Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Banjir Bintang, Seret Rekor

Kejuaraan kali ini diramaikan aksi para bintang, protes, dan kejutan. Yang sepi, jumlah rekor.

12 Agustus 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TekaD bisa meluruhkan segalanya. Sakit urat di dengkulnya tak mempengaruhi Maurice Green untuk memacu larinya. Di nomor paling bergengsi 100 meter, si hitam berusia 27 tahun itu masih mampu mendahului lawan-lawannya. Green menembus garis finish dalam waktu 9,82 detik. Rekor tak pecah, memang. Namun, di Kejuaraan Dunia Atletik di Edmonton, Kanada, pekan lalu, pelari AS itu berhasil menorehkan nama yang manis, menjadi juara dunia untuk ketiga kalinya. Kejayaan bukan cuma milik Green. Pen-cetak hattrick lainnya adalah Allen Johnson, juga dari AS. Pelari gawang ini sukses di nomor spesialisasinya, 110 meter gawang putra. Catatan waktunya pun fantastis: 13,04 detik. Ini memang prestasi yang mengagumkan. Betapa tidak, Allen Johnson sebetulnya merupakan old crack. Tapi, di luar dugaan, ternyata dia masih bisa berlari secepat angin. Prestasinya itu makin menggembungkan perolehan medali emas untuk negaranya, AS. Namun, yang terpenting, meski catatan waktunya masih jauh di bawah rekor yang di-pegang pelari Inggris, Collin Jackson, 12,91 detik, Johnson telah menyemai nama harum: tiga kali juara dunia. Sebelumnya, ia mengantongi nomor serupa di Kejuaraan Dunia 1995 dan 1997. Menyemai nama harum rupanya menjadi epidemi di Kejuaraan Dunia Atletik di Edmonton, Kanada, yang berakhir Ahad kemarin. Para atlet dunia seolah berlomba menciptakan dirinya menjadi sebuah legenda. Sebenarnya, gelagat ini bisa dilihat sebelum kejuaraan akbar ini digelar. Kala itu, para bintang sudah sesumbar untuk tetap menjadi juara di negeri daun mapel itu. Atlet macam Marion Jones, misalnya, ingin memperpanjang kejayaannya sebagai pelari yang tak terkalahkan. Berangkat dengan ambisi seperti itu, tak mengherankan jika soal rekor menjadi senyap. Benar saja. Setidaknya, hingga dua hari menjelang pertarungan usai, kejuaraan dunia kali ini memang sepi rekor. Yang ramai justru protes yang dilakukan beberapa atlet. Gabriela Szabo, misalnya. Pelari putri asal Rumania itu menolak bertanding di nomor 5.000 meter sebagai protes diizinkannya pelari Rusia, Olga Yegorova, untuk bertanding. Padahal, Olga terbukti memakai obat. Kenapa kejuaraan yang sarat bintang ini sepi rekor? Apakah ini pula batas kemampuan manusia hanya sampai di sini? Seusai merebut medali emas, Maurice Green menyatakan resep kemenangannya tak lain keinginannya untuk berlari sekuat tenaga dan tak terkalahkan. Menilik catatan waktu yang digoreskan Green, barangkali memang sampai di situlah batas kemampuan maksimal manusia. Catatan rekor milik Maurice Green yang diciptakan di Athena, Yunani, dua tahun silam, tak ter-goyahkan. Saat itu, Green, yang tengah berada di puncak penampilannya, berhasil mencetak catatan waktu, 9,79 detik. Di nomor lain? Idem dito. Atlet lompat galah putri AS, Stacy Dragila, meskipun berhasil menjadi juara lagi setelah melewati mistar setinggi 5 meter kurang 25 senti, toh rekor atas namanya sendiri masih belum terpecahkan. Rekornya yang terakhir adalah 4,81 meter, yang dibuatnya di California, Juni lalu. Ini berbeda dengan kebiasaannya yang kerap memperbarui rekornya sendiri. Alasan Dragila agak klise. Ia mengaku konsentrasinya buyar akibat panitia yang dinilainya kurang siap untuk turnamen sebesar ini. Namun, nasib yang dialami Dragila relatif beruntung bila dibandingkan dengan Marion Jones. Jangankan memecahkan rekor, mewujudkan ambisinya saja dia gagal. Sprinter hitam manis yang selalu menjadi langganan peraih medali sejak Olimpiade Atlanta itu terpaksa melepaskan ambisinya untuk memperpanjang ketangguhannya. Di nomor 100 meter putri, yang menjadi kebanggaannya, ia harus merelakan gelarnya dirampas pelari Ukrania, Zhanna Pintusevich-Block. ?Saya sangat kecewa dengan kekalahan ini,? kata Jones, tak bisa menyembunyikan kemasygulannya. Lebih tragis lagi, Haile Gebrselassie. Pelari legendaris asal Etiopia ini terpaksa gigit jari di ujung karirnya. Juara dunia empat kali 10.000 meter putra sejak tahun 1993 itu tersungkur di tangan atlet muda asal Kenya, Charles Kamathi. Kekalahan ini memang menyakitkan. Untuk pertama kalinya Gebrselassie?pemegang dua medali emas olimpiade dan 12 rekor dunia?cuma berada di posisi ketiga. Praktis kekalahan ini memupuskan ambisinya untuk merebut gelar juara untuk kelima kalinya. ?Saya merasa berada dalam kondisi yang baik. Saya tidak tahu kenapa jadi begini,? katanya. Sepertinya, Gebrselassie terlalu asyik berlari sehingga dia sendiri lupa akan batas kemampuannya. Irfan Budiman

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus