Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Bukan, bukan bintang kita

Atlet asian games x berprestasi yo nam kyu, 18, petenis meja korsel shigenobu murofoshi, 41, pelempar martil jepang pt usha, 22, pelari india lydia de vega, 22, pelari filipina dan lain-lain. (or)

11 Oktober 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Yo Nam Kyu, petenis meja (Korea Selatan) DIA masih duduk di kwlas II sekolah teknik menengah di Kwang Sung, Pusan, sekitar 450 km dari Seoul. Masih berusia 18 tahun, Nam Kyu baru saja terpilih oleh sebuah tim yang terdiri atas sejumlah wartawan olah raga yang sedang tugas di Asian Games X sebagai atlet paling berharga (mos valuable player) di pesta olah raga kali ini. Prestasinya, menggulingkan juara tenis meja dunia, Jiang Jialiang, 23, dari RRC, dan kemudian merebut gelar juara tunggal putra tenis meja Asian Games X, dinilai spektakuler. Sebab, terjun di Asian Games ini, ia baru menempati peringkat ke-64 dunia, sejak ia ikut pelbagai turnamen internasional, mulai 1984. Bertubuh sedang, tinggi 165 cm dan berat sekitar 58 kg, anak kelahiran Pusan ini tak hanya menyumbangkan dua emas (tunggal perorangan dan ganda beregu, serta satu perak untuk ganda beregu, dan satu perunggu untuk ganda campuran) buat negerinya. Tapi, sekaligus juga jadi "pembangkit semangat" atlet Korea Selatan. Sebab. dialah, dengan keberhasilannya merebut medali emas di partai tunggal nomor perorangan dengan mengalahkan pemain Cina Hui Jun, 22 -- yang jadi penyumbang emas bagi keunggulan Korea Selatan atas Jepang, seminggu sebelum Asian Games ditutup. Pembagian medali emas ketika dia maju ke final itu imbang 46-46 antara Kor-Sel dan Jepang. Maka, seluruh Korea gempar, ketika siswa yang bermain dengan pegangan pen holder serta bertangan kidal ini bisa menumbangkan pemain peringkat ke-22 dunia RRC Hui Jun, tiga set langsung. Untuk nomor perorangan ini yang pertama dalam sejarah pemain Kor-Sel bisa tampil sebagai juara. Prestasi itu makin mantap, sebab, dua hari sebelumnya di nomor beregu putra dan putri petenis meja mereka juga sudah menumbangkan pemain Cina di final. Yo Nam Kyu, mulai main pingpong sejak usia 8 tahun di rumahnya di Pusan. Pernah jadi juara yunior, ia sejak 1984 menjadi pemain nasional. Di tengah tuduhan jeleknya perwasitan, dan tuduhan terhadap tuan rumah yang menghalalkan segala cara untuk meraih medali emas sebanyak-banyaknya, semangat dan sportivitas Nam Kyu sangat mengagumkan. Ketika melawan Jiang Jialiang di semifinal, misalnya, ia sebenarnya sudah ketinggalan di set penentuan 10-18. Namun. dengan gigih dia bertahan hingga akhirnya menang: 22-20 (3-2). Ia dinilai sportif, misalnya, ketika bertanding di final melawan Hui Jun. Di set ketiga (ia sudah unggul 2-0 dari 5 set pertandingan) terjadi kericuhan tatkala skor 10-3 buat dia. Di tengah pertandingan, Hui Jun memprotes wasit karena menganggap Yo Nam Kyu fault. Sebaliknya, wasit menganggap tak terjadi fault. Tapi Hui Jun ngotot, hingga pertandingan terhenti beberapa menit. Hui Jun menuntut angka buat dia, tapi wasit menolak. Persoalan akhirnya selesai ketika Yo Nam Kyu dengan tenang berjalan menuju papan skor dan mengubah skor menjadi 10-4. Penonton bertepuk riuh atas keberanian pelajar STM itu. Dan suasana pun gemuruh ketika kemudian akhirnya dia berhasil pula memenangkan pertandingan itu. "Ini kemenangan paling mengesankan bagi saya," kata juara muda yang menangis haru ketika menerima medali emas di gelanggang senam Universitas Nasional, Seoul, kepada TEMPO. Dia menjadi obor pembakar semangat atlet Kor-Sel. Sebab, setelah emas yang diperolehnya, tak sekali pun Jepang bisa unggul lagi atas Kor-Sel dalam pengejarm medali emas. Yo Nam Kyu, karena itu, berhak menerima Piala Lee Sang Beck, piala yang dianugerahkan setiap empat tahun sekali sejak 1974, kepada pemain yang membuat prestasi sensasional di Asian Games. Lee Sang Beck adalah orang Korea pertama yang duduk di Komite Olimpiade Internasional (IOC). Untuk mengenang jasanya, Komite Olimpiade Korea menyiapkan sebuah piala perak setinggi 46 cm, guna diserahkan pada atlet berprestasi. Atlet pertama yang merebut gelar itu ialah pelompat tinggi Iran, Teymour Ghiassi, pada 1974, sprinter Muangthai Jaesuraparp Suchart, pada 1978, dan kemudian atlet pelempar martil Jepang yang kini juga ikut bertanding, dan merebut emas, Shigenobu Murofoshi, pada 1982. Shigenobu Murofoshi, pelempar martil (Jepang) Empat tahun lalu dialah pemegang Piala Lee Sang Beck, lambang khusus untuk seorang pemain paling berharga di Asian Games. Ketika itu ia merebut medali emas lempar martil dan ikut untuk keempat kalinya di Asian Games. Kini, di Seoul, Murofoshi kembali membuat rekor. Bukan cuma dalam lemparan -- dia memang merebut medali emas lagi -- tapi juga dalam usia. Dialah atlet tertua di cabang atletik. Usianya yang 41 tahun dirayakannya 2 Oktober lalu di perkampungan atlet. "Sudah cukup tua tapi masih champion," kata peraih emas itu, bergurau. Lahir di Daratan Cina, Murofoshi mengaku sudah 25 tahun ikut berlomba di cabang yang disenanginya itu. Ia mengenal olah raga ini setamat SMA. Lalu, serius ditekuninya ketika ia mengambil jurusan pendidikan jasmani di Universitas Nippon, Tokyo. Ketika masih mahasiswa inilah, 1970 lalu, ia merebut emas pertama di Asian Games di Tokyo. Rekor itu diperpanjangnya lagi di Asian Games Teheran, 1978, dan juga New Delhi, 1982. Kini, dengan rambut yang mulai menipis di bagian depan, asisten profesor di Universitas Chukyo, Nagoya, ini kembali memperpanjang gelarnya itu. Dengan total lemparan sejauh 69,20 meter ia mengatasi puluhan atlet lempar martil lain yang usianya jauh lebih muda. Memang Murofushi mengakui, rekornya kali ini masih di bawah rekor terbaiknya 75,94 meter. Namun, dengan teknik melempar yang jauh di atas lawannya, ayah tiga anak ini harus dicatat punya semangat bertanding yang paling menggebu-gebu. Tiga bulan sebelum ke Seoul, dia cedera punggung. "Semuanya mengganggu latihan saya," katanya. Toh, dia tetap keras berlatih. Bisa menang sekarang, Murofushi tampak amat gembira. Dan dia malah sudah mencanangkan akan berjuang untuk bisa ikut lagi di Asian Games XI, empat tahun mendatang di Beijing, tanah kelahirannya. "Saya tak pernah berpikir untuk berhenti jadi atlet, sebab saya menikmati hidup sebagai atlet," kata guru pendidikan jasmani di sebuah SMA di Nagoya itu lagi, rileks. PT Usha, atletik (India) Dia pernah dijuluki gadis paling perkasa di Asia. Itu karena suksesnya menyumbangkan enam medali (lima di antaranya emas) di kejuaraan atletik Asia, September 1985 di Jakarta. Di Seoul, PT Usha alias Pila Vullakandi Tekke Parampil Usha, sebelum bertanding, sudah disebut-sebut akan merampas enam emas. Tapi, kali ini tak semulus tahun lalu. Usha, 22, hanya berhasil merebut lima medali (empat emas dan satu perak). Karyawati perusahaan kereta api di Provinsi Kerala itu memenangkan medali emas di nomor lari 200 m, 400 m, 400 m gawang, dan estafet bersama tiga temannya di nomor 4 X 400 meter. Gadis ceking tinggi 170 cm dan berat 57 kg, yang pernah bercita-cita menjadi juara dunia, ini gagal merebut emas di nomor lari berengsi 100 meter. Ia kali ini diganjal seteru lamanya yang pernah dibuatnya tak berkutik di Jakarta, Lydia de Vega. Pelari cantik asal Filipina yang kini berusia 23 tahun itu mendahuluinya dengan waktu 11,53 detik. Ini pemecahan rekor Asian Games lalu, atas nama Lydia sendiri 11,52 detik. Komentar Usha? "Ya, saya selalu ikut di beberapa nomor di kejuaraan yang begini berat. Konsentrasi saya jadi agak terpecah. Karena itu, jika betul-betul mau jadi juara dunia, kelak saya hanya akan berkonsentrasi di nomor lari kesukaan saya 400 meter gawang," katanya. Di nomor ini sudah empat tahun terakhir ia tak terkalahkan. Lydia de Vega, Pelari (Filipina) Dari Filipina atlet yang pc!puler di Asian Games X, tak ayal, masih Lydia de Vega, 22. Cewek semampai yang pernah dijuluki ratu atletik Asia ini tak hanya dikenal para atlet, tapi juga oleh banyak penduduk Korea. Di hari terakhir lomba atletik, minggu pekan lalu, aplaus hangat diberikan mereka buat Lydia, ketika mahasiswi pendidik jasmani, San Antonio College, California, AS, ini memenangkan lomba lari 100 meter putri. Catatan waktunya 11,53 detik, ini berarti lebih baik dari rekornya ketika memenangkan lomba itu di Asian Games IX New Delhi, 11,76 detik. Tapi, bukan pemecahan rekor dan kemudian menang itu yang membuat dara Filipina tampak amat gembira. "Saya betul-betul puas dan amat bahagia, karena kini bisa mengalahkan Usha," katanya, usai melaksanakan victory laps sekeliling Stadion Chamsil. Orang yang dimaksudnya tak lain PT Usha, bintang atletik India yang dalam setahun terakhir ini kerap menumbangkannya di pelbagai lomba. Terakhir di kejuaraan atletik Asia tahun lalu di Jakarta, Lydia memang tak berkutik pada pelari India ini di nomor lari 100 meter dan 200 meter yang diikutinya. Dan baru kini Usha harus menerima keunggulan Lydia karena mencapai finis 0,13 detik lebih lama pada kedudukan nomor dua. Bintang Filipina, yang kini masih melanjutkan studinya di AS itu memang patut penasaran pada Usha. Sebab, tiga hari sebelumnya, ia yang sudah memimpin 25 meter lagi menjelang finis pada lomba lari 200 meter mendadak dilalui Usha di detik-detik terakhir. "Saya akan berdisko sepanjang malam ini untuk merayakan kemenangan ini," cetus gadis bertubuh semampai, tinggi 163 cm dan berat 49 kg, ini sambil menggoyang-goyangkan tubuhnya. Dan malam terakhir di perkampungan atlet memang betul-betul dihabiskannya di bar disko perkampungan itu dengan ajojing sampai larut malam bersama atlet pria dari pelbagai negara. Lydia, yang pernah bertikai dengan Michael Keon, kemanakan bekas Presiden Marcos yang jadi Ketua Gintong Alay, pusat pembinaan olah raga Filipina, mengatakan proyek itu kini memang agak mandek. "Saya kira Gintong Alay memang tak ada lagi sekarang. Semua sudah berakhir seperti juga Michael Keon," katanya. Keon memang dikabarkan melarikan diri ke Australia. Bagaimana pendapat Lydia yang dikenal dulu amat disayang Nyonya Imelda Marcos tentang pemerintahan sekarang? "Saya tak mau berkomentar tentang itu. Saya kira jika sesuatu sudah berakhir, ya, sudahlah," jawab Lydia. Atlet yang kini sudah dilepas ayahnya, Tatang de Vega, untuk dilatih pelatih Filipina Claro Pellosis itu mengatakan punya banyak teman pria. "Tapi, saya punya satu calon serius. Dia orang Filipina. Kami belum tunangan, yah, tak tahu nanti apa jadi atau tidak," katanya mengelak sambil tertawa lebar. Yan Ming, perenang (RFC) Gadis ini bintang kolam renang Cina yang paling menonjol. Baru berusia 17 tahun, Yan Ming kelahiran Heilongjiang, tapi kini menetap di Beijing, merebut tiga medali emas di nomor gaya bebas putri 400 meter, 800 meter gaya bebas, 400 gaya berganti perorangan. Hebatnya, semuanya dengan pemecahan rekor. Malah, gadis berambut agak pirang dengan gigi agak hitam ini mengejutkan kolam renang Chamsil, ketika di gaya ganti perorangan 400 meter berhasil mencetak waktu 4 menit 52,43 detik. Ini sensasi baru buat kolam renang Asia. Sebab, selama ini di nomor itu belum satu perenang putri Asia pun pernah memenangkan lomba di bawah lima menit. Rekor terbaik di nomor ini hanya pernah dibuat perenang Jepang Hideka Koishimizu di New Delhi, empat tahun lalu, dengan waktu 5 menit 2,79 detik. Yan Ming sendiri mulai belajar renang sejak usia 7 tahun di sekolahnya. Sering menang dalam pelbagai lomba sekolah, tiga tahun kemudian ia terpilih jadi perenang tim provinsi di Heilongjiang. Toh, cewek pemalu bersuara parau ini baru 1985 dipercaya menjadi wakil RRC bertanding di kolam renang di luar negeri. Ditangani sedikitnya tiga pelatih, satu di antaranya Klaus Rudolp, pelatih profesional yang pernah melatih tim renang nasional dari Jer-Bar, Yan Ming mengatakan "amat suka" berlatih. Itulah sebabnya, para pelatihnya sungguh beruntung dan bertekad besar menjadikan dia sebagai salah satu andalan dalam menjegal dominasi para perenang Jepang di pelbagai lomba renang Asia. "Selain renang, saya belajar, dan juga suka baca novel," kata bintang renang ini lagi. Dia mengatakan akan merebut sedikitnya empat emas di Asian Games mendatang di Beijing. Yoo Jin Sun, petenis (Korea Selatan) Empat tahun silam namanya masih belum begitu populer bagi masyarakat Korea Selatan. Tapi setelah mampu meraih empat medali emas dalam Asian Games X ini nama Yoo Jin Sun, 24, menjadi pujaan terutama di kalangan remaja. Pemuda lajang kelahiran Sochon-gun, Chungchongnam-do, ini mulai mengayunkan raket tenis sejak duduk di bangku kelas II SMP. "Guru olah raga saya yang menganjurkan saya untuk beralih profesi dari pemain bola menjadi petenis," tutur Yoo Jin Sun, seusai merebut medali emas yang keempat di Stadion Tenis Olympic Park. Anak bungsu dari sembilan bersaudara keluarga Yoo Man Gil ini sekarang sedang menyelesaikan kuliahnya untuk mengambil gelar Master di bidang manajemen di Universitas Keon Kuk. Untuk menghadapi Asian Games kali ini, Yoo Jin Sun hanya mempersiapkan diri selama dua bulan. Walau demikian, Jin Sun pada tahun 1986 mampu menjuarai turnamen-turnamen besar di Asia. Seperti juara tunggal dalam Pro Kennex Satelit Sirkuit di Jakarta, Bangkok, dan Taipei, yang diikuti oleh pemain-pemain peringkat ATP (Assosiasi Tenis Profesional). Sedangkan di Tokyo, Jin Sun hanya sampai babak perempat final. "Saya tidak menduga kalau bisa meraih empat medali emas," ujar karyawan Dae Woo Heavy Industry Company ini. Untuk meningkatkan kemampuannya, petenis yang melebihi tinggi 185 cm dan berat 84 kg ini, merencanakan untuk mengikuti Sirkuit Tenis Profesional. "Karena dengan bertanding melawan pemain-pemain profesional saya bisa mengukur sampai sejauh mana kemampuan saya," kata Jin Sun penuh semangat. Yoo Jin Sun merencanakan terus bermain tenis sampai usia 28 tahun. Untuk meningkatkan daya konsentrasi dalam bermain, ia juga berlatih meditasi. Prestasinya sejak tahun 1984 terus menanjak, mulai dari juara kedua Tenis Amatir Asia sampai bisa menjuarai Tenis Sirkuit Asia selama 1986.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus