Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Bermain Selaras ala Sardana

Barcelona menjuarai Liga Champions bermodal permainan indah dan harmonis. Memadukan falsafah Belanda dengan tarian tradisi Catalonia.

6 Juni 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di bawah komando stopper Gerard Pique, para pemain Barcelona bergandengan membentuk lingkaran, mengentak-entakkan kaki, mengayun-ayunkan tangan dalam tempo sedang. Itulah tarian sardana yang dipamerkan Carles Puyol dan kawan-kawan di Stadion Wembley, Sabtu dua pekan lalu, setelah mengempaskan Manchester United, 3-1, pada final Liga Champions.

Tarian sederhana setelah tampil menawan. Barcelona menguasai 68 persen waktu permainan dan membuat para pemain MU tampak bodoh. ”Sebelumnya, tak satu pun kesebelasan bisa membuat kami kalah pamor seperti itu,” ujar Alex Ferguson, pelatih yang meraih belasan gelar juara selama seperempat abad bersama MU.

”Barcelona telah menunjukkan bagaimana sepak bola harus dimainkan di masa depan,” tutur bintang Argentina 1970-an, Osvaldo Ardiles, memuji. Menguasai bola selama mungkin, melakukan banyak operan pendek, menyerang bersama, bertahan bersama, langsung menekan bila kehilangan bola, dan tanpa penyerang murni. Itulah ciri Barcelona hasil racikan Josep ”Pep” Guardiola, 40 tahun, mantan kapten tim yang sejak tiga tahun lalu menjadi pelatih utama.

Merujuk pada ucapan Ardiles, Guardiola sukses membakukan standar baru sepak bola yang baik dan benar. Kesimpulan ini memang masih bisa diperdebatkan. Sebab, setiap zaman memiliki kesebelasan legendaris, baik karena kehebatan dalam mengoleksi trofi maupun gaya permainan. Satu yang pasti, racikan pria 40 tahun itu menghasilkan tim superior dalam penguasaan bola dan jumlah operan. Meski Barcelona merupakan pengalaman pertama Guardiola mengasuh klub sepak bola, resepnya langsung tokcer. Dua tahun lalu, dia juga membawa timnya mengalahkan MU pada final kompetisi yang sama.

Menurut lembaga pencatat data statistik olahraga Opta, sebelum Guardiola datang, rata-rata penguasaan bola Barcelona di Liga Champions 2006/2007 sebesar 61,1 persen. Musim ini angka rata-rata itu menjadi 73,3 persen, jauh meninggalkan Bayern Muenchen di tempat kedua dengan 62,3 persen. Adapun di Liga Spanyol, yang juga mereka juarai, rata-rata penguasaan bola El Barca mencapai 73,4 persen, dibuntuti Valencia dengan 57 persen.

Pada partai final, pemain Barcelona membuat 777 kali operan, sedangkan MU cuma 357 kali. Sang jenderal lapangan tengah, Xavi Hernandez, melakukan 148 kali operan, lebih banyak daripada gabungan operan keempat gelandang MU. Intensitas operan El Barca membuat pemain MU bingung dan saat itulah Pedro Rodriguez, Lionel Messi, serta David Villa mencetak gol. Satu-satunya gol MU lahir dari kaki Wayne Rooney lewat serangan balik.

Guardiola tak jumawa. ”Kami bukan tim terbaik. Masih ada generasi lebih awal, dan mereka lebih baik, The Dream Team,” katanya menunjuk tim Barcelona awal 1990-an, yang juga ia perkuat. Soal otak permainan indah Barcelona, mantan gelandang tengah ini menyebut satu nama: ”Johan Cruyff, si Flying Dutchman sejati. Dia mewariskan etos permainan kolektif tanpa bintang.”

Cruyff, yang kini berusia 64 tahun, masuk Barcelona pertama kali dengan status pemain pada 1973 setelah sukses tiga kali berturut-turut membawa Ajax Amsterdam menjuarai Liga Champions. Cruyff mengikuti langkah sang mentor, pelatih Rinus Michels. 

Michels adalah otak di belakang layar lahirnya total football yang revolusioner pada zamannya. Cruyff menerjemahkannya di lapangan. Mereka membuat Ajax dan tim nasional Belanda bermain seperti tanpa pola: setiap penyerang adalah pemain bertahan, setiap pemain bertahan adalah penyerang, setiap orang bisa bertukar-tukar posisi dengan cepat. Gaya main total football bak hantu The Flying Dutchman. Menurut penulis Inggris, David Winner, total football adalah pengejewantahan insting dasar orang Belanda memaksimalkan tanah sempit yang mereka punya.

Sebagai pemain, Cruyff memberi warna baru bagi Barcelona, warna sepak bola Belanda. Ciri itu kian kental saat sang maestro kembali dengan status pelatih pada 1988-1996. Sebelas gelar juara di berbagai kompetisi, termasuk juara Liga Champions untuk pertama kali pada 1991/1992, menabalkannya sebagai pelatih tersukses El Barca. 

Sumbangan terbesar ia torehkan di La Masia, akademi sepak bola Barcelona, yang aktif sejak 1979. Cruyff menyusun kurikulum dengan menekankan pelajaran taktik pada usia dini, bukan penguatan fisik seperti lazimnya diterapkan di sekolah sepak bola lain. Guardiola termasuk generasi awal lulusan La Masia. Saat menundukkan MU, tujuh pemain starter adalah alumnus cantera ini.

Pertama kali menginjakkan kaki di Barcelona, Cruyff langsung cinta pada kultur Catalonia, wilayah di sebelah timur laut Spanyol. Anaknya ia namai Jordi, seperti santo pelindung Catalonia. Hari tua sekarang lebih banyak ia habiskan di Kota Barcelona.

Dan sardana memiliki arti khusus bagi Cruyff. ”Tarian ini sangat mempengaruhi saya,” katanya seperti dikutip dalam buku Futbol I Sentiment. ”Saya lantas menerapkannya dalam latihan tim saya. Itulah fondasi sukses kami di lapangan. Tak perlu pemain fantastis dan sensasional. Yang utama adalah harmonisasi hebat.”

Sardana, tarian khas Catalonia, bukanlah samba Brasil yang glamor dan individualistis. Bukan pula tango Argentina yang mengentak dan dilakukan berpasangan. Sardana adalah tari sederhana yang dilakukan beramai-ramai. Dari sardana, Cruyff meng-catalonia-kan total football Belanda.

Pada 1950-an, pusat permainan Barcelona adalah bintang bernama Laszlo Kubala. Awal 1980-an, Diego Maradona menjadi inti permainan. ”Saat itu pelatih memberi instruksi, kami selalu memberikan bola kepada Maradona,” kata mantan pemain Periko Alonso. Pola ini tak ada lagi sejak Cruyff datang. Guardiola pun tak menyuruh para pemainnya menjadikan sang superstar, Messi, sebagai pusat permainan.

Di La Masia, tradisi itu diwariskan. Barcelona menganggarkan 15 juta euro (sekitar Rp 184 miliar) per tahun—tiga kali lipat dari jumlah yang dikeluarkan MU untuk hal yang sama—untuk perburuan bakat terbaik di seluruh dunia. Mereka dididik ala Barcelona. ”Pelajaran lari hanya untuk para pengecut,” kata mantan pelatih Charly Rexach. Kurikulum utama adalah rondo, berani menguasai bola.

Yang unik, pengajar di sana lebih menyukai pemain pendek dan mungil. ”Bila saya harus memilih di antara dua pemain dengan kemampuan teknik sama, saya pilih pemain yang lebih pendek karena dia bakal berlatih lebih keras daripada yang tinggi,” kata Direktur La Masia Carles Folguera.

Tak mengherankan bila tinggi rata-rata Xavi, Andres Iniesta, Messi, dan Pedro—kuartet penyerang lulusan La Masia—hanya 167,5 sentimeter. Lewat kalkulasi terhadap klub-klub papan atas di 36 liga negara tahun ini, The Professional Football Players Observatory menemukan bukti tinggi rata-rata pemain Barcelona paling pendek. Tiki-taka, permainan tiktak dari kaki ke kaki, menutup kekurangan tinggi badan mereka. 

Dua dasawarsa sejak era awal kepelatihan Cruyff, Guardiola meneruskan tradisi indah itu, juga mempertajamnya. ”Guardiola mengembangkan falsafahnya sendiri. Dia membuat Barcelona lebih menekan saat kehilangan bola,” kata Ferguson, yang timnya pernah mengalahkan Barcelona ketika dilatih Cruyff pada final Piala Winners 1990/1991.

Di Wembley, El Barca berselebrasi menarikan sardana untuk menandai trofi kesepuluh bagi Guardiola dalam tiga musim kepelatihannya. Sepertinya tarian Catalonia itu masih akan kerap mereka lenggokkan beberapa musim ke depan.

Andy Marhaendra (Irish Time, Guardian, AFP) 


FUTBOL CLUB BARCELONA

  • Berdiri: 29 November 1899
  • Julukan: L’equip Blaugrana, La Azulgranas
  • Stadion: Camp Nou (99 ribu tempat duduk)
  • Presiden: Sandro Rosell
  • Pelatih: Pep Guardiola

    Gelar Juara

  • Liga Spanyol: 21 kali
  • Piala Raja: 25 kali
  • Piala Liga : 2 kali
  • Piala Super Spanyol: 9 kali
  • Liga Champions: 4 kali
  • Piala Winners: 4 kali
  • Piala Super Eropa: 3 kali
  • Piala Dunia Antarklub: 1 kali
  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus