INDONESIA Raya ternyata hanya berkumandang satu kali dalam
malam final tinju Piala Presiden ke-5 di Istana Olahraga Senayan
6 Februari. Penghormatan itu diperoleh Herry Maitimu setelah
dengan taktik "pukul dan lari" menundukkan Joseph Baja dari
Filipina yang bertinju dengan gaya menyerang terus dalam jarak
dekat. Tetapi kemenangan pertama di kelas layang itu tidak
berhasil merangsang kemenangan hagi dua finalis Indonesia
lainnya, Charles Yerisetouw (bantam) dan Sonny Siregar (ringan).
Malam final itu menjadi "arena Rusia". Dari enam petinjunya yang
masuk final, lima orang berhasil merebut emas.
Sehingga Uni Soviet kembali memboyong Piala Presiden sebagai
juara umum. Kelima petinju Uni Soviet itu ialah Krisvoshein
Alexander (bantam), Mkrtycian Vachik (ringan), Akophosian Israel
(welter), Laptev Balery (menengah ringan) dan Sabiev Ramzan
(berat ringan).
Mesir menggondol dua medali emas dari tangan El Komey (terbang)
dan M. Abdul Gawat (menengah). Amerika Serikat satu emas dari
Paul Lucas (bulu), Korea satu emas dari Kim Dong Kil (welter
ringan) dan Italia dari Damiani (berat).
Di kelas welter ringan, Adi Swandhana, andalan publik yang
menjejali 8.000 tempat duduk ternyata dikalahkan emosinya
sendiri. Ia bertinju dengan buas, tetapi pukulan-pukulannya yang
keras itu dengan mudah dielakkan petinju Bruno dari Italia.
Ronde ketiga dia kehabisan tenaga dan Bruno menggunakan
kesempatan ini untuk menaklukkannya. "Swandhana punya power,
tapi dia kurang menggunakan akalnya," ujar Jeff Getter, petinju
AS yang mengundurkan diri karena cedera tangan, tapi terpilih
sebagai petinju favorit. "Saya benar-benar terpancing dan tak
bisa mengendalikan emosi untuk meng-KO lawan," kata petinju asal
Bali itu menyesal kemudian.
Kualifikasi
Menghadapi lawan dengan kepala panas, itu jugalah yang menjadi
titik lemah Charles Yerisetouw. Sampai ronde kedua Charles
berhasil membikin kecewa petinju Uni Soviet, Krisvoshein
Alexander.
Petinju yang punya pukulan keras tapi jangkauan tangan yang
pendek itu berhasil diganggu Charles dengan pukulan-pukulan jab.
Tapi pada ronde ketiga akal Alexnader mulai jalan. Ia seolah
sudah kepayahan mengikuti gerakan Charles yang lincah. Begitu
Charles merasa dapat angin dan menyerbu, Alexander bangkit dan
balik menyerang. Ronde ke-3 ini merupakan ronde kemenangan
mutlak buat petinju Uni Soviet itu.
Lari Terus
Vua ronde terdahulu kelihatannya sudah di tangan Charles. Orang
Rusia kurang pandai berbasa-basi dan seorang pelatih Uni Soviet
di luar ring berkata kepada salah seorang pelatih Indonesia
Carol Renwarin "Sebenarnya anak asuhanmu yang memenangkan partai
itu."
Dalam pertandingan kelas ringan banyak yang kecewa pada
penampilan onny Siregan Suksesnya meng-KO petinju Brian Rosk
(Pakistan) ternyata tidak membekas ketika di final dia
berhadapan dengan Mkrtycian Vachik. Tangan kanannya yang
berhasil menjungkalkan petinju Pakistan itu, pada malam final
hanya digunakan untuk menjaga jarak. Dia berputar-putar terus
menghindari Vachik yang biasanya punya pukulan-pukulan terarah.
Carol lenwarin kurang puas. Katanya: "Semua petinju bisa
seperti Sonny bertahan tiga rande, tapi dengan lari terus . . "
Indonesia yang bertindak sebagai tuan rumah dan menurunkan 31 E
etinju dalam lima tim, ternyata kurang persiapan. Pemberitahuan
resmi dari PS Pertina baru diterima di daerah 10 Januari.Pelatih
Carol Renwarin yang bermarkas di Jayapura memang sudah tahu
mengenai jadwal Piala Presiden. Tapi tanpa surat panggilan dari
PB Pertina, katanya, alasan untuk memanggil petinju kurang kuat.
Sehingga latihan hanya berlangsung seminggu. "Paling tidak saya
memerlukan tiga bulan," kata pelatih Tim Indonesia Merah itu.
Uni Soviet sendiri nampaknya tidak memerlukan persiapan khusus
untuk Piala Presiden ini. Sebab di sana ada sekitar 8.000
sekolah olahraga, dan tinju mulai diajarkan sejak umur 9 atau 10
tahun. Manajer tim Uni Soviet Samsonov, mengakui tim yang
dibawanya adalah "petinju yang baru jadi". Mereka dipersiapkan
selama 20 hari di pemusatan latihan hanya untuk meningkatkan
fisik dengan frekuensi latihan perhari diperbanyak sampai tiga
kali.
Selain persiapan yang kurang, tim Indonesia juga dikritik karena
mengirimkan petinju-petinju yang belum masanya naik ke ring
pertarungan tingkat internasional seperti Piala Presiden ini.
Roy Reagan, Tono Anggono ddn Irwansyah yang belum pernah
bertinju di tingkat kejuaraan nasional dianggap terlalu pagi
untuk naik ring. "Kita haruslah memperhitungkan kecemasan
masyarakat akhir-akhir ini terhadap bahaya tinju. Kalau yang
bertinju punya kualifikasi yang cukup, maka kecemasan itu bisa
diatasi. Karena pertarungan yang tak berimbang bisa dihindari,"
kata Syamsul Anwar, petinju nasional yang juga penulis komentar
tinju.
Tranggono, Sekjen PB Pertina melihat turnamen internasional yang
memakan biaya Rp 80 juta itu sebagai kesempatan emas. "Kapan
lagi kita bisa menampilkan petinju sebanyak ini kalau bukan di
sini. Jumlah yang banyak dengan sendirinya akan menghasilkan
kualitas," katanya. Dan memang tanpa tiga finalis dari Indonesia
malam itu, panitia nampaknya akan kesulitan dalam memancing arus
penonton.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini