Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Komposisi In Pelog meng alun lembut. Lantunan gender, demung, dan gong yang ditabuh perlahan Kumpulan Pengrawit Heboh 10 asal California, Amerika Serikat, itu membuai ratusan penonton yang duduk takzim di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta, Jumat malam pekan lalu. Sekitar 25 menit mereka memainkan cycling dan phasing, peng ulangan melodi terus-menerus hingga menghasilkan kesan resonansi bertempo lambat, cepat, lalu melambat lagi.
In Pelog, komposisi karya Alex Dea yang menggunakan laras (tangga nada) pelog dalam instrumen gamelan sederhana, adalah salah satu suguhan dalam perhelatan Yogyakarta Gamelan Festival ke-15, pada 16-18 Juli lalu. Alex mengakhiri In Pelog, yang sangat sederhana dan tanpa variasi, dengan bu nyi satu dentuman lembut gong yang di tabuhnya.
Pertunjukan Alex dan Kumpulan Pengrawit Heboh malam itu merupakan penampilan yang ke-10 kalinya dalam festival tersebut. ”Ini performance In Pelog yang terakhir,” kata Alex, yang mengenakan blangkon dan kaus oblong hitam bertulisan ”KPH10”.
Boleh dibilang, Alex dan KPH lang ganan festival gamelan kontemporer tahunan itu. Digagas seniman gamelan Sapto Rahardjo, Yogyakarta Gamelan Festival pertama kali digelar pada 1995. Ide festival ini berangkat dari prinsip yang dipegang Sapto, gamelan bukan benda pusaka sehingga harus disimpan di museum.
Di mata Sapto, gamelan itu hidup. Meski diciptakan berabad-abad silam, dia mampu hidup selaras dengan zaman. Dari situlah Sapto bersama Komunitas Gayam 16 mewujudkan festival gamelan yang tak hanya menampilkan musik tradisi, tapi kontemporer. Tak hanya gong, kenong, kempul, tapi juga gitar, bas, dan drum.
Pelakon bule pun tak haram ikut serta sejak festival digelar 15 tahun silam, baik tampil sendiri, maupun berkolaborasi. Simak penampilan kolaborasi komunitas gamelan Universitas Pendidikan Bandung, Kyai Fatahillah, dengan komunitas gamelan dari Belanda, Ensemble Gending. Penampilan mereka, yang didukung 24 pengrawit, cukup meriah.
Kyai Fatahillah besutan komponis Iwan Gunawan mengandalkan instrumen gamelan untuk menggelorakan irama khas Sunda. Itu terdengar jelas dari petikan kecapi, juga cengkok satu orang pesindennya yang bergaya Sunda. Tak ada syair yang dilantunkan pesinden, hanya suara yang dibuat ber dengung. Meski demikian, Kyai Fatahillah adalah kelompok gamelan yang mengusung warna musik kontemporer dengan instrumen gamelan klasik sebagai pengiringnya.
Ensemble Gending juga tampil berge lora. Semangat muda-mudi Belanda terlihat dari kendang yang dipukul dengan stik, bukan tangan. Tak kalah mahir gesekan rebab yang menimbulkan bunyi mirip derit pintu tua. Begitupun ketika para pengrawit berambut pirang itu bergantian posisi untuk memainkan alat gamelan klasik yang berbeda, seperti saron, slenthem, gong, bonang, kenong, gambang, juga peking yang menunjukkan mereka piawai. Keunikan yang menonjol, melodi yang mengalun itu mereka lantunkan atas aba-aba konduktor Jurrien Sligter.
”Harus diingat, orang Barat memainkan instrumen musik dengan mata dan telinga, jadi butuh pemimpin secara formal yang menggerakkan,” kata HRD Manager Yogyakarta Gamelan Festival Setyanto Prajoko atau akrab disapa Joko S.P. Ini berbeda dengan orang Jawa, yang memainkan instrumen musik dengan telinga dan rasa.
Seniman dan pengamat gamelan Djaduk Ferianto menilai performance Ensemble Gending menjadikan gamelan sekadar sumber bunyi. ”Jadi harmoni yang ditampilkan tetap harmoni Barat, tidak bisa memaksakan mereka menjadi orang Jawa dengan harmoni musik Jawa,” ujar Djaduk.
Selain Ensemble Gen ding, peserta mancanega ra yang cukup menarik adalah OrkeStar Trio with Ramu Thiruyanam dari Singapura. Di atas pentas, tak satu pun alat musik yang dimainkan OrkeStar Trio menunjukkan sebagai instrumen gamelan. Menurut Joko S.P., justru itu bagian dari warna festival. ”Merunut dan mengutip kata-kata almarhum Sapto Rahardjo, gamelan bukan sekadar materi kebendaan, melainkan juga spiritnya, salah satunya kebersama an,” katanya.
Meski menarik, Djaduk dan Joko S.P. mengakui peserta tak banyak berbeda dengan festival sebelumnya. Masih terjadi pengulangan. Beberapa peserta festival yang tampil adalah peserta lama, seperti Alex Dea dengan KPH, Kyai Fatahillah, Ensemble Gending, Rene Lys loff, Sumunar Gamelan & Ensemble, pun Kyai Kanjeng. Hanya beberapa yang baru, seperti Andrawina dari Yogyakarta atau Jendela Ide dari Bandung.
Yang justru baru dalam festival kali ini adalah besarnya animo anak-anak muda untuk menonton. Menurut Joko S.P., dulu sempat ada gap antara generasi muda dan tua mengenai pandangan terhadap gamelan.”Tapi sekarang bisa bergandengan tangan, salah satunya lewat media festival ini,” ujarnya.
Menurut Djaduk, besarnya animo anak muda justru merupakan buah investasi Sapto Rahardjo yang dilanjutkan para penerusnya melalui festival. ”Sapto bereksperimen dengan Gamelan Gaul untuk mendekatkan gamelan dengan anak-anak muda, seperti di SMA,” ujar Djaduk.
Hanya, Djaduk mengingatkan, penonton yang datang belum tentu mempunyai visi tertentu untuk memahami gamelan, melainkan sekadar datang karena teman, datang karena panitia, atau datang karena gratis hingga memenuhi gedung. ”Sehingga perlu ada ide besar tertentu yang mereka usung agar orang datang dengan misi dan pulang dengan membawa perenungan. Sebagaimana gagasan Sapto dengan gamelan gaulnya,” katanya. ”Bisa meneruskan, bisa membuat yang baru.”
Pito Agustin Rudiana (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo