Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Beda Suku, la roja tetap satu

Menghidupkan simbol kesukuan tidak merusak kualitas penampilan tim Spanyol. Sepak bola negeri matador itu tak tercabik urusan politik.

26 Juli 2010 | 00.00 WIB

Beda Suku, la roja tetap satu
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Kain bercorak garis kuning merah terentang di tangan kedua bintang kesebelasan nasional Spanyol, Xavi Hernandez dan Carles Puyol. Garisnya kecil-kecil, bendera simbol suku Catalonia atau senyera. Jelas, itu bukan rojigualda, bendera Spanyol yang memiliki warna sama tapi dengan corak lebih lebar. Sambil menu runi tangga pesawat, keduanya men cium senyera mereka dengan khidmat.

Kedua pemain asal klub Barcelona melakukan ”ritual” itu ketika tiba di Bandara Madrid, ibu kota Spanyol, sehari setelah Spanyol menundukkan Belanda 1-0 dalam final Piala Dunia di Afrika Selatan, Ahad tiga pekan lalu. ”Puyol dan Xavi telah menunjukkan keberanian mereka,” ujar Ramon Tremosa, profesor ekonomi dari Universitas Barcelona. ”Xabi Alonso Olano tak berani melakukannya.” Alonso ber asal dari Basque, salah satu negara bagian di Spanyol.

Inilah wajah La Furia Roja pasukan merah berani, julukan kesebelasan Spanyol yang sesungguhnya. Tepatnya, inilah wajah Spanyol: kebanggaan kesukuan masih sangat kuat. Dengan kecerdikannya, pelatih Luis Aragones berhasil mengatasi sekat kesukuan itu dan sukses mempersembahkan gelar Euro 2008. Penggantinya, Vicente del Bosque, malah berhasil memberikan gelar yang belum pernah mereka raih: juara dunia.

Xabi, pemain yang disindir Tremosa, kali ini memang tak seberani Xavi dan Puyol. Tapi, dua tahun lalu, pada saat berselebrasi setelah menundukkan Jerman pada final Euro 2008 di Wina, Austria, gelandang bersuku Basque ini menampik bendera Spanyol. Sikap bek Sergio Ramos lebih gamblang ketika itu. Dia membungkus tubuhnya dengan bendera Andalusia.

Meraih gelar Piala Eropa dan Piala Dunia berurutan bukan berarti semangat kesukuan itu telah hilang. Sikap Xavi dan Puyol adalah contohnya. Para pemain yang lain memperlihatkannya sewaktu berparade di atas bus di Madrid sebelum dijamu Raja Juan Carlos dan Perdana Menteri Jose Luis Rodriguez Zapatero. Kepala negara dan kepala pemerintahan Spanyol tampak membiarkan saja ”pembangkangan” dua pemain nasional itu dengan melambaikan bendera suku mereka.

Tak kurang dari dua juta orang memenuhi jalanan Madrid saat itu. Bus yang membawa skuad Spanyol bertulisan ”el poder de la roja conquista el mundo” kekuatan pasukan merah menaklukkan dunia pada kedua sisi nya. Di atap bus striker Fernando Llorente mengenakan panuelo, kain peli lit leher khas Basque. Gelandang Juan Mata dan penyerang David Villa menerima sodoran bendera Asturia dari seorang suporter. Adapun bek Raul Albiol mengibar-ngibarkan bendera suku Valencia.

Tak seperti banyak pendahulunya, pelatih Del Bosque justru bangga dengan kenyataan beragamnya kultur pemain La Roja. Bagi sang pelatih, kebe ragaman tidak mengancam kekompakan. ”Skuad Spanyol terdiri atas pemain yang berasal dari semua wilayah, namun kami adalah satu kesatuan,” kata pria 59 tahun itu. Di Afrika Selatan, Spanyol memiliki tujuh pemain dari Catalan, enam Castilia, tiga Basque, tiga Andalusia, dua dari Kepulauan Canari, seorang Asturia, dan seorang Valencia.

Del Bosque lahir dari suku Castilia, menjadi bintang Real Madrid sebagai pemain, dan memberikan banyak gelar bagi Madrid sebagai pelatih. Meski begitu, dia anti-Jenderal Franco. ”Ayah saya pegawai kereta api. Dia memperjuangkan serikat buruh, dia republikan tulen.” Mendiang ayahnya pernah dipenjara pasukan Jenderal Franco dalam perang saudara pada 1936-1939.

Perang tiga tahun itu menelan korban sekitar satu juta orang. Kaum republik yang memperjuangkan demokrasi liberal, termasuk ideologi komunis, berperang melawan kaum nasionalis yang fasis pimpinan Franco. Kaum nasionalis menang. Franco lantas menjadikan Castilia sebagai pusat gerakan. Salah satu dampaknya adalah tak diakuinya bahasa lain di luar bahasa Castilia bahasa tersebut kemudian menjadi bahasa nasional, yang dikenal sebagai bahasa Spanyol.

Franco suporter fanatik Real Madrid. Orang-orang Catalunya, dari timur laut Spanyol, menjadikan klub Barcelona sebagai simbol perlawanan di lapangan. Tak boleh bercakap dalam bahasa Catalunya secara resmi, pendukung Barcelona berteriak-teriak dalam bahasa ibu mereka di Stadion Camp Nou, terutama untuk mencaci Madrid. Orang Basque, dari Spanyol utara, lebih ekstrem. Dua klub mereka, Real Sociedad dan terutama Athletic Bilbao, tak menerima pemain di luar suku mereka.

Matinya Franco pada 1975 tak berarti sekat kesukuan melembek. Lewat jalur politik, Catalunya memperjuangkan otonomi yang sangat luas, bahkan ingin merdeka. Basque berjuang lewat jalur politik dan kekerasan, melalui pasukan pemberontak ETA. Sampai sekarang pun perjuangan kedua suku itu masih berlangsung.

Persoalan politik itu masuk ke ruang ganti kesebelasan Spanyol. Pada Piala Dunia 1982, kiper sekaligus kapten tim nasional, Luis Arconado, memilih menggunakan celana hitam ala klubnya di Basque, dan bukannya putih yang disediakan Federasi Sepak Bola Spanyol (RFEF).

Pelatih Javier Clemente asal Basque memenuhi skuad nasional dengan pemain dari sukunya pada Piala Dunia 1994 dan 1998. Pemain kelahiran Barcelona, Oleguer Presas, menolak panggilan tim nasional, dua tahun lalu. As sier del Horno dari Basque keberatan difoto di sebelah bendera Spanyol ketika pertama kali memperkuat tim nasional. Namun, bila bermain di Camp Nou, tim nasional Spanyol justru dicaci penonton. Karena itu, kandang Barcelona tersebut tak lagi disinggahi La Furia Roja dalam 20 tahun terakhir.

Tak ada kohesitas di tubuh tim nasional. ”Para pemain selalu membawa kebanggaan klub dan suku mereka ke tim nasional,” tutur Fernando Hierro, kapten Spanyol dekade 1990. ”Bila pemain Madrid melakukan kesalahan, pemain asal Barcelona tak mau menegur, begitu pula sebaliknya.” Itulah yang menjelaskan mengapa selama berbilang tahun Spanyol tak pernah men juarai Piala Dunia meski selalu menghasilkan bintang setiap saat dan memiliki klub-klub yang disegani setiap waktu.

Hierro punya kesaksian, tapi dia juga termasuk jenis pemain penimbul masalah. Hierro adalah kapten Madrid dan sangat bangga dengan identitas Castilia. Penerusnya, Raul Gonzalez, sama saja. Pelatih Aragones memilih meninggalkan Raul sejak Euro 2008, karena kohesitas pemain lebih kuat. Del Bosque meneruskan kebijakan Aragones meski dia memiliki hubungan dekat dengan Raul.

Sebuah kebetulan, pada era pelatih bijak semacam Aragones dan Del Bosque, Spanyol juga tengah dalam puncak kematangan teknik yang dibawa pemain-pemain asal Barcelona. Istilah tiki-taka, sepak bola tiktak, yang dipopulerkan Clemente pada 1980-an, mengemuka lagi berkat kepaduan permainan Andres Iniesta dan Xavi di lapangan tengah serta duet Puyol dan Gerard Pique di lini belakang.

Iniesta asli Castilia tapi sudah menghuni asrama Barcelona sejak usia 12 tahun. Dalam partai final, mendapat umpan dari pemain yang diasuh Barcelona saat junior, Cesc Fabregas, Iniesta mencetak gol kemenangan. Sekitar 75 ribu orang yang mengerumuni layar raksasa yang menyiarkan pertandingan di Barcelona bersorak gembira.

”Sungguh menggelikan, akhirnya ada lebih banyak bendera Spanyol di kibarkan daripada bendera Catalan,” kata Josep-Lluis Carod-Rovira, wakil pemimpin pemerintahan Catalan. Carod-Rovira terpukul karena sehari sebelumnya dia mampu menggerakkan lebih dari satu juta orang berdemonstrasi di Barcelona. Mereka menuntut otonomi diperluas, termasuk diakuinya bahasa Catalan sejajar dengan bahasa Spanyol.

Fenomena di Basque juga aneh. Pengamat sepak bola asal Inggris, Phil Ball, sempat 15 tahun tinggal di Basque dan tak satu kali pun pernah melihat ada orang Basque memakai kostum La Furia Roja. Pada hari Iniesta mencetak gol ke gawang Belanda, sekitar 2.000 orang mengibarkan bendera Spanyol dan sebagian besar mengenakan seragam kesebelasan Spanyol.

Bagian depan bus yang membawa para pemain berparade bertulisan ”Campeo nes, Impossible is Nothing”. Juara, tak ada yang tak mungkin. Itu terjadi di bawah panji La Roja. ”Sebagian besar pemain tak peduli politik. Kami cuma ingin menang,” kata Xavi, si perentang senyera itu.

Andy Marhaendra (Soccernet, FIFA, AFP)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus