik secara konsisten. Dan tekanan untuk belanja bertambah. Kebutuhan untuk belanja kesehatan akan naik, yang tadinya Rp 172 triliun dinaikkan menjadi sekitar Rp 185 triliun. Belanja kesehatan itu utamanya, selain 400 juta vaksin yang akan kita beli untuk 181 juta orang yang akan disuntik, juga untuk pengobatan. Anggaran kita hampir Rp 59 triliun. Tahun lalu saja kita sudah membelanjakan Rp 14,5 triliun untuk membayar 200.545 pasien dari 1.575 rumah sakit. Dan ternyata itu belum semuanya. Kita masih menerima tagihan-tagihan yang sekarang sedang diaudit oleh BPKP dan Kementerian Kesehatan.

Bagaimana penyesuaian anggarannya?

Kita mencoba terus melakukan beberapa hal. Pertama, identifikasi berapa kenaikan untuk pos di kesehatan. Selain melalui Kementerian Kesehatan dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana, belanja untuk vaksinasi dan Covid-19 melalui transfer ke daerah. Transfer ke daerah melalui dana alokasi umum atau dana bagi hasil. Itu masuk ke daerah melalui proses anggaran pendapatan dan belanja daerah. Kami menyampaikan, dari yang kita transfer itu, 8 persennya harus untuk Covid-19. Untuk pembelanjaan tenaga kesehatan di daerah ternyata enggak secepat yang kita bayangkan. Makanya banyak insentif tenaga kesehatan yang belum terbayarkan.

Anggaran apa saja yang dialihkan untuk kesehatan?

Kami akan mengubah dari sisi belanja PEN (Pemulihan Ekonomi Nasional) dulu yang Rp 699 triliun. Untuk program yang dialokasikan tapi enggak jalan atau belum bisa jalan atau ada halangan lain kami pindahkan ke tempat lain. Atau yang tadinya insentif usaha, seperti perpajakan, kalau ternyata penggunaannya tidak sebesar yang diestimasikan di awal, kami bisa pakai untuk yang lain. Kami melakukan realokasi karena terus terang waktu kami melakukan estimasi perencanaan anggaran basisnya adalah kondisi 2020 sebelum Covid-19. Sekarang kami membuat estimasi berdasarkan 2020 yang sudah Covid-19. Jadi realokasi dilakukan seminimal mungkin di dalam tempat yang sama. Tapi, kalau enggak, saya terpaksa menulis surat kepada kementerian lembaga untuk merefokuskan sekian triliun rupiah, yang tadinya untuk non-Covid-19, pindahin ke Covid-19. Atau saya bahkan memotong anggaran mereka, saya ambil dalam rangka Covid-19. Pasti akan ada risiko, tapi kami cari risiko yang paling kecil. Pilihannya terkadang enggak semuanya menyenangkan.

Anda mengatakan pengaruhnya akan makin dalam di dalam menahan pemulihan ekonomi kalau PPKM darurat ini berlangsung lama. Seberapa besar pengaruh pembatasan selama 17 hari itu?

Estimasi kami, terutama untuk kuartal ketiga, kalau seandainya tidak terjadi outbreak lagi, pertumbuhan ekonominya di 6,5 persen. Dengan PPKM dua minggu pasti terkena dampak. Pertama, konsumsi saja deh. Kalau tidak terjadi PPKM, tumbuhnya di sekitar 5,5 dan 5,7 persen dibanding pada tahun lalu. Dengan PPKM bisa turun di sekitar 4 persen. Kalau sampai satu bulan penuh, konsumsi bisa drop. Terutama pada Juli yang semestinya naik karena anak-anak sekolah libur. Banyak orang biasanya melakukan aktivitas liburan anak-anak, rekreasi, dan lain-lain. Itu tidak akan terjadi. Jadi koreksinya akan dalam. Bahkan bisa sampai di 3 persen.

Pemerintah telah mendapatkan masukan dari para ahli agar menerapkan pembatasan sosial secara ketat agar kenaikan kasus Covid-19 lekas terkendali. Bagaimana kemampuan anggaran pemerintah untuk melakukan pembatasan lebih ketat?

Ada yang menuduh pemerintah menerapkan PPKM darurat karena enggak punya duit. Nah, saya mau sampaikan, APBN yang berhubungan dengan membantu masyarakat masih belum terserap. Kalau orang Jawa bilang masih turah (sisa). Program Keluarga Harapan, yang targetnya 10 juta orang, sampai Juni ini yang memperoleh 9,9 juta. Bisa dibayarkan tepat waktu dan tepat sasaran. Kartu sembako, yang sudah dianggarkan untuk 18,8 juta keluarga, sampai Juni penerimanya baru 15,9 juta karena Bu Risma (Menteri Sosial Tri Rismaharini) sedang benerin datanya. Masih ada anggarannya. Yang satu lagi BST (Bantuan Sosial Tunai) untuk 10 juta penerima. Setiap kelompok mendapat Rp 300 ribu. Yang mendapatkan baru 9,6 juta. Lagi-lagi Bu Risma bilang banyak yang enggak benar datanya. Satu lagi yang duitnya masih banyak adalah BLT (Bantuan Langsung Tunai) Desa yang seharusnya untuk 8 juta warga desa, sekarang baru sekitar 5 juta yang menerimanya. Itu per bulannya Rp 300 ribu. Bahkan sekarang, karena ada PPKM darurat, kami sudah memutuskan bersama Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral untuk menambah diskon listrik dari yang seharusnya selesai Juni diperpanjang tiga bulan lagi. Pelanggan 450 volt ampere dikasih diskon 50 persen. Bantuan sosial itu berlapis-lapis. Jadi poinnya it’s not about money (ini bukan soal uang).

Hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan menemukan berbagai indikasi penyimpangan dan salah sasaran dalam penyaluran bantuan sosial senilai Rp 2,28 triliun pada 2020. Apa evaluasi pemerintah atas kebocoran ini?

Sebagian yang sangat besar itu ada di BST. Ibu Risma menyatakan mau memperbaiki semuanya, dari yang paling bawah sampai atas. Dia sudah menggunakan universitas di daerah dan Badan Pusat Statistik untuk melakukan verifikasi. Audit BPK banyak berguna bagi kita untuk mengatakan, tapi sebagian sebetulnya kita sadar, pilihannya seperti ini. Mau menunggu datanya komplet, sistemnya bagus, baru kita lakukan atau kita lakukan dulu dengan risiko akan terjadi inklusi dan eksklusi. Pilihan kebijakannya adalah guyur saja dulu dengan data yang ada sambil memperbaiki, dan tepatnya itu yang kita lakukan. Risiko pasti ada. Menemukan yang tidak terdata, ada yang nomor induk kependudukannya tidak jelas, ada yang namanya ternyata beda sama sekali.

Ada keluhan dari beberapa kementerian soal lambannya daerah dalam menangani Covid-19 dan menyerap anggaran. Bukankah Kementerian Keuangan punya instrumen yang bisa memaksa pemerintah daerah mempercepat belanjanya dan bisa mendorong mereka lebih optimal?

Itu yang kami sampaikan dari awal minggu ini. Kami rapat pertama dengan Pak Menko (Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto), mengidentifikasi masalah insentif tenaga kesehatan, percepatan vaksinasi, dan lain-lain, termasuk pelaksanaan PPKM mikro itu. Kan ujung tombaknya di rukun tetangga, rukun warga, lurah. Anggarannya disediakan APBD melalui anggaran kelurahan atau kita pakai dana desa. Tapi sudah ditransfer dana desa pun enggak selalu kemudian jalan. Ada 233 pemerintah daerah yang belum ada realisasi dukungan untuk kelurahan melakukan PPKM, 23 di antaranya adalah daerah yang sedang zona merah. Dana alokasi umum dan dana bagi hasil yang 8 persen yang seharusnya untuk membantu kelurahan baru 7,56 persen.

Bagaimana dengan pemerintah daerah yang bandel?

Kami menghormati otonomi dan desentralisasi. Mereka seharusnya mengelola anggaran berdasarkan sistem pemerintahan daerah. Kalau dalam situasi darurat seperti sekarang dan ternyata mereka secara berulang tidak melakukannya, saya sudah menyampaikan kepada para gubernur dan Menteri Dalam Negeri, “Bapak, ini kalau sampai Juli enggak jalan, kami intercept saja.” Mending enggak populer, dimarah-marahin daerah, daripada Covid-nya menyebar ke mana-mana. Itu yang harus kami pilih. Jadi saya menggunakan wewenang itu. Pertama, untuk bisa mencapai vaksinasi 2 juta per hari. Itu kan target yang tinggi banget. Daerah seharusnya menyediakan karena vaksinasi dari Kementerian Kesehatan dan dinas yang menyelenggarakannya. Jadi kami sekarang mencoba untuk membuat koreksi. Prioritasnya memang efektivitas, bukan desentralisasi atau otonomi.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Kementerian Keuangan

Apakah dana penanganan Covid-19 berkontribusi terhadap utang Indonesia yang mendekati Rp 6.000 triliun?

APBN sudah ditentukan dengan defisit tidak lebih dari 5,7 persen dari gross domestic product. Itu identik dengan Rp 1.006 triliun. Pemerintah enggak boleh berutang lebih dari yang sudah ditetapkan di undang-undang. Jadi pemerintah boleh jungkir balik di sini di situ, Dewan Perwakilan Rakyat mengatakan tambahan utang tidak boleh melewati Rp 1.006 triliun. Jadi, kalau ditanya Rp 699 triliun (anggaran PEN) diambilnya dari mana, ya dari Rp 2.750 triliun (APBN) ini.

Apakah penambahan utang ini berbahaya?

Semua negara menambah utang gara-gara Covid-19. Kita juga tahu utang kalau terlalu banyak tidak baik untuk ekonomi mana pun. Tapi kenaikan (utang) ini dibenarkan karena situasi shock yang tidak ada instrumen kecuali negara harus hadir. Kalau negara tidak mau hadir hanya gara-gara supaya tidak ngutang, makin ambles saja ekonominya. Itu yang disebut countercyclical. Jadi kami sengaja mengambil risiko itu karena kami mengetahui negara hadir untuk mengangkat semuanya. Nanti kalau ekonominya sudah naik, masyarakatnya naik, kami menyehatkan APBN lagi.

Anda begitu taktis dan efektif menjawab polemik soal pajak dengan mendadak turun ke Pasar Santa, Jakarta Selatan, dan viral di mana-mana. Siapa yang memberikan masukan soal itu?

Kementerian Keuangan mempunyai kebiasaan rapat pimpinan komplet. Semua jajaran, wakil menteri, eselon I, staf khusus, dan staf ahli. Biasanya semua isu kami omongin. Dari sini kami membuat (penjelasan) apakah di media sosial, media cetak, elektronik, atau televisi. Waktu teman-teman bilang, “Bu, ke pasar saja, ke pedagang sembako.” Yo wis aku ke pasar saja, malah senang. Dan percakapan kemarin itu betul-betul spontan saja. Saya tanya para pedagang bagaimana kondisinya. Saya dari kecil sama Ibu selalu ke pasar. Kalau dulu ke Pasar Bulu di Semarang. Saya sudah biasa kalau di pasar ketemu pedagang dan berinteraksi.

Anda sudah menjabat Menteri Keuangan sejak 2005 dan banyak mengalami masa sulit. Salah satunya adalah detik-detik penyelamatan Bank Century pada 2008. Kalau dibandingkan dengan kondisi sekarang, lebih berat mana?

Sekarang yang kita hadapi adalah penyakit, bukan neraca. Ini benar-benar berbeda. Lebih dari 2.600-an pegawai di Kementerian Keuangan terkena Covid-19. Anak saya yang dokter juga kena, mantu saya kena, cucu saya yang tujuh tahun kena. Ini menakutkan karena mengancam jiwa secara langsung dan tanpa pandang bulu. Jika sedang pusing saya suka menulis puisi. Dalam salah satu puisi saya menuliskan malaikat pencabut nyawa sedang turun banyak sekali, masif. Jadi Anda bisa bayangkan. It's a totally different game. Pengaruhnya sangat masif, sangat dalam.

Anda terdengar sangat yakin menghadapi hal yang sangat menakutkan ini.

Sebagai profesional, teknokrat, kami akan memobilisasi semua ikhtiar yang kita miliki: data, indikator, teknik, dan instrumen kebijakan kita. Saya membaca banyak sekali. Saya tahu umpamanya di negara ini sedang menerapkan policy tertentu. Saya pikirin bisa enggak ya policy itu diterapkan di sini? Ini adalah ikhtiar maksimum. Harus dilakukan dan tidak boleh ada kata-kata tidak optimistis. Setiap halangan pasti ada solusinya. Namun saya selalu satu tarikan napas yang sama mengatakan: humble dan humility. Karena kalau Anda merasa petantang-petenteng, selesailah saja di dunia ini. Kita juga harus berpikiran terbuka. Kita harus waspada terus karena kita tidak tahu (pandemi) ini berapa lama.

Apakah Menteri Keuangan memang harus tampil percaya diri?

Tugas dan tanggung jawab Menteri Keuangan itu kompleks. Kalau saya goyah, anak buah saya ikut goyah. Kalau saya shaky-nya 10 skala Richter, anak buah saya menjadi 20 skala Richter. Makin ke bawah makin besar. Jika Anda sendiri goyah, bagaimana Anda akan menjadi jangkarnya? Ya, bismillah-lah, banyak zikir.


SRI MULYANI INDRAWATI | Tempat dan tanggal lahir: Bandar Lampung, 26 Agustus 1962 | Pendidikan: Sarjana Ekonomi dari Universitas Indonesia (1986), Master of Science of Policy Economics dari University of Illinois Urbana-Champaign, Amerika Serikat (1990); Ph.D of Economics dari University of Illinois Urbana-Champaign (1992) | Karier: Direktur Eksekutif Dana Moneter Internasional (2002-2014), Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2004), Menteri Keuangan (2005-2010), Pelaksana Tugas Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (2008-2009), Direktur Pelaksana Bank Dunia (2010-2016), Menteri Keuangan (2016-2019 dan 2019-sekarang) | Organisasi: Ketua Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (2019-2023) | Penghargaan: Menteri Keuangan Terbaik Asia (2006), Menteri Terbaik Dunia (2018), Menteri Keuangan Terbaik di Asia-Pasifik (2017-2019)

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus