KAMERUN, maju terus, Kamerun. Teriakan itu tak hanya ada di jalan-jalan Yaounde ibu kota Kamerun tetapi juga terdengar di berbagai kota di Afrika. Bahkan di Rio De Janeiro, ibu kota Brasil, pekikan "hidup Kamerun" terdengar lantang dari pecandu bola sambil membanting bendera Brasil -- lantaran Brasil kalah dari Argentina. Getar sepak bola Piala Dunia membuat nama Kamerun begitu populer. Ia seperti mewakili kemenangan negeri hitam dan "perjuangan" negara-negara dunia ketiga. Negeri kecil di pesisir barat Afrika ini -- satu dari 51 negara di Benua Afrika mampu masuk ke delapan besar dunia, dan ini sejarah tersendiri buat wakil Afrika. Roger Albert Milla, pemain bola yang tergolong tua dengan usia 38 tahun, menjadi pahlawan Kamerun setelah membobolkan gawang Kolombia yang dijaga Rene Higuita pada pertandingan di Napoli, Sabtu pekan lalu. Gol beruntun di babak kedua perpanjangan waktu ini sungguh indah. Lebih indah lagi adalah goyang pantat Milla di titik penjuru seakan menyambut tingkahan genderang para suporter Kamerun yang terus ditabuh di Stadion San Paulo. Akan terus melajukah tim dari negeri berpenduduk 10,8 juta jiwa ini? Lawan yang akan ditantang Kamerun, Selasa pekan depan, adalah pemenang antara Inggris dan Belgia, yang hasilnya baru diketahui Rabu pekan ini. Sementara itu. Kamerun kehilangau empat "singa yaitu Andre Kana Biyik, Akem Ndip, Emile Mbouh, dan Jules Denis Onana yang kena dua kali kartu kuning di dua pertandingan sebelum ini. "Inilah problem besar untuk tim kami," ujar pelatih Valeri Nepomniachi, asal Soviet. Pada Piala Dunia 1982 Spanyol, Kamerun sebenarnya bermain lumayan. Di babak pertama, ia menahan seri lawan-lawannya: Peru, Polandia, dan Italia. Hanya karena kalah selisih gol yang membuat ia tak bisa melanjutkan ke babak kedua. Toh, waktu itu, seluruh pemain yang pulang ke negerinya disambut sebagai pahlawan. Nah, bayangkan saja betapa gemparnya Kamerun nanti saat Roger Milla pulang dari Italia. Sekarang saja, salah satu stasiun televisi di Yaounde sudah diberi nama dengan "Roger Milla". Mungkin nanti nama-nama taman akan diabadikan dengan nama para pemain bola. Sukses Kamerun kali ini bukan saja di luar perkiraan para pakar bola, tetapi juga di luar perkiraan anggota tim. Pemain belakang Bertin Ebwelle, 27 tahun, misalnya, hanya minta cuti sampai tanggal 25 Juni. Ebwelle bekerja di sebuah bank di Yaounde dan ia mengira cutinya itu cukup untuk berpartisipasi di Piala Dunia. "Tapi saya kira kantor saya mau mengerti untuk perpanjangan cuti itu," ujar pemain klub Tonnerre Yaounde ini. Tentu saja, urusan itu sekarang amat sepele. Begitu pula dengan izin cuti sebelas pemain tim Kamerun lainnya yang berstatus amatir di bola dan punya pekerjaan sebagai karyawan -- ada yang pegawai negeri. Adapun sebelas pemain lainnya memang sudah profesional, yang bermain di klub-klub Prancis, Spanyol, Portugal, dan Belgia. Bagi pemain amatir, harapannya kini adalah bermain di klub kaya di luar Kamerun. "Setiap pemain Afrika mendambakan bermain di klub luar negeri," ujar Stephen Tataw, kapten tim, yang bekerja di stasiun televisi Kamerun -- yang baru ada sekitar lima tahun lalu. Roger Milla pun, di "usia lanjut" ini, masih berharap bisa bermain di Prancis ataupun Italia untuk setahun dua tahun lagi. Kamerun adalah negeri agraris yang tergolong "akan berkembang". Luasnya hanya 470.200 kilometer persegi. Di situ ada 388 klub sepak bola dengan 18.578 pemain. Sarana olah raganya minim. Di Yaounde, kota terbesar, hanya ada sebuah stadion berkapasitas 50 ribu orang. Ketika tim Kamerun dipersiapkan, pemerintah menyediakan dana hanya sekitar Rp 21,4 juta. Jika dibandingkan dengan penghasilan Maradona yang US$ 150 ribu sebulan atau Rp 270 juta, dana untuk tim Kamerun tak ada artinya. Toh "singa" Afrika ini bisa menaklukkan Argentina, Rumania, dan Kolombia. Dan hasil itu tak bisa diukur dengan uang, karena semangat nasionalisme bangsa Kamerun bisa dibangkitkan. Apalagi sepak bola adalah alat pemersatu berbagai suku di sana. "Masih banyak persoalan yang harus dihadapi di negara kami yang memiliki beragam suku itu," ujar Prof. Pierre Tsala Mbala Kepala Tim Psikologi Kesebelasan Kamerun. Dan persoalan yang dimaksud adalah juga keterbelakangan. Toriq Hadad (Jakarta), dan Rudy Novrianto (Roma)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini