Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Perang juga emas juga

Issam el houmsi, 27, lifter libanon di kelas 110 kg memecahkan rekor ag x seoul dengan angkatan 352,5 kg. libanon, menduduki peringkat 12 perolehan medali dalam beberapa cabang olah raga. (or)

11 Oktober 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MEREKA hanya terdiri atas 10 atlet. Didampingi lima ofisial, bukan rombongan terkecil di antara 27 kontingen peserta Asian Games X di Seoul. Tapi karena datang atas nama Libanon -- negeri yang tak putus diamuk perang sekitar 10 tahun terakhir ini -- maka perhatian terhadap mereka lumayan besar. Dan tambah besar lagi ketika salah seorang atlet mereka Issam, El Houmsi, 27, secara sensasional berhasil merebut mendali emas di cabang angkat besi. Tak tanggung-tanggung, di kelasnya, 110 kg, Issam malah mencetak rekor baru Asian Games. Ia berhasil mengangkat barbel seberat 352,5 kg, 2,5 kg lebih berat dari angkatan peraih emas di kelas itu empat tahun lalu di Asian Games New Delhi, atas nama Ahn Hyo Jack dari Korea Selatan. Itulah sebabnya, bisa dimaklumi kontingen Libanon langsung tampak bersukaria ketika Issam menyelesaikan angkatannya. "Ini medali emas pertama saya dan negeri saya di Asian Games," kata pemuda berkumis tebal itu dengan wajah haru, seusai menerima medali. Libanon, kendati perang terus, katanya, selalu ikut Asian Games. Tapi baru kali ini berhasil merebut satu medali emas, dari dia, dan satu perunggu lain disumbangkan rekannya Khaled Moukaled, 22, di kelas 82,5 kg ke atas. "Kami sukses kali ini, wajar kalau kami amat gembira," kata Khouri Toni, 51, pimpinan kontingen Libanon, kepada TEMPO. Libanon ikut dalam empat Gabang olah raga di Asian Games: satu anggar, tiga menembak, tiga renang, dan tiga lainnya angkat besi. "Tentu saja mereka atlet pilihan," kata Toni lagi. Dia mengatakan, pemilihan tadi dilakukannya bersama stafnya sejumlah penggemar olah raga di negeri berpenduduk sekitar 3 juta itu. "Lebih banyak atas inisiatif sendiri," sambung Toni, ketika ditanya soal olah raga di negerinya. Maksudnya, olah raga di Libanon lebih banyak dilakukan swasta, para pelajar, dan mahasiswa. "Agar mereka punya pengalaman bertanding," katanya lagi, "ada bantuan pemerintah, tapi tak banyak." Dia menolak menyebutkan jumlah dana. "Ada, pasti. Tapi tak baik menyebutkan jumlah," ucap Toni lagi. Yang pasti, olah raga tetap hidup di negeri itu kendati ada perang. Menurut seorang ofisial, mereka melakukannya di mana-mana. "Terkadang di bawah tanah, di lubang-lubang perlindungan," tuturnya. Toh, katanya, mereka tetap merencanakan setiap tahun pengiriman atlet ke luar negeri. Untuk menghemat biaya, biasanya, menurut Toni, mereka merencanakan satu rangkaian perjalanan untuk ikut dalam pelbagai peristiwa olah raga yang diselenggarakan beruntun. Misalnya, tahun lalu ketika terjun ke Kejuaraan Atletik Asia di Jakarta, rombongan atlet mereka datang setelah mengikuti rangkaian lomba atletik di Taiwan, Jepang, dan Hong Kong. "Jadi, biaya pesawat bisa dihemat," tambah seorang staf Toni. Begitulah, untuk tetap bisa memberikan kesempatan bertanding pada atlet mereka, negeri paling ujung timur di kawasan Timur Tengah ini ikut Asian Games. Kali ini mereka untung. Sebab, bisa diperkuat Issam, lifter yang mengaku sudah merebut sekitar 15 medali emas di pelbagai pertandingan. Issam sendiri kini sedang studi di sebuah universitas di AS. Beralis tebal, dengan tubuh tegap, tinggi 180 cm, dan bcrat sekitar 110 kg, ia sungguh tak disangka publik Kor-Sel bisa merebut medali. Maklum, dibandingkan hercules-hercules lain dari Jepang, Korea, dan Cina, Issam memang tampak paling sederhana. Sepatu yang dipakainya tampak butut. Dan sempat membuat beberapa ofisial Korea tersentuh hatinya untuk memberi dia sepatu yang lebih layak. Namun, mahasiswa fisika itu menolaknya. Dengan rasa percaya diri yang besar dia naik ke arena angkat besi di Olimpic Park, Seoul, dan berjuang sekuat tenaga -- hingga berhasil. "Saya hanya berlatih sekitar dua bulan," tutur Issam, penganut Islam, yang sudah mulai mengangkat barbel sejak usia 19 tahun. Itu pun, menurut dia, tak seintensif jika dibandingkan atlet lain, "seperti lifter Korea," katanya, sambil senyum. Namun karena rekornya baik, dia memang diminta ikut bertarung di Seoul. "Saya mau, karena demi negeri saya," kata bujangan berambut ikal ini lagi. Dia mengatakan amat prihatin dengan suasana perang yang terus berkobar di negerinya. "Saya tak tahu, kapan akan berakhir. Dan juga tak tahu apakah medali emas saya bisa menghentikan peperangan itu," katanya, masygul. Akan segera kembali ke kampusnya, Issam toh sudah berhasil menaikkan harkat negerinya di arena pertarungan olah raga Asia. Dengan satu emas dan satu perak, Libanon bisa menempati peringkat 12 dalam perolehan medali di antara 27 kontingen peserta. Dalam hal emas, perolehan mereka sama dengan Indonesia, Hong Kong, Qatar, dan Bahrain. Tapi lebih baik dari Malaysia, Irak, Yordania, Kuwait, Singapura, Nepal, Bangladesh, dan Oman, yang sampai usai lomba tak meraih satu emas pun. Marah Sakti & Rudy Novrianto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus