CAS CIS CUS (SONATA DI TENGAH KOTA) Cerita: Skenario/Sutradara: Putu Wijaya Pemain: Nani Somanegara, Amak Baldjun, Ray Sahetapy, Lydia Kandou Produksi: PT Prasidi Teta Film dan PT Mutiara Eranusa Film KALAU ada ungkapan yang menyatakan bahwa film pertama menjadi patokan penggarapnya ungkapan itu jangan digariskan sebagai sebuah teori. Jika hal itu dianggap sebagai teori, maka nama Putu Wijaya akan jadi sosok penumbang lewat film perdananya. Cas Cis Cus: Sonata di Tengah Kota. Film ini didasarkan pada salah satu cerpennya yang pernah mendapatkan penghargaan dalam sebuah sayembara. Karena itu, banyak orang berharap bahwa film Putu akan mampu memvisualisasikan fiksi-fiksinya yang memang sudah punya karakter. Dengan meminjam istilahnya sendiri, fiksi-fiksinya -- juga pentas teaternya -- senantiasa mengoarkan "teror". Ada kejutan ada ketidaklaziman, ada kontroversi. Namun, pada film perdananya ini, unsur-unsur "teror" itu tak mencuat benar. Dikisahkan, Nenek (diperankan dengan bagus oleh Nani Somanegara) yang berkunjung ke tempat anaknya, Dedi (dimainkan Ray Sahetapy), mendadak minta disewakan kaset video porno. Satu hal yang mengejutkan, bukan lantaran di rumah itu Dedi sudah punya istri (dimainkan Lydia Kandou) dan dua anak, tetapi keinginan itu muncul dalam diri seorang nenek, sesuatu yang tidak lazim. Ketika Dedi mendapatkan vldeo itu. Nenek bahkan kian rewel. Soalnya, Nenek butuh video yang X-nya pangkat tiga, sementara yang didapatkan Dedi hanya satu X. "Kalau tidak dipinjamkan, aku akan pulang," tutur Nenek berulang kali. Dedi kelimpungan lantaran keinginan ibunya yang aneh-aneh itu. Tapi dia ingin membahagiakan ibunya yang sudah tua itu. Suatu hari, Dedi pergi ke psikiater untuk meminta advis, bagaimana menangani Nenek. Eh, justru Dedi yang dianggap sakit. Teror Nenek tak berhenti pada video porno. Ada teror lain lagi: Nenek minta dikawinkan dengan Mat Item (diperankan dengan kocak oleh Amak Baldjun), tetangganya yang jadi tukang pijit dan buta. Teror itu pun berhasil. Dan Dedi semakin ruwet pikirannya. Baru ketika Nenek pergi meninggalkan rumah itu, setelah memutuskan cerai dengan Mat Item lantaran Mat Item melarang Nenek operasi plastik, Dedi merasa lega. Tak ada lagi keanehan-keanehan di rumahnya. Tak ada lagi Nenek yang gemar keluyuran ke tetangga-tetangga. Tapi justru di situlah anehnya, Dedi kemudian merasa ada yang kurang di rumahnya. Perasaan seperti itu juga ada pada istrinya, bahkan anak-anaknya. Sesuatu yang kita anggap ganjalan, galibnya dibutuhkan pula. Itu yang ingin disampaikan Putu. Sebuah pesan yang tidak haram, tapi pakai gambaran kasus yang terlalu panjang. Barangkali pesan itu lebih pas untuk cerita pendek dan tertulis. Efek bahasa tulis memang beda dibandingkan bahasa gambar. Siapa pun tahu. Jika gambar sudah bicara, lantas masih dijejali kata-kata, jadinya memang terasa rewel, nyinyir, dan sumpek. Dan itu yang terjadi pada Cas Cis Cus. Barangkali film ini bisa dibandingkan dengan pentas Putu dan Teater Mandiri yang memang gegap itu. Juga dengan lukisan Bali yang hampir tak ada ruang kosongnya. Bedanya, lukisan Bali itu menggiring ke kedalaman dan pendalaman, sedang Cas Cis Cus berhenti sekadar sebagai selembar kanvas yang dilu- kisi. Putu -- atau siapa pun -- bisa saja menganalogikan film ini sebagai miniatur dari sebuah kehidupan sosial-politik yang lebih besar. Dan memang itulah yang ingin disiratkan dan dikaitkan lewat nyanyian bencong (diperankan Deddy Mizwar), dengan syair: "Semua orang bercas-cis-cus, bagai nenek yang cas-cis-cus, ngomong tak becus." Pemilihan setting di sebuah kampung di tengah kota kurang berbicara. Tiadanya makna setting juga menjadikan sosok- sosoknya hampir tanpa karakter. Apa makna Dedi yang tinggal di perkampungan hingga dia kemudian diangkat sebagai wakil direktur? Bahkan ketika Nenek berulang kali nyerocos bahwa dia sudah susah payah membesarkan Dedi hingga jadi wakil direktur dan kini dia ingin minta dimuliakan, juga jadi seperti angin lalu. Ternyata, Putu Wijaya lewat Cas Cis Cus ini hanya memindahkan kecerewetan sinetron (televisi) Indonesia umumnya ke panggung perfilman nasional. Artinya, karya perdana ini belum memberikan gereget besar. Veven S.P. Wardhana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini