Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUA boneka tentara seukuran manusia berjalan kikuk menyambut kedatangan warga yang memasuki gerbang Masjid Junaiyah di Distrik Narathiwat, Provinsi Narathiwat, Thailand Selatan. Hari mulai gelap Selasa pekan lalu itu dan sebagian jemaah masih menunaikan salat magrib. Malam itu, rumah ibadah berkubah hijau yang terletak di sisi Jalan Raya Phisitbamrung ramai oleh sejumlah tentara berseragam.
Sebagian serdadu berdiri siaga di tepi jalan depan masjid. Lainnya berdiri atau duduk di kursi bergerombol dua-tiga orang di beberapa sudut halaman masjid yang berlantai semen. Ada pula yang lesehan di lantai berkarpet di bagian belakang tempat ibadah ini. Sekitar sepuluh polisi terlihat turun dari mobil dan segera menyebar di sekitar masjid.
”Banyak polisi karena bos mereka ada di dalam,” kata Kolonel Songwit Noonpackdee, wakil komandan pasukan setempat. Sebuah spanduk sam butan terpasang di pekarangan masjid. Di pekarangan belakang masjid akan digelar acara dialog dengan tokoh masyarakat mengenai kondisi terbaru provinsi miskin yang sedang bergolak ini.
Panitia bergegas membagikan pe nganan kecil berupa kue manis, pisang, dan rambutan. Minuman yang ditawarkan dua macam: seduhan kopi instan atau teh manis. Warga terlihat menyatu dengan petinggi sipil, tentara, dan polisi yang hadir. Mereka sedang menjalan kan strategi memenangkan hati dan pikiran masyarakat seperti diperintahkan Raja Bhumibol Adulyadej.
Senyum dan tawa kerap terlihat saat warga melayani pertanyaan wartawan yang diundang Kantor Perdana Menteri Abhisit Vejjajiva untuk melihat langsung kondisi terakhir di sana. Sebagian tentara bergeser di sebelah warga, ikut menyimak wawancara. ”Kabarnya sering terjadi penyiksaan terhadap warga yang diinterogasi,” tanya wartawan kepada seorang warga.
Orang yang ditanya, Abdul, 50 tahun, pedagang pakaian muslim, cepat menggeleng. ”Tidak ada itu, tidak ada.” Kolonel Songwit, yang menjadi penerjemah pertanyaan pers dalam bahasa Inggris, ikut menggeleng.
Songwit, yang untuk kedua kalinya menjalani penugasan di Narathiwat penugasan pertamanya beberapa saat setelah tragedi Tak Bai melempar pertanyaan ini kepada sang komandan, Mayor Jenderal Paiboon Koomchaya.
Paiboon pun membantah. Menurut dia, tindakan penyiksaan memang pernah sekali terjadi terhadap seorang ustad yang dicurigai terlibat gerakan separatis tiga-empat tahun lalu. Namun para pelakunya sudah diperiksa dan menjalani persidangan di pengadilan sipil. Hanya ia mengakui bahwa belum ada keputusan atas tentara yang melanggar hak asasi manusia ini. ”Prosesnya masih berlangsung.”
Sumber Tempo bercerita, salah satu peristiwa penyiksaan yang melekat di benak warga adalah ketika Wan Mahadee, dokter yang belakangan menjadi anggota parlemen setempat, ditahan beberapa waktu lalu. Ia lalu mendokumentasikan penyiksaan yang dialaminya dalam bentuk testimoni. Saat Tempo mendatangi kedai obat miliknya yang terletak persis di seberang masjid, seorang penjaga mengatakan Wan Mahadee tidak ada. ”Sedang pergi ke Jakarta.”
NARATHIWAT adalah satu dari tiga provinsi berpenduduk mayoritas muslim di bagian selatan Thailand yang bergolak sejak 2004. Dua provinsi lainnya adalah Pattani dan Yala. Narathiwat berbatasan langsung dengan Malaysia. Ketiga daerah ini dulunya berada di bawah Kerajaan Pattani yang merdeka. Namun pada 1800-an Kerajaan Thailand menaklukkan kerajaan ini, yang kemudian hari dibagi menjadi tiga daerah pemerintahan setingkat provinsi. Jumlah penduduk mencapai sekitar dua juta orang, 80 persennya muslim.
Dalam perjalanannya, kesejahteraan penduduk di tiga provinsi ini tertinggal dibanding provinsi lainnya. Menurut data dari departemen hubungan publik Kantor Perdana Menteri, tingkat pengangguran di kalangan pemuda berusia 20-24 tahun tercatat lebih tinggi dibanding provinsi lainnya.
Faktor inilah yang diyakini pemerintah mendorong kaum muda untuk ikut bergabung dengan gerakan separatis. Wacana untuk kembali merdeka bergulir cepat di tengah masyarakat. Upaya perlawanan terjadi semakin intens. Gerakan ini semakin mendapat simpati dari masyarakat setempat, terutama kalangan muda yang mengalami kesulitan ekonomi.
Pada Januari 2004, polisi menangkap enam orang milisi pemerintah di Tak Bai, Narathiwat, dengan tuduhan menjual senjata mereka kepada kelompok perlawanan. Masyarakat yang mendengar ini lalu menggelar unjuk rasa meminta pembebasan rekan-rekannya. Namun unjuk rasa ini berujung tragedi berdarah. Sekitar 90 orang meninggal.
Delapan puluh orang tewas akibat kesulitan bernapas saat dibawa dengan truk ke sebuah markas militer untuk ditahan. Tangan mereka diikat, direbahkan, dan ditumpuk dalam truk-truk yang membawa mereka dalam perjalanan dua-tiga jam. Pemerintah pusat lalu memberlakukan status ke adaan darurat di ketiga provinsi. Menurut Bangkok Post, pertempuran antara pasukan pemerintah dan kelompok ge rilyawan telah menelan korban jiwa sekitar 4.000 orang.
Dua tahun lalu, pemerintah meng ubah kebijakan di Thailand Selatan dengan mengedepankan pendekatan kemanusiaan. Letnan Jenderal Picha te Wisaijorn, Komandan Pasukan Keempat yang membawahkan ketiga provinsi, mendirikan klinik pengobatan gratis untuk masyarakat di Kamp Sirindhorn di Pattani. Masyarakat yang mengalami sakit gigi dan penyakit ringan lainnya bisa datang berobat ke gedung yang dibangun di dalam kompleks militer.
”Kalau sakit giginya sudah sembuh, jadi terlihat kembali muda,” kata dia kepada rombongan wartawan dari negeri-negeri berpenduduk mayoritas muslim yang diundang Kantor Perdana Menteri. Ia meminta wartawan bertanya secara langsung bagaimana sikap masyarakat terhadap tentara.
Usman, 35 tahun, datang bersama istri dan putrinya yang masih berusia satu tahun, berboncengan motor untuk mengobati giginya yang ngilu. Pria yang sehari-hari berjualan pakaian ini duduk di deretan depan. ”Sakit gigi,” kata dia.
Menurut Usman, kondisi keamanan berjalan biasa. Ledakan bom dan pe nembakan senjata biasanya terjadi di pinggiran kota, yang berbatasan langsung dengan hutan berbukit. Namun ia lebih banyak tersenyum dan menjawab singkat saat Tempo mencoba menanyakan lebih jauh kondisi sebenarnya dilapangan.
Sejumlah tentara terlihat mengambil gambar dan memegang kamera, merekam dari jarak empat-lima meter setiap pembicaraan wartawan dengan masyarakat. Beberapa warga lainnya malah hanya tersenyum dan enggan menjawab ketika ditanyai pers.
Tepat di seberang markas, Pichate membangun pusat pelatihan Kemandirian Ekonomi. Masyarakat dilatih beternak, bercocok tanam, memelihara ikan lele, dengan instruktur tentara. Sebagian masyarakat juga dilatih menjadi instruktur untuk membuka pela tihan serupa di desa mereka masing-masing. ”Ini agar masyarakat bisa memperoleh tambahan pendapatan,” kata dia.
Sejak dibuka dua tahun lalu, menurut dia, jumlah masyarakat yang memperoleh manfaat dari pelatihan di sini mencapai seratus ribu orang. Saat Tempo tiba di lokasi pada Selasa siang pekan lalu, tak seorang warga pun terlihat sedang berlatih cocok tanam. ”Ramainya kalau pagi saja,” kata Pichate singkat.
Pichate mengaku optimistis pende katan kemanusiaan lebih efektif dibanding pendekatan militer. Menurut dia, sejak dua tahun lalu ia menjadi komandan pasukan dan mencoba melakukan pendekatan ini, sudah seribu orang lebih anggota kelompok separatis yang kembali ke masyarakat. ”Sekarang jumlah mereka di hutan tinggal 8.000 orang.”
Tempo juga mengunjungi Attarkiah Islamiah Institute, sebuah sekolah tingkat pertama dan atas yang mendapat subsidi dari pemerintah di Narathiwat. Selain mengajarkan pelajaran agama, sekolah ini memiliki kurikulum ilmu pengetahuan dan bahasa. Najib Yahya, kepala sekolah, menjelaskan bahwa pemerintah memberikan perhatian terhadap pendidikan warga. ”Anggota kerajaan juga pernah datang memberikan bantuan finansial,” kata dia selama wawancara yang dimoderatori langsung oleh seorang tentara.
Distrik Narathiwat mulai menggeliat pada pukul lima pagi. Masyarakat menyapu halaman depan rumah dan membuka tokonya. Penjagaan militer bersenjata dan milisi berseragam loreng muda masih terlihat di sepanjang jalan, terutama di persimpangan.
Di salah satu sudut Pasar Bang Nak, empat orang tentara terlihat siaga dengan senjata di tangan. Dua orang lainnya memasuki pasar tradisional yang buka hingga pukul dua belas ini dan mencari sarapan pagi. Saat salah satunya memesan, temannya terlihat siaga dengan mengedarkan tatapan tajam ke sekitarnya.
Menurut Jamal, bukan nama sebenarnya, pemerintah Thailand memiliki perhatian yang memadai terhadap masyarakat. ”Misalnya wajib belajar gratis,” kata ayah tiga anak ini. Namun untuk hal yang bersifat kebutuhan khusus masyarakat muslim masih kurang.
Senator dari Bangkok, Imron Malu leem, mengatakan pemerintah Thailand perlu lebih membuka diri terhadap aspirasi masyarakat muslim. Ia mencontohkan sulitnya membuka bank syariah, yang baru terlaksana beberapa tahun lalu. Ia juga mengeluhkan buruknya birokrasi di ketiga provinsi yang sedang bergolak. ”Birokrat yang dikirim dari pusat kurang berkualitas,” kata dia.
Menurut Imron, yang juga menge tuai sebuah yayasan Islam, pemerintah sudah memutuskan untuk mengubah po la pendekatan dari militeristik menjadi negosiasi. Maka ia meminta jumlah anggota pasukan militer dikurangi agar masyarakat tidak merasa tertekan. ”Saat ini jumlahnya terlalu banyak,” kata dia. Menurut Jenderal Pichate, jumlah anggota pasukan saat ini mencapai 30 ribu tentara yang tersebar di tiga provinsi. Ia justru mempertanyakan jika jumlah ini dianggap terlalu banyak.
Pada Senin pekan lalu, status darurat kembali diperpanjang selama tiga bulan untuk ketiga provinsi. Sebuah bom yang meledak di sebuah persimpangan Sungai Kolok, Narathiwat, menjadi jawaban gerilyawan muslim. Entah sampai kapan kawasan indah di Thailand Selatan itu akan terus bergolak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo