DARI semua negara yang turut dalam Kejuaraan Dunia Golf,
ternyata cuma Indonesia yang diwakili pemain amatir. Diseleksi
dari empat pemain amatir dan empat profesional, kedua
kakak-beradik Sumarno dan Suparman-lah yang akhirnya ditunjuk
ikut pada kejuaraan profesional itu. " Hanya mereka-lah yang
memiliki prestasi paling baik," ujar Richard Brain, pelatih yang
pelatih yang sengaja didatangkan dari Australia.
Pemain pro Indonesia prestasinya memang lebih buruk ketimbang
pemain amatir. Mereka bukan saja tak punya kesempatan untuk
berlatih, tapi faktor pendidikan juga rupanya tidak menunjang
mereka untuk meningkathan prestasi. "Kebanyakan mereka bekas
kedi," kata Ibnu Sutowo ketua umum Persatuan Golf Indonesia
(PGI).
Menurut Ibnu, mereka sibuk menjadi pelatih sehingga tak sempat
berlatih. Sedangkan untuk mengikuti suatu pertandingan, mereka
harus mengeluarkan biaya sendiri. "Kalau menang, bisa untung
dengan hadiah. Tapi kalau kalah, gigit jari," kaia Ibnu lagi.
Memang, dulu banyak pejabat dan swasta yang memberikan sponsor,
baik untuk mengirim pemain ke pertandinan di luar negeri maupun
untuk biaya latihan. "Itu bukan menjadikan mereka giat berlatih,
tapi hanya membuat mereka tergantung pada bapak-bapak. Prestasi
mereka tidak naik-naik," ujar Soebroto Koessoemardjo, sekretaris
jenderal PGI. "Pegolf pro kita mencari uang bukan untuk mengejar
prestasi."
Hanya dengan jadi pelatih, para pemain pro itu memperoleb uang.
Sedangkan dari pertandingan-pertandingan yang hanya setahun
sekali - amatir bisa lebih dari tiga kali - pemain pro hampir
tak memperoleh apa-apa. "Kadang-kadang suka tekor," kata Gemmy
Subagio tentang hadiah yang diperolehnya ketika masuk 15 besar
pada Kejuaraan Indonesia Terbuka, tahun lalu, dibandingkan
dengan biaya latihannya.
Gemmy, 28, tamatan SD kelas III, kini mengandalkan hidupnya
sebagai pelatih di padang golf Jaya Ancol. "Saya mengenal golf
justru karena miskin. Kalau kaya, mungkin saya tak pernah main
golf," katanya. Bekas kedi yang kini masih mengontrak sebuah
rumah kecil di gang sempit itu punya tarif Rp 4.000/jam sebagai
pelatih. "Kalau cuma mengandalkan dari main sebagai pro,
pendapatan kurang. Apalagi pendidikan saya rendah," ujar Gammy,
yang dikontrak setahun untuk menggunakan peralatan golf merk
Mizuno. Dari Mizuno dia mengaku tak memperoleh imbalan uang.
"Tapi kalau saya minta apa-apa, pasti dipenuhi," katanya lagi.
Kehidupan yang serupa juga dijalani Mat Kajal, 42. Pemain pro
ini, yang sudah menjadi kedi sejak umur 12 kini memiliki
peralatan golf seharga Rp 1,6 juta. "Tapi jangan samakan kami
dengan main pro luar negeri yang kaya-kaya itu." katanya. Mat
Kajal juga cuma tamatan SD kelas III dan kini menjadi pelatih di
lapangan golf Ancol.
Latar belakang pendidikan yang kurang itu diakui berpengaruh
besar terhadap pemain pro untuh meningkatkan prestasinya. Pegolf
yang baik rata-rata lahir dari kalangan kedi, tapi, menurut Eddy
Kussubagio, manajer lapangan golf Ancol, main golf pun
memerlukan taktik. Artinya, perlu pendidikan lumayan, seperti
yang dimiliki Sumarno dan Suparman, yang tamat SMEA itu. "Modal
itulah yang tak ditemui pada Gemmy misalnya," ujar Eddy. Itu
sebabnya, barangkali, yang menyebabkan perusahaan-perusahaan
segan mensponsori pertandingan golf pro di Indonesia. "Kalau tak
benar-benar punya prestasi, tidak akan dapat sponsor," kata Ibnu
Sutowo.
Meskipun demikian, bagi para pengusaha, alasannya bukan hanya
karena prestasi pemain pro jelek. Tapi, semata-mata, mensponsori
pertandingan golf memang tidak menguntungkan. "Golf itu lebih
banyak ditujukan kepada kalangan atas, kurang merakyat. Biaya
sponsornya akan lebih besar daripada imbalan yang akan
diperoleh." kata Tanri Abeng, direktur utama PT Multi Bintang
Indonesia. "Kalau kami akan mensponsori olah raga, kami pilih
olah raga yang berkembang, tenis misalnya."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini