Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Golf kurang merakyat

Mensponsori pertandingan golf tidak menguntungkan. golf lebih banyak ditujukan kepada kalangan atas, kurang merakyat. biaya sponsornya akan lebih besar dari pada imbalan yang akan diperoleh. (or)

17 Desember 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DARI semua negara yang turut dalam Kejuaraan Dunia Golf, ternyata cuma Indonesia yang diwakili pemain amatir. Diseleksi dari empat pemain amatir dan empat profesional, kedua kakak-beradik Sumarno dan Suparman-lah yang akhirnya ditunjuk ikut pada kejuaraan profesional itu. " Hanya mereka-lah yang memiliki prestasi paling baik," ujar Richard Brain, pelatih yang pelatih yang sengaja didatangkan dari Australia. Pemain pro Indonesia prestasinya memang lebih buruk ketimbang pemain amatir. Mereka bukan saja tak punya kesempatan untuk berlatih, tapi faktor pendidikan juga rupanya tidak menunjang mereka untuk meningkathan prestasi. "Kebanyakan mereka bekas kedi," kata Ibnu Sutowo ketua umum Persatuan Golf Indonesia (PGI). Menurut Ibnu, mereka sibuk menjadi pelatih sehingga tak sempat berlatih. Sedangkan untuk mengikuti suatu pertandingan, mereka harus mengeluarkan biaya sendiri. "Kalau menang, bisa untung dengan hadiah. Tapi kalau kalah, gigit jari," kaia Ibnu lagi. Memang, dulu banyak pejabat dan swasta yang memberikan sponsor, baik untuk mengirim pemain ke pertandinan di luar negeri maupun untuk biaya latihan. "Itu bukan menjadikan mereka giat berlatih, tapi hanya membuat mereka tergantung pada bapak-bapak. Prestasi mereka tidak naik-naik," ujar Soebroto Koessoemardjo, sekretaris jenderal PGI. "Pegolf pro kita mencari uang bukan untuk mengejar prestasi." Hanya dengan jadi pelatih, para pemain pro itu memperoleb uang. Sedangkan dari pertandingan-pertandingan yang hanya setahun sekali - amatir bisa lebih dari tiga kali - pemain pro hampir tak memperoleh apa-apa. "Kadang-kadang suka tekor," kata Gemmy Subagio tentang hadiah yang diperolehnya ketika masuk 15 besar pada Kejuaraan Indonesia Terbuka, tahun lalu, dibandingkan dengan biaya latihannya. Gemmy, 28, tamatan SD kelas III, kini mengandalkan hidupnya sebagai pelatih di padang golf Jaya Ancol. "Saya mengenal golf justru karena miskin. Kalau kaya, mungkin saya tak pernah main golf," katanya. Bekas kedi yang kini masih mengontrak sebuah rumah kecil di gang sempit itu punya tarif Rp 4.000/jam sebagai pelatih. "Kalau cuma mengandalkan dari main sebagai pro, pendapatan kurang. Apalagi pendidikan saya rendah," ujar Gammy, yang dikontrak setahun untuk menggunakan peralatan golf merk Mizuno. Dari Mizuno dia mengaku tak memperoleh imbalan uang. "Tapi kalau saya minta apa-apa, pasti dipenuhi," katanya lagi. Kehidupan yang serupa juga dijalani Mat Kajal, 42. Pemain pro ini, yang sudah menjadi kedi sejak umur 12 kini memiliki peralatan golf seharga Rp 1,6 juta. "Tapi jangan samakan kami dengan main pro luar negeri yang kaya-kaya itu." katanya. Mat Kajal juga cuma tamatan SD kelas III dan kini menjadi pelatih di lapangan golf Ancol. Latar belakang pendidikan yang kurang itu diakui berpengaruh besar terhadap pemain pro untuh meningkatkan prestasinya. Pegolf yang baik rata-rata lahir dari kalangan kedi, tapi, menurut Eddy Kussubagio, manajer lapangan golf Ancol, main golf pun memerlukan taktik. Artinya, perlu pendidikan lumayan, seperti yang dimiliki Sumarno dan Suparman, yang tamat SMEA itu. "Modal itulah yang tak ditemui pada Gemmy misalnya," ujar Eddy. Itu sebabnya, barangkali, yang menyebabkan perusahaan-perusahaan segan mensponsori pertandingan golf pro di Indonesia. "Kalau tak benar-benar punya prestasi, tidak akan dapat sponsor," kata Ibnu Sutowo. Meskipun demikian, bagi para pengusaha, alasannya bukan hanya karena prestasi pemain pro jelek. Tapi, semata-mata, mensponsori pertandingan golf memang tidak menguntungkan. "Golf itu lebih banyak ditujukan kepada kalangan atas, kurang merakyat. Biaya sponsornya akan lebih besar daripada imbalan yang akan diperoleh." kata Tanri Abeng, direktur utama PT Multi Bintang Indonesia. "Kalau kami akan mensponsori olah raga, kami pilih olah raga yang berkembang, tenis misalnya."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus