Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Dan uang itupun masuk lubang

Tim finalis as dan kanada bermain di padang golf pondok indah. diantaranya dave barr, manuel pinero john cook, red caldwell.(or)

17 Desember 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DRIVE is show, putting is dough. Pukulan itu tontonan, putting itu uang, begitu pemeo yang luas beredar di kalangan pemain golf, di mana saja di dunia. Tidak kurang dari 5000 penonton Indonesia tiap hari mengalir ke padang golf Pondok Indah untuk membuktikan "kebenaran"kata-kata itu dengan mata kepala sendiri. Ketika pegolf AS, John Cook 27, mengayun club (klub = stick/tongkat golf) dan bola melesat lurus ke depan, seorang penonton tak dapat lagi menahan rasa kagumnya. "Lu jangan mimpi deh, bisa mukul begitu. Nggak bakalan," ucapnya menyindir teman. Pukulan-pukulan "macan" memang silih berganti dipergelarkan tim finalis AS dan Kanada. Untuk menciptakan "macan" konon pegolf terhebat sekalipun mesti terus berlatih. Jara perorangan Dave Barr, 31, berlatih 1-2 jam sehar, tapi bekas juara Manuel Pinero tahan 4-5 jam sehari. Bahkan suhu dingin tidak menghambatnya turun ke lapangan. Namun, sejak hari pertama, pemain unggulan ini udah ketinggalan jauh dari lawan-lawannya. Mengapa? Pinero sendiri tidak tahu jawabnya. "Saya bermain jelek kali ini bukan karena sakit atau cuaca yang panas. Saya sudah terbiasa berpanas-panas. Juga tidak ada masalah dengan lapangan yang bagus ini," ujarnya lirih. Skornya 286, hingga menempatkan juara dunia 1982 itu pada urutan ke 10. Ia lagi sial, barangkali. Lain halnya Rx Caldwell. Ia tidak segan-segan melotot ke arah penongton (kalau bising), bertinkah, ataupun marah-marah. "Di Amerika yang nonton sampai 18.000 orang, tapi mereka tertib dan diam jika pemain memukul bola. Di sini ..., katanya mencibir sembari mengangkat bahu. Keluhan Caldwell agaknya tidak berlebihan. Tiga hari pertama, ia cuna bermain lumayan (64-72- 72). Baru pada hari terakhir ia cemerlang angkanya 66, berarti 6 di bawah par. Pada hari yang sama, Barr dan Cook justru mencatat angka: 74. "Saya sudah bertekad," Ucap Caldwell. "Lupakan segala bunyi. orang dan kamera toh akan hadir ini sepanjang pertandingan." Rupanya, tekad itu manjur. ia tidak menyebut deru helikopter yang berputar-putar hampir separuh masa pertandigan, konon, untuk membuat film dari udara. Bunyi kamera yang tak henti-henti menjepret rupanya, benar-benar menyiksa. "Amat mengesalkan, ujar sang juara, Dave Barr, dalam nada geram. Khususnya, untuk saat-saat putting, ketika menggulirkan hole ke hole (lubang), pemain Kanada itu membutuhkan ketenangan mutlak. Selama empat hari pertandingan, Barr yang cerewet sejak awal sudah unggul dari lawan-lawannya. Hari pertama ia gemilang: 6 di bawah par. Mungkin karena ulah penonton, angka itu merosot terus tiga hari berikutnya (67-69-74). Toh ia mencatat angka terendah (276) dari 64 pemain, hingga keluar sebagai juara perorangan, menggondol hadiah Rp 10 juta. Harus diakui bahwa ia bermain serius, tekun, dan telaten. Dialah pencipta putting paling akurat sesudah - tentu saja - mengumpat-umpat. Apa komentarnya tentang, padang Pondok Indah ? " Semua menyenangkan, kecuali para penonton yang membawa kamera itu." Tentang juara beregu, Cook dan Caldwell, ia tulus memuji. "Mereka pemain hebat," kata pemain agak gendut, ayah dua anak ini. Rex Caldwell dan John Cock - meski baru di Jakarta main berpasangan - kompak, saling mengisi, dan saling menasehati. Keduanya selalu berunding, sebelum melakukan putting. Keduanya membawa caddy (kedi) yang acap kali diminta saran-sarannya. Melihat kerja sama cara begini, seorang penonton nyeletuk, "ini sih empat lawan dua," Caldwell selalu tidak segan-segan "mendiamkan" penonton bila Cook siap memukul bola. Penonton Indonesia memang spontan dan antusias. Sampai sebuah jembatan gantung yang dipenuhi penonton, pada hari terakhir, ambruk. Sangat kentara pula bagaimana perasaan mereka ikut terlibat. Ketika Barr marah-marah, mereka serentak bersuara "Uuuu!" harus diakui, kesempatan untuk menonton permainan golf tingkat dunia jarang jarang terjadi di jakarta. Bisa menyaksikan sudah suatu keasyikan tersendiri. Di bawah sengatan matahari, mereka tahan berdesakan di sekitar green hanya untuk menikmati apa yang disebut adu putting. Dari keempat pemain pro AS dan Kanada itu, putting apa yang mustahil? Yang tertegun-tegun, yang berbelok, yang meliuk, yang mendebarkan, semua akhirnya masuk lubang. Itulah sensasi yang ditunggu. Namun, kehidupan sehari hari pemain pro jauh dari sensasi. Pukulan macan sungguh asyik untuk ditonton tapi melelahkan pada saat latihan. Putting amat mendebarkan bagi penonton, tapi menegangkan bagi pemain. Dan bergerak dari satu turnamen ke turnamen lain, sungguh, bukanlah pekerjaan gampang. Semua itu bisa disimpulkan ringkas: "kerja keras". Bergelimang uang? Belum tentu. Untuk Barr, penghasilannya cukup menunjang tingkat hidup yang "biasa-biasa saja ". Dalam lima tahun terakhir, dari banyak turnamen dunia yang diikutinya, Barr mengumpulkan hampir Rp 100 juta. Ini berarti, rata-rata Rp 20 juta dalam setahun. Jumlah yang pas-pasan untuk tinggal di Kanada. Pinero, yang merambah karier dari kedi dilapangan Campo Mandrid, terjun sebagai pro karena "tidak ada pilihan lain. " Ikut turnamen dunia sejak usia 22 tahun, Pinero dua kali berhasil memboyong piala beregu ke tanah airnya, Spanyol. Tahun lalu, ia merebut gelar juara dunia perorangan dengan hadiah Rp 82 juta. Sepuluh tahun silam, permainannya baru "dihargai" Rp 345.000. Begitu pula penghasilannya kini, "baru cukup untuk hidup dan membiayai keperluan istri." Caldwell, yang langsing (tinggi 1.85 m) main sejak umur 14 tahun, baru jadi pro pada umur 22. Penghasilannya mulai dari Rp 3 juta sampai Rp 65 juta. Di Jakarta, dari dua kejuaraan (beregu dan juara kedua perorangan) ia berhasil menggaet Rp 17,5 juta. Setengah bercanda, ayah dua anak itu berkata bahwa uang itu "untuk bersenang-senang". Bagi John Cook, hasil jerih payahnya cukuplah untuk hidup layak. Ayah satu anak ini terjun ke dunia pro karena "telanjur gandrung pada golf" Kariernya menyenangkan. Pada umur 17, ia juara dunia yunior, lalu berturut-turut menjuarai US Amateur (1978) dan North-East Amateur (1979). Sepanjang kariernya, ia sudah berhasil menggaet lebih kuragn Rp 230 juta. Di samping itu, dunia promosi yang berkilauan tentu membawa hasil tambahan. Caldwell, sejak sembilan tahun berselang, disponsori perusahaan alat olah raga Ping, sementara Cook ditunjang Wilson. Barr mengiklankan alat olah raga TNT- (Tom & Nick Torkos) dan, bersama Caldwell, ia mengenakan kemeja dan kaus merk Munsingwear. Pinero pernah dikontrak Coca Cola lima tahun, sedangkan kini ia terikat kontrak dengan Mizuno. Berapa besar harga sponsornya, "tergantung keadaan", kata Pinero. Ini tentulah rahasia pribadi dan perusahaan yang bersangkutan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus