TOMMY Soeharto mungkin mewarisi sifat nekat bapaknya. Seperti sang bapak, putra Soeharto itu sangat berani bermain-main dengan risiko. Ia pecinta olahraga "cepat" yang penuh bahaya seperti balap mobil, dan beberapa kali cedera karenanya. Pada 1984, di bulan September, ia harus dirawat seminggu di RSPAD Jakarta lantaran motor boat-nya "terbang" dalam sebuah kejuaraan power boating di Pantai Ancol. Dalam berbisnis, keberanian berisiko itu juga muncul dalam berbagai kasus, termasuk kasus tukar guling PT Goro dengan Bulog, yang akhirnya menyeretnya ke bui itu.
Tak mengherankan, ketika Tommy dikaitkan polisi dengan pembunuhan Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita, Kamis 26 Juli lalu di Sunter, Jakarta Utara, banyak orang percaya. Ketika ia sembilan bulan buron, bom berledakan di mana-mana, hakim agung terbunuh, dan polisi seperti "loyo" dalam mencari pelaku semua kejahatan itu. Tommy seolah-olah seperti "jawaban" dari semua kejahatan belakangan ini.
Sangat mungkin kali ini polisi?seperti kata ahli telekomunikasi Roy Suryo yang membantu polisi?berada di jalan yang tepat untuk menangkap terpidana kasus Goro yang diputus kasasi Mahkamah Agung menerima hukuman 18 bulan itu. Tapi, sebelum Tommy benar-benar ditangkap, sebaiknya polisi jangan menerapkan jurus "rumput digantung di depan mulut kuda sado" kepada publik. Harapan rakyat agar Tommy bisa ditangkap seolah-olah sudah sangat dekat untuk terlaksana, padahal harapan itu tak akan pernah bisa dicapai.
Ada begitu banyak pertanyaan ketika polisi mengaitkan Tommy dengan ditembaknya Hakim Syafiuddin. Jika bicara tentang motif, Tommy sangat mungkin jadi pelakunya. Dalam kasus Goro, pengadilan memutuskan Tommy bebas, tapi putusan kasasi Mahkamah Agung pada 22 September 2000 justru menghukum penjara Tommy 18 bulan. Salah satu hakim agung yang memutus adalah Syafiuddin. Tommy kabarnya kesal karena sudah menyuap sang hakim, tapi kawan dekat almarhum Syafiuddin membantah cerita suap ini. Kalau benar Tommy kesal, mengapa ia harus menunggu sepuluh bulan sebelum menembak Syafiuddin?
Sang "eksekutor", Mulawarman dan Novel Haddad, mengaku menerima Rp 100 juta dan senjata langsung dari tangan Tommy. Apa Tommy begitu bodoh untuk langsung berhubungan dengan dua "jagal amatiran" yang gampang benar "menyanyi" disuruh Tommy itu? Biasanya, "order" begini berbahaya dilakukan berlapis-lapis, sang pemberi perintah kalau perlu tak bertatap muka?begitu yang sering kita tonton di film-film. Yang lebih mencurigakan, dua orang itu mengaku bahwa setelah penembakan usai mereka sekali lagi ketemu Tommy untuk menyerahkan kembali senjata. Apa pentingnya Tommy memerintahkan senjatanya dikembalikan? Seandainya pun senjata itu jatuh ke tangan polisi, bukankah polisi juga tak tahu bahwa senjata itu milik Tommy?
Lalu tentang Fery Hukom, "pintu masuk" ke arah kasus Hakim Syafiuddin. Polisi mengaku menguntit 24 jam orang ini dan berhasil menyusupkan bargirl ke mobil BMW milik Fery. Si bargirl itulah yang kata polisi menemukan sejumlah berkas, termasuk denah Sunter dan nama Hakim Syafiuddin. Sulit dimengerti mengapa Fery "membiarkan" bargirl itu begitu leluasa beraksi sementara di mobilnya ada begitu banyak dokumen berbahaya.
Semua keraguan ini pasti akan pupus ketika Tommy dapat ditangkap polisi. Jika benar info anak kesayangan Soeharto itu segera menyerahkan diri, di pengadilan nanti seharusnya semua akan terbongkar. Tapi apa benar Tommy mau menyerah begitu saja?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini