DRIVE is show, putting is dough. Pukulan itu tontonan, putting
itu uang, begitu pemeo yang luas beredar di kalangan pemain
golf, di mana saja di dunia. Tidak kurang dari 5000 penonton
Indonesia tiap hari mengalir ke padang golf Pondok Indah untuk
membuktikan "kebenaran"kata-kata itu dengan mata kepala
sendiri. Ketika pegolf AS, John Cook 27, mengayun club
(klub = stick/tongkat golf) dan bola melesat lurus ke depan,
seorang penonton tak dapat lagi menahan rasa kagumnya. "Lu
jangan mimpi deh, bisa mukul begitu. Nggak bakalan,"
ucapnya menyindir teman.
Pukulan-pukulan "macan" memang silih berganti dipergelarkan
tim finalis AS dan Kanada. Untuk menciptakan "macan" konon
pegolf terhebat sekalipun mesti terus berlatih. Jara
perorangan Dave Barr, 31, berlatih 1-2 jam sehar, tapi bekas
juara Manuel Pinero tahan 4-5 jam sehari. Bahkan suhu dingin
tidak menghambatnya turun ke lapangan. Namun, sejak hari
pertama, pemain unggulan ini udah ketinggalan jauh dari
lawan-lawannya.
Mengapa? Pinero sendiri tidak tahu jawabnya. "Saya bermain jelek
kali ini bukan karena sakit atau cuaca yang panas. Saya sudah
terbiasa berpanas-panas. Juga tidak ada masalah dengan
lapangan yang bagus ini," ujarnya lirih. Skornya 286, hingga
menempatkan juara dunia 1982 itu pada urutan ke 10. Ia lagi
sial, barangkali.
Lain halnya Rx Caldwell. Ia tidak segan-segan melotot ke arah
penongton (kalau bising), bertinkah, ataupun marah-marah. "Di
Amerika yang nonton sampai 18.000 orang, tapi mereka tertib
dan diam jika pemain memukul bola. Di sini ..., katanya
mencibir sembari mengangkat bahu. Keluhan Caldwell agaknya
tidak berlebihan. Tiga hari pertama, ia cuna bermain lumayan
(64-72- 72). Baru pada hari terakhir ia cemerlang angkanya
66, berarti 6 di bawah par.
Pada hari yang sama, Barr dan Cook justru mencatat angka:
74. "Saya sudah bertekad," Ucap Caldwell. "Lupakan segala
bunyi. orang dan kamera toh akan hadir ini sepanjang
pertandingan." Rupanya, tekad itu manjur. ia tidak menyebut
deru helikopter yang berputar-putar hampir separuh masa
pertandigan, konon, untuk membuat film dari udara.
Bunyi kamera yang tak henti-henti menjepret rupanya,
benar-benar menyiksa. "Amat mengesalkan, ujar sang juara, Dave
Barr, dalam nada geram. Khususnya, untuk saat-saat putting,
ketika menggulirkan hole ke hole (lubang), pemain Kanada itu
membutuhkan ketenangan mutlak.
Selama empat hari pertandingan, Barr yang cerewet sejak awal
sudah unggul dari lawan-lawannya. Hari pertama ia gemilang: 6
di bawah par. Mungkin karena ulah penonton, angka itu merosot
terus tiga hari berikutnya (67-69-74). Toh ia mencatat angka
terendah (276) dari 64 pemain, hingga keluar sebagai juara
perorangan, menggondol hadiah Rp 10 juta. Harus diakui bahwa ia
bermain serius, tekun, dan telaten. Dialah pencipta putting
paling akurat sesudah - tentu saja - mengumpat-umpat.
Apa komentarnya tentang, padang Pondok Indah ? " Semua
menyenangkan, kecuali para penonton yang membawa kamera itu."
Tentang juara beregu, Cook dan Caldwell, ia tulus memuji.
"Mereka pemain hebat," kata pemain agak gendut, ayah dua anak
ini.
Rex Caldwell dan John Cock - meski baru di Jakarta main
berpasangan - kompak, saling mengisi, dan saling menasehati.
Keduanya selalu berunding, sebelum melakukan putting. Keduanya
membawa caddy (kedi) yang acap kali diminta saran-sarannya.
Melihat kerja sama cara begini, seorang penonton nyeletuk, "ini
sih empat lawan dua," Caldwell selalu tidak
segan-segan "mendiamkan" penonton bila Cook siap memukul bola.
Penonton Indonesia memang spontan dan antusias. Sampai sebuah
jembatan gantung yang dipenuhi penonton, pada hari terakhir,
ambruk. Sangat kentara pula bagaimana perasaan mereka ikut
terlibat. Ketika Barr marah-marah, mereka serentak bersuara
"Uuuu!" harus diakui, kesempatan untuk menonton permainan golf
tingkat dunia jarang jarang terjadi di jakarta. Bisa
menyaksikan sudah suatu keasyikan tersendiri. Di bawah
sengatan matahari, mereka tahan berdesakan di sekitar green
hanya untuk menikmati apa yang disebut adu putting. Dari
keempat pemain pro AS dan Kanada itu, putting apa yang
mustahil? Yang tertegun-tegun, yang berbelok, yang meliuk,
yang mendebarkan, semua akhirnya masuk lubang. Itulah sensasi
yang ditunggu.
Namun, kehidupan sehari hari pemain pro jauh dari sensasi.
Pukulan macan sungguh asyik untuk ditonton tapi melelahkan pada
saat latihan. Putting amat mendebarkan bagi penonton, tapi
menegangkan bagi pemain. Dan bergerak dari satu turnamen ke
turnamen lain, sungguh, bukanlah pekerjaan gampang. Semua itu
bisa disimpulkan ringkas: "kerja keras". Bergelimang uang? Belum
tentu. Untuk Barr, penghasilannya cukup menunjang tingkat hidup
yang "biasa-biasa saja ". Dalam lima tahun terakhir, dari
banyak turnamen dunia yang diikutinya, Barr mengumpulkan
hampir Rp 100 juta. Ini berarti, rata-rata Rp 20 juta dalam
setahun. Jumlah yang pas-pasan untuk tinggal di Kanada.
Pinero, yang merambah karier dari kedi dilapangan Campo
Mandrid, terjun sebagai pro karena "tidak ada pilihan lain. "
Ikut turnamen dunia sejak usia 22 tahun, Pinero dua kali
berhasil memboyong piala beregu ke tanah airnya, Spanyol.
Tahun lalu, ia merebut gelar juara dunia perorangan dengan
hadiah Rp 82 juta. Sepuluh tahun silam, permainannya baru
"dihargai" Rp 345.000. Begitu pula penghasilannya kini, "baru
cukup untuk hidup dan membiayai keperluan istri."
Caldwell, yang langsing (tinggi 1.85 m) main sejak umur 14
tahun, baru jadi pro pada umur 22. Penghasilannya mulai dari Rp
3 juta sampai Rp 65 juta. Di Jakarta, dari dua kejuaraan (beregu
dan juara kedua perorangan) ia berhasil menggaet Rp 17,5 juta.
Setengah bercanda, ayah dua anak itu berkata bahwa uang itu
"untuk bersenang-senang". Bagi John Cook, hasil jerih payahnya
cukuplah untuk hidup layak. Ayah satu anak ini terjun ke dunia
pro karena "telanjur gandrung pada golf" Kariernya
menyenangkan. Pada umur 17, ia juara dunia yunior, lalu
berturut-turut menjuarai US Amateur (1978) dan North-East
Amateur (1979). Sepanjang kariernya, ia sudah berhasil menggaet
lebih kuragn Rp 230 juta.
Di samping itu, dunia promosi yang berkilauan tentu membawa
hasil tambahan. Caldwell, sejak sembilan tahun berselang,
disponsori perusahaan alat olah raga Ping, sementara Cook
ditunjang Wilson. Barr mengiklankan alat olah raga TNT- (Tom &
Nick Torkos) dan, bersama Caldwell, ia mengenakan kemeja dan
kaus merk Munsingwear.
Pinero pernah dikontrak Coca Cola lima tahun, sedangkan kini ia
terikat kontrak dengan Mizuno. Berapa besar harga sponsornya,
"tergantung keadaan", kata Pinero. Ini tentulah rahasia pribadi
dan perusahaan yang bersangkutan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini