Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Asap tipis menyeruak dari pintu dan sela jendela Museum Kereta Api Ambarawa, Jawa Tengah, sebelum hilang tertiup angin. Aroma tembakau tercium sampai ke luar ruangan. Sumbernya adalah pipa-pipa atau cangklong yang tengah diisap puluhan orang sambil berbincang. Pada meja-meja kayu tertata pipa-pipa kosong dan aneka tembakau.
Ahad pagi dua pekan lalu, para cangklonger—sebutan pengisap cangklong—menggelar pertemuan di Ambarawa. Selain dari Ambarawa dan sekitarnya, ada peserta dari daerah lain, seperti Semarang, Jakarta, Tangerang, Jambi, dan Yogyakarta. Mereka tergabung dalam Pipe and Tobaccos Club, salah satu komunitas cangklong yang aktif.
Acara di Ambarawa itu adalah jumpa darat pertama yang digelar para penikmat pipa yang bergabung dalam jejaring sosial Facebook di bawah akun Pipe and Tobaccos Club (Indonesian), dengan jumlah anggota 177 orang. Acara inti pertemuan itu adalah nyabar alias nyangklong bareng.
Agar lebih berasa berada di zaman baheula, para penggemar pipa itu bersama-sama menikmati rasa tembakau dalam satu gerbong khusus kereta wisata kuno jalur Ambarawa menuju Stasiun Tuntang. Sambil menunggu kereta, prosesi nyabar pun dimulai dengan meracik tembakau. Sedikit-sedikit serpihan daunnya dimasukkan ke bowl—tempat tembakau di ujung pipa—sambil ditekan-tekan dengan tamper kit.
Setelah racikan tertata padat, api dipercikkan ke tembakau, lalu mereka mulai mengisap cangklongnya pelan-pelan. ”Mantap, tak kalah dengan yang impor,” kata Iwan Prasetyo, salah satu cangklonger, mengomentari racikan tembakau Temanggung dan Boyolali yang sedang dinikmati. Asap yang menyerbu masuk ke rongga mulut itu pun dikunyah-kunyah sebelum diembuskan melalui hidung.
Nyabar berlangsung hampir setengah hari. Acara serupa masih akan berlanjut sekaligus halalbihalal pada Lebaran nanti. ”Tempat dan teknisnya kita diskusikan melalui Facebook,” kata Sasongko Sigid, penikmat pipa asal Tangerang yang menjadi sesepuh komunitas. Pensiunan pegawai kementerian yang dipanggil ”Pakde Sas” itu dianggap mumpuni soal cangklong dan menjadi rujukan generasi yang lebih muda.
Komunitas cangklong yang terjalin melalui jejaring sosial baru berusia tiga bulan. Namun, sebelumnya, komunitas serupa sudah terbentuk di Jakarta, bernama Wajendra Tobaccos Club. Pembentukan komunitas-komunitas ini punya misi mempromosikan tembakau asli Indonesia dan mengajak orang menggemari cangklong Indonesia.
Menurut Sasongko, komunitas ini juga kembali mempopulerkan kegiatan nyangklong, yang sempat redup karena anggapan kurang tepat: hobi mahal dan hanya dinikmati orang tua. ”Ngawur total. Nyangklong itu hanya cara lain menikmati tembakau,” kata Patrik Budi Wikanta, cangklonger Ambarawa. ”Tua-muda, kaya-miskin, bebas nyangklong.” Anak muda penikmat pipa banyak. Acara di Ambarawa, misalnya, didominasi peserta berusia 30-an tahun.
Hendromasto Prasetyo, 30 tahun, penulis yang tinggal di Jakarta, contohnya. Dia cangklonger pemula yang langsung keranjingan pipa, sampai mendapat tambahan sebutan spesial dari sang istri, yaitu ”orang gila”. Hendro menerima dengan senang hati, malah cenderung bangga. ”Memang gila, ini benar-benar asyik,” ujarnya.
Sejak gemar nyangklong, Hendro punya kesibukan baru yang kadang mengalahkan bagian tugasnya di rumah. Dia menjadi keranjingan berburu macam-macam cangklong dan bereksperimen meracik tembakau demi mendapatkan aneka rasa. ”Ini petualangan rasa,” katanya. Untuk itu, misalnya, dia pernah menyemprot tembakau dengan ciu, sejenis minuman beralkohol lokal, atau mencampurnya dengan ampas buah nanas sebagai perasa—sebelum dikeringkan dan disesap dengan cangklong.
Hendro gemar mengisap pipa sejak setengah tahun lalu. Niat awalnya adalah mengurangi rokok. ”Coba berhenti merokok gagal terus,” kata lelaki yang sebelumnya bisa menghabiskan dua bungkus rokok sehari itu. Setelah belajar dari komunitasnya, dia mulai intensif nyangklong, hingga kini, dan lumayan berhasil mengerem rokok. ”Sekarang sebungkus rokok bisa untuk tiga hari,” ujarnya.
Semula Hendro malu karena pipa dianggap identik dengan gaya opa-opa. Sekarang dia malah sengaja bergaya dengan cangklongnya. ”Kalau di kafe, pasti dilirik orang. Kan, gaya seperti Sherlock Holmes,” katanya.
Hendro juga rajin memantau diskusi komunitas di ruang maya agar tak ketinggalan perkembangan, dari soal peranti cangklong, pilihan tembakau, jadwal nyabar, hingga yang paling utama: teknik nyangklong. ”Semuanya belajar. Yang lebih tahu membagi ilmunya,” ujar Sasongko.
Mengisap cangklong memang tidak boleh sembarangan. Kenikmatan tembakau tak tergapai jika dilakukan asal-asalan, bahkan salah-salah bisa berbahaya. Untuk itu orang harus tahu cara mengepak tembakau dengan tepat ke dalam bowl cangklong, juga teknik mengisap yang pas. Berbeda dengan merokok, yang asapnya merasuk sampai paru, nyangklong cukup menyedot asap sampai mulut, mirip mengisap cerutu. ”Keluarkan lewat hidung pelan-pelan atau kumur-kumur,” kata Sasongko.
Dengan makin banyaknya pengisap pipa, nyangklong bersama makin mengasyikkan. Di Jakarta, kawasan Kota Tua kerap menjadi lokasi nyabar. Selain suasananya pas, peserta tak perlu membayar mahal. ”Lesehan, modal bir saja, nyangklong pun jadi sempurna,” ujar Hendro. Jika sedang banyak uang, sesekali nyabar di kafe mahal.
Kawasan Kota Tua juga dekat dengan lokasi penjualan tembakau di Glodok, Pancoran, Jakarta Barat. ”Ketemu sesama pembeli tembakau, langsung kongko di depan Museum Fatahillah,” kata Arief Hidayat, 30 tahun, pegawai swasta di Jakarta.
Sebelumnya, Arief nyangklong sendiri di rumah, rata-rata delapan kali sehari. Awalnya, ia kesengsem cangklong setelah diajari pamannya. ”Sekarang bisa dibilang tak pernah merokok, sudah terpuaskan,” ujarnya. Setelah maraknya media sosial, Arief tahu dia tak sendiri.
Menariknya, alasan kelompok muda menjadi penikmat pipa adalah mencari alternatif rokok. Hendri Marsa Putra, 35 tahun, sebelumnya menghabiskan dua-tiga bungkus rokok sehari. Setelah dia ”berselingkuh” dengan pipa, ”Rokok terasa hambar,” kata teknisi jaringan di sebuah perusahaan telekomunikasi di Jakarta itu.
Sebelum bergaul dengan cangklong, Hendri sempat merokok tembakau tingwe (nglinting dewe)—alias melinting sendiri tembakau pilihan sesuai dengan selera. Masih belum puas, dia pindah ke cerutu. ”Akhirnya ketemu informasi tentang cangklong via Internet,” ujarnya. Hendri membeli pipa cangklong pertama secara online di German Pipe Shop dengan harga sekitar Rp 330 ribu. Setelah setahun dia nyangklong, koleksi pipanya menjadi 12 batang, lokal dan impor, dari harga Rp 100 ribu sampai Rp 2 jutaan.
Seakan ingin berbagi sensasi, para cangklonger muda rajin berkampanye tentang nikmatnya nyangklong. Untuk itu, ke mana pun pergi, Hendro menenteng beberapa pipa cangklongnya beserta tembakau aneka rasa. Begitu ada forum, semua koleksi itu digelar. ”Penikmat tembakau sejati pasti tertarik,” katanya.
Kalau tidak mencoba terus dan meresapinya, cangklonger pemula bisa jera. Sebab, umumnya nyangklong pertama bisa mengakibatkan lidah terbakar (tongue bite)—terasa pedas dan perih. Maklum, nikotin dan tar dari asap cangklong lebih terasa, berbeda dengan rokok. Untuk menghilangkannya, cukup mengoleskan madu di lidah atau berkumur dengan minuman soda.
Hambatan lain nyangklong adalah kurang praktis, karena harus mengepak tembakau. Belum lagi bara tembakau sering mati. ”Itulah seninya nyangklong. Prosesnya jadi kenikmatan tersendiri,” kata Rafael Bryan, 24 tahun, yang baru nyangklong tiga bulan.
Harun Mahbub, Sohirin (Semarang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo