Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Qaris Tajudin
Dalam sejumlah kesempatan memberikan pelatihan menulis di sekolah dan kampus, ada satu hal yang selalu menjadi ganjalan. Para siswa dan mahasiswa itu selalu punya kendala dalam mengungkapkan apa yang mereka pikirkan atau rasakan. Walhasil, sebelum bicara tentang teknik menulis dan pernak-perniknya (termasuk membenarkan kesalahan eja yang parah), saya harus menghabiskan setengah waktu untuk memotivasi mereka mengungkapkan sesuatu dengan cara beragam.
Mereka adalah siswa pandai, bahkan beberapa di antaranya siswa berprestasi dari sekolah unggulan. Otak mereka berisi. Hanya, mereka seperti botol saus yang segelnya baru dibuka: penuh isinya, tapi susah sekali dikeluarkan. Macet. Ketika dipaksa, daya ungkap mereka miskin, kaku, dan kadang rumit. Anehnya, untuk mahasiswa, kerumitan itu seakan dianggap sebagai simbol intelektuali tas. Semakin susah dimengerti, semakin intelek.
Semula saya menganggap kegagapan mereka karena para siswa jarang menulis. Mungkin mereka perlu sedikit latihan agar daya ungkap mereka menjadi lancar. Tapi anggapan ini ternyata salah. Saat diminta mengungkapkan sesuatu secara lisan, mereka juga gagap.
Hal ini sebenarnya sudah lama saya curigai. Setiap menonton liputan konser musik pop di televisi, para penonton remaja selalu mempunyai jawaban yang seragam.Ketika dita nya bagaimana konsernya, mereka menjawab: ”Keren banget,” ”Bagus banget.” Saya tidak mempermasalahkan kata-kata keren dan banget,tapi soal adjektiva yang dipakai. Selain itu-itu saja, mereka ternyata amat jarang bisa menjelaskan apa bagusnya, apa keren-nya. Mendeskripsikan sesuatu tampaknya lebih sulit daripada soal ujian akhir nasional.
Penyakit ini kemudian dibawa hingga tua. Mulai dosen, pengacara, peneliti, sampai polisi dan pejabat selalu kesulitan menerangkan sesuatu. Jangankan memudahkan sesuatu yang rumit, menerangkan hal sederhana saja harus berputar-putar tak keruan. Saat saya meminta selebritas mendeskripsikan diri sendiri untuk melengkapi tulisan profil mereka, mereka selalu memulai jawabannya dengan: ”Hem... apa ya?” Lalu jeda lama dan diakhiri dengan jawaban yang klise. Lebih dari separuh mereka akan berkata, ”Saya itu orangnya mengalir seperti air.” Membosankan.
Bahasa dicipta kan untuk mengungkapkan apa yang kita pikir dan rasa. Tapi kenyataan di atas menunjukkan bahwa ada kegagalan berbahasa di banyak kalangan. Saya kemudian bertanya-tanya, apa yang terjadi dengan pelajaran bahasa Indonesia? Kenapa teori-teori yang pelik itu tidak mampu membuat mereka lebih mudah menggunakan bahasa ini? Kalau mau menyalahkan pendidikan bahasa di sekolah, gampang saja. Selain itu, soal itu sudah berkali-kali dibahas di kolom ini.Jarangnya pelajaran membaca karya sastra dan praktek mengarang memang masalah utama dalam hal ini. Tapi, selain itu, ada soal lain.
Tampaknya, bahasa Indonesia bagi suku selain Melayu belum benar-benar menjadi bahasa ibu. Tentu saja, bisa dikatakan semua orang Indonesia kini bisa berbahasa Indonesia dengan lancar. Tapi itu sangat terbatas. Daya ungkap itu kaku dan miskin gaya. Tidak luwes. Hal ini berbeda dengan saat orang-orang Melayu bicara.Mereka lebih fasih dan luwes. Mengobrol dengan mereka, kita akan menemukan banyak daya ungkap, amsal, dan peribahasa yang keluar bertaburan.
Padahal, ketika memakai bahasa daerah, mereka tak kesulitan memasukkan pepatah atau amsal dalam perbincangan sehari-hari. Misalnya, saat menunggu sesuatu yang mustahil terjadi, orang Jawa Timur dengan santai berkata: ”Ngenteni linggis kambang,” atau menunggu linggis mengambang. Seperti menunggu Godot. Atau, orang Madura biasa berkata, ”Poteh tolang ango poteh mata,” lebih baik berputih tulang daripada berputih mata. Lebih baik mati daripada menanggung malu.
Kekakuan kita berbahasa Indonesia tidak hanya terjadi dalam bahasa cakap yang informal, tapi juga dalam bahasa tulis. Coba perhatikan koran dan majalah kita. Hampir semua ungkapan ditulis dengan kalimat yang langsung pada inti permasalahan. Amsal dan peribahasa adalah barang langka. Kalaupun ada, pasti dijelaskan maksudnya. Bisa dibilang, gaya berbahasa kita adalah gaya yang minimalis. Sayang, keminimalisan ini bukan karena pilihan (ingin lebih efisien), melainkan karena keterpaksaan dan kemalasan berpikir.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo