Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Yang Muda, yang Berprestasi

Dalam kejuaraan bulu tangkis Asia VII di Semarang, Cina memboyong piala untuk ketiga kalinya. Muncul pemain muda yang bisa diharapkan membawa panji-panji Indonesia, macam: Alan Budi Kusuma dan Joko S.

2 Januari 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RIBUAN penonton yang memadati Gelanggang Olahraga Simpang Lima, Semarang, pekan lalu bersorak histeris ketika Alan Budi Kusuma menundukkan Xiong Guo Bao, pemain tun~gal kedua Cina, dalam final beregu Kejuaraan Bulu Tangkis Asia VII. Tapi, pemain muda andalan Indonesia itu tak larut oleh suasana histeris tersebut. Tak ada loncatan kemenangan yang dilakukannya menyambut prestasi yang cukup mengesankan itu. "Saya seperti tak percaya kalau saya telah mengalahkan Guo Bao," ujar Alan merendah. Jalan kemenan~gan yan~g dibuka Alan, dan kemudian dilengkapi oleh pasangan Bobby Ertanto dan Gunawan, sehingga kedudukan menjadi 2-2, ternyata belum mampu membawa tim Indonesia menggeser dominasi Cina di nomor beregu. Regu Indonesia, yang menurunkan Joko Supriyanto melawan Zhang Qingwu pada partai penentuan, kalah 3-2. Tapi, di balik kegagalan itu, penampilan Alan, 20 tahun, Joko, 21 tahun, dan Gunawan, 21 tahun, di final Kejuaraan Bulu Tangkis Asia VII bukan tidak membawa harapan. Bahkan Alan, yang menundukkan Guo Bao dengan straight set (1817 dan 15-13), sudah ramai digunjin~gkan seba~gai salah seorang calon kuat tim Piala Thomas Indonesia pada kejuaraan di Kuala Lumpur, pertengahan 1988. "Keinginan memperkuat tim Piala Thomas sudah saya mimpikan sejak dulu," kata Alan. "Saya tidak akan menyia-nyiakan kesempatan itu." Alan memang orang yang patut diperhitungkan kawan maupun lawan. Dalam Kejuaraan Bulu Tungkis Dunia di Beijing, Mei lalu, juara nasional yunior 1984 ini be*asil mencapai babak perempat final, sekalipun kemudian kalah dari pemain nomor 1 Cina, Yang Yang. Pada turnamen Piala Dunia 555 di Kuala Lumpur, dua bulan lampau, Alan membuat kejutan dengan menyingkirkan juara All England 1986, Morten Frost Hansen, di babak perempat final. Di semifinal, ia ketemu jagoan Cina yang lain, Zhao Jian Hua, dan kalah. Tapi kini yang diperbincangkan dan dianalisa pengamat bulu tangkis adalah penampilan Alan saat menundukkan Guo Bao di Semarang. Manajer Tim Cina, Chen Fushou, yang memperkira~kan akan ketemu lagi Indonesia di final Piala Thomas, menyebut Alan dan Joko sebagai pemain yang cukup berbahaya bagi mereka. "Keduanya perlu diperhitungkan," komentar Chen Fushou. Siapa orang-orang di belakang pemunculan pemain-pemain muda itu? Mereka adalah maestro Rudy Hartono dan Alex Taufik. Keduanya mulai menangani bintang-bintang baru itu sejak awal Januari 1987. "Untuk tes tahap pertama mereka sudah lulus," ujar Rudy Hartono. Sasaran akhir yang dibebankan pada mereka adalah memboyong kembali Piala Thomas. Sekalipun faktor tuan rumah ikut menentukan sukses di ujian awal itu, Rudy optimistis anak asuhannya bisa diandalkan mendampingi pemain-pemain senior dalam tim Piala Thomas. Teknik dan kemampuan fisik mereka masih bisa ditingkatkan. Apalagi masih ada waktu tersedia sekitar enam bulan. Tentang kelemahan Alan, menurut Rudy, kemampuan fisiknya masih pas-pasan untuk teknik permainannya. Maka, ia suka kedodoran menghadapi lawan yang seimbang. Kemenangan Alan atas Guo Bao, kata Rudy, belum mutlak. Masih terlihat kewaswasan pada Alan. "Ia masih perlu ditangani lebih sungguh-sungguh," tambahnya. Yang baru teruji adalah mental pertandingannya. Itu diperlihatkan Alan sewaktu menolak minta deuce dari Guo Bao pada saat kedudukan 13-13. "Saya sudah kehabisan napas, Guo Bao masih segar. Percuma saja kalau saya minta lima, jadi untung-untungan saja," begitu pengakuan Alan seusai pertandingan. Minta deuce atau tidak, kata Rudy, harus timbul dari diri pemain. "Kalau merasa sudah habis, dan lawan masih ada tenaga lebih baik memang tidak minta deuce," ujarnya. Ini akan membuat lawan kaget, sehingga bermain hati-hati. Tentang penampilan Joko, menurut Rudy, masih terlalu berhati-hati. Kelemahan itu, katanya, bisa dimaklumi, karena baru pertama kali ikut tim, sehingga ia merasa memikul beban mental yang berat. "Apalagi ia bertanding. pada partai yang menentukan," tambah Rudy. Mengatasi kelemahan seperti itu, kata Rudy, perlu waktu yang panjang. Apalagi menuntut mereka mencapai puncak prestasi pada turnamen Piala Thomas 1988. Maka Rudy dan Alex menganggap perlu mengubah program latihan yang mereka siapkan. Selama ini kedua pasangan pelatih itu sebu lan sebelum pertandingan meningkatkan porsi latihan teknik menjadi 70%, dan latihan fisik diturunkan menjadi 30%. Tapi, setelah melihat banyak pemain yang kedodoran bermain tiga set di Semarang, latihan fisik pemain perlu ditambah lagi. Menurut Rudy, pemberian kepercayaan kepada pemain-pemain muda membela panji Indonesia di turnamen penting, mereka akan lebih cepat berkembang. Tapi, untuk mencapai penampilan yang stabil, diperlukan waktu minimal 3-4 tahun. Nani~k Ism~iani, Heddy Lug~ito (S~emarang), Wahyu Muryadi (Surabaya), Rudy Novrianto (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus