SEORANG anak yang masih berumur~ 9 tahun tidur menelentang di lantai teraso tanpa kanvas. Ada lelaki bertubuh kekar dengan bobot 67 kg berdiri di sampingnya. Tiba-tiba, "Iyaaat ...," si kekar meloncat setinggi lebih dari satu meter, lantas menclok di perut sang bocah, "bukkk." "Tidak apa-apa, tidak sakit," kata Badai, nama anak itu, beberapa saat setelah berdiri kembali tanpa cedera. Hipnotis? Bukan. Inilah hasil latihan olah raga boxer yang membuat tubuh si Badai kukuh seakan tembok. Padahal, anak itu baru setahun berlatih. Ilmu kebatinan? Achmad Drajat, pemimpin tertinggi kumpulan olah raga itu, membantah, "Yang penting kami semua menjalankan ibadat sesuai dengan agama masingmasing." Sebuah gedung berukuran 300 m2, di jalan Buah Batu, Bandung, jadi pusat latihan boxer. Diresmikan KONI Jawa Barat pertengahan tahun lalu, konstruksinya mirip gedung bulu tangkis, tapi di dalamnya bergelantungan sansak, punching ball, dan berbaga~i peralatan lain yang biasa ditemukan di sasana tinju. Ada halter mulai ukuran 5 kg sampai 50 kg. Kalau di sasana tinju selalu ada cermin untuk para petinju berlatih memukul angin (shado?~-boxing), untuk keperluan yang sama dmding belakang gedung ini sengala berlapis cermin. Ketika berlatih tanding terkadang murid-murid memakai sarung tangan tinju (bandage) dan juga sarung tinju (gloves). Juga pada waktu berlatih memukul benda-benda keras seperti genting dan batako. Sekalipun demikian, ini bukan sebuah sasana tinju. Lihatlah, kecuali memukul mirip petinju, gerakan-gerakan boxerwan itu lainnya lebih mirip silat: menggunakan kakl untuk menendang dan menerjang lawan. Lagi pula, dalam pertandingan sebenarnya, sarung tangan mesti disingkirkan. Juga ini bukan tinju tradisional Muangthai (kick-boxing). "Saya tak pernah belajar tinju, apalagi tinju Muangthai," kata Drs. Achmad Dradjat, 39 tahun, guru besar sekaligus pencipta boxer. Gayanya menendang kadang-kadang sembari melayang, yang tak biasa dilakukan para petinju tradisional Muangthai memang nyata membedakan olah raga baru ini dengan kick-box~ng. Lantas, kenapa boxer? Menurut Dradjat, pegawai Pemda Ja-Bar, itu adalah nama yang diberikan teman-teman kepadanya dulu semasa remaja - sebagai panggilan untuk tukang berkelahi. Sang guru memang sudah belajar silat sejak berumur 13 tahun, karena kakek, ayah, dan kakak-kakaknya semua pemain silat. Setelah kemudian belajar pada banyak guru, Achmad Dradjat mulai memikirkan sebuah ilmu bela diri baru yang mengandalkan kekuatan, kecepatan, ketepatan, keuletan, dan keberanian. biam-diam dia berlatih sendiri dan merenung. Akhirnya 1983, berdirilah boxer. Ternyata, Imu bela diri baru ini cepat berkembang. Kini anggotanya sudah 4.000 -- di antaranya 2.800 anggota di Bandung terserak di berbagai daerah, seperti Jakarta dan Jawa Timur, malah sampai ke Kalimantan Selatan, NTT, dan NTB. Banyak pula anggota ABRI dari Kujang dan Kopassus yang berlatih di situ. Berkat gotong-royong anggota, berdirilah pusat latihan tadi, yang menelan biaya Rp 40-an juta. Ada berbagai alasan mengapa boxer cepat berkembang. "Karate agak kaku bila menghadapi serangan mendadak. Kita harus mikir dulu jurus apa yang cocok menghadapi lawan. Sedang boxer bisa bereaksi spontan, karena kecepatan pukulan dan tendangan mendapat porsi yang besar dalam latihan," kata Kopral Trisno dari Brigif 17 Kujang, yang berlatih di sana. Sebelum berlatih boxer, Trisno berlatih karate dan tinju. Selain itu, pukulan boxer keras, karena terus-terusan dilatih memukul benda-benda keras. Ini pendapat Claudio, 25 tahun, pemuda asal Tim-Tim yang juga bergabung dengan boxer. "Saya berhasrat membuka cabang boxer di Tim-Tim," kata mahasiswa APDN itu. Bisa dikatakan bahwa boxer adalah ilmu silat yang ditingkatkan menjadi lebih ilmiah, karena sebetulnya kritik "tidak ilmiah" itulah yang banyak dilontarkan orang pada kebanyakan aliran ilmu silat. "Ini memang modernisasi dari silat," kata Kosasih. Asisten Guru Besar KKI itu salut pada Achmad Dradjat, karena mampu mengembangkan boxer. "Siapa tahu inilah nanti ilmu bela diri khas Indonesia yang mampu angkat bicara di forum internasional," kata guru karate itu kepada TEMPO. Suhud Warnaen, Wakil Gubernur Jawa Barat yang juga Ketua KONI setempat, memang bertekad memasukkan cabang itu di PON. "Sekarang tinggal kesediaan anggotanya untuk menjaga dan mengembangkannya," kata Suhud. Boxer memang sudah bersiap agar kelak bisa dipertandingkan dalam kejuaraan prestasi. Karena itu, selain pembagian tingkatan kemahiran (seperti pembagian sabuk dalam karate) dari satu sampai tujuh, mereka juga membagi para boxer~wan dalam kelas-kelas seperti tinju. Beda tiap kelas 5 kg. "Kami 'kan memang berniat masuk KONI," kata guru besar yang biasa dipanggil Aa (kakak) boxer itu. Bulan Maret mendatang untuk pertama kali boxer mengadakan kejuaraan di Bandung. Pertandingan dilakukan tanpa alas tangan atau kaki, dan sasaran pukulan dinyatakan bebas. "Boleh mukul kepala atau menendang perut. Sistem ini lain dari yang lain. Lebih sadistis," kata Achmad Drajat. Amran Nasution, Hasan Syukur (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini