SELAMA empat hari, 8 s/d 11 Desember 1983, mata dunia tertuju ke
Pondok Indah, sebuah areal seluas 60 hektar dengan fairway
sepanjang 6,3 km. Turnamen Golf Dunia ke-30 telah
berlangsung di sini dengan semarak, berkat sponsor Rp 500 juta
dari American Express Bank dan Xerox, berikut kelihaian tiga
pawang hujan. Tercatat 32 negara peserta diwakili 64 pemain yang
berkompetisi seraya menjelajah kawasan berbukit-bukit landai,
dialiri beberapa anak sungai.
Jembatan gantung bercat merah akan terlihat dari kejauhan,
begitu pula pondok-pondok kecil, ataupun bunker yang menghampar
di tempat-tempat tak terduga. Di Pondok Indah, tiap tee-box
dikawal sebuah patung kayu dengan gaya pahatan primitif. Di situ
tertera jarak (dalam yards) urutan dan hole.
Tapi, yang paling memukau dari semua ialah 18 green, yang
rumputnya hijau sempurna, mulus tiada tara. Tak seorang pun
luput memuji padang golf ini, baik pemain maupun pengurus IGA
(International Golf Association).
Dengan beberapa aliran sungai di sisi fairway yang lurus
membujur, medannya cukup menantang, setidaknya menuntut intuisi
dan akurasi. Jerry Anderson, pemain Kanada, terkena satu penalti
pada hari keempat karena bolanya mental ke sungai. Bola pemain
Australia sempat hook, melenceng ke kiri, jatuh antara rumpun
pohon hingga terbuang sekian belas menit untuk menemukannya.
Ada green yang permukaannya miring, sedikit beralun, hingga
bola, meskipun digulirkan John Cook, belum tentu masuk lubang.
Namun, pemain Belanda Wilfred Lemmens berhasil mengirimkan
pukulan hole in one pada hari ketiga. Siapa sangka, pemain
Belanda yang kurang diperhitungkan ini bisa menggondol hadiah Rp
10 juta berkat pukulannya itu.
Golf adalah olah raga tenang yang, konon, selalu menawarkan
jebakan dan kejutan. Munkin karena itu banyak ibu-ibu dan
bapak-bapak panitia yang tidak segan bertugas melancarkan
turnamen. Mereka ini umumnya pemain golf yang mempunyai waktu
dan tenaga supaya bisa menyaksikan dari dekat mutu permainan
golf yang datang dari delapan penjuru angin.
Bila saat putting, mereka segera mengacungkan papan
bertuliskan "keep quiet" dan "no camera". Atau kemudian
menghalo-halo penonton, juga mencatat ini-itu seperti dilakukan
para ibu. Turnamen ini digunakan mereka untuk belajar mengamati
sing, putting, dan sebagainya. Dan sebagainya. Mengapa? Tak
lain arena golf termasuk olah raga yang sukar ditaklukkan.
Seperti kata Ibnu Sutowo "Makin lama saya berlatih, rasanya
semakin bodoh saja."
Untuk olah raga mewah, yang jika dihitung secara jangka panjang
ternyata tidaklah begitu mahal itu, di seluruh Indonesia
tersedia sekitar 70 lapangan golf. Dua di antaranya, Pondok
Indah (Jakarta) dan Bedugul (Bali), tergolong paling baik di
dunia. Jumlah pemain seluruhnya sekitar 15.000 yang, menurut
Soebroto Koessoemardjo, sekretaris jenderal PGI (Persatuan Golf
Indonesia), mencatat perkembangan pesat.
Katanya, pada tahun 1960-an cuma ada 20 lapangan dengan hanya
2.000 pemain. Bahkan di lapangan tertua Jakarta Golf Club di
Rawamangun (yang dibuat 1872), baru ada tiga pemain Indonesia,
selebihnya orang asing belaka. Dikatakannya, peningkatan itu
terdorong oleh pembuatan driving range (tempat berlatih)
sekolah golf, serta turnamen nasional dan kompetisi klub yang
diadakan secara berkala.
Tapi ada beberapa faktor lain yang tidak bisa disisihkan.
Meningkatnya taraf hidup, meningkatnya tuntutan keluarga sehat,
serta makin beragamnya bentuk pergaulan kota. Beberapa pegolf
mengakui, motivasi mereka sifatnya komersial, untuk memperluas
relasi. Sebaliknya, ada yang demi anak, khususnya dalam rangka
mengarahkan dan mengawasi perkembangan remaja.
Jika Penulis John Updike menilai kehebatan golf dari ruang,
kehijauan, dan angin segar yang ditawarkannya, di sini bisa
ditaksir berapa jumlah rupiah van melekat di sana. Dibangun
tahun 1976, padang golf Pondok Indah pada mulanya dengan
investasi Rp 6 milyar berupa saham (stock) yang bernilai Rp 5
juta per lembar. "Sekarang harga saham naik Rp 75 juta," kata
Ir. Supardi Purwana, dari PT Pondok Indah. Tentu dengan catatan,
itulah padang golf termahal dan eksklusif di Indonesia.
Biaya perawatannya bervariasi. Yang murah sekitar Rp 4 juta
(lapangan untungan, Medan), Rp 2 juta (lapangan Candi,
Semarang), dan Rp 1 juta (lapangan Adisucipto: sembilan hole,
Yogyakarta). Jangan ditanya biaya perawatan Pondok Indah atau
Bedugul. Sementara itu, biaya pembuatan green sekurang-kurangnya
Rp 4 juta.
Investasi untuk peralatan juga bisa sangat beragam. Para pemula
boleh mencoba dengan satu perangkat stik bekas seharga Rp 200 -
Rp 300.000. Merk Wilson yang baru konon, bisa dibeli Rp 300.000.
Tapi kalau mencari merk Maruman, buatan Jepang yang sedang
ngetop, siap-siaplah dengan Rp 2¬ juta. Kalau dibeli di Pasar
Baru, harganya bisa melejit Rp 4 juta.
Belum lagi sepatu (Rp 25.000 yang buatan dalam negeri) sampai Rp
60.000, T-shirt berbagai merk: Maruman, Arnold Palmer Grand Slam
(Rp 25.000-Rp 60.000), celana Rp 40.000-60.000, kaus tangan (Rp
7.000- 15.000), dan bola per lusin Rp 22.000 (dua ukuran: 1,62
dan 1,68 inci). Belum lagi tas untuk stik, yang Rp
150.000-400.000, kereta stik, dan juga alat semprot dengan
minyak stik. Terlalu mengada-ada? Mungkin tidak. Bukankah itu
semua untuk keperluan jangka pajang, yang bisa dimanfaatkan
bertahun-tahun, bahkan sampai bosan?
Beberapa pegolf, setelah menghitung-hitung, paling tinggi
menghabiskan Rp 50.000 untuk main golf, termasuk sewa lapangan,
tip untuk caddy (kedi), bola, dan lain sebagainya. "Golf tidak
mahal," kata dr. Syarif, yang berdomisili di Bandung. Hanya
diakuinya, penyediaan pelbagai perangkat golf itulah yang mahal.
"Setelah itu tidak terlalu mahal dibanding tenis, yang bolanya
cepat aus," ujarnya meyakinkan. Robert berpendapat sama, bahkan
menilai golf sebagai olah raga masih lebih baik daripada tenis,
yang sekarang meluas penggemarnya. "Main tenis memeras tenaga,
tapi golf tidak. Ada santainya," la membela.
Jarna, pengurus lapangan Bedugul lebih menarik. "Main tenis dua
ronde bosan, tapi main golf satu hari, ya, kerasan," katanya
serius. Dia bahkan menilai bulu tangkis lebih mahal dari golf
karena lebih boros.
Peluang bermain di tengah alam juga memberi nilai lebih bagi
golf. Keluarga S. Waloejodjati, pemilik CV Restu Agung di Yogya,
berkenalan dengan golf karena sang ayah menderita asma. "Di
lapangan luas, udara segar membuat saya bernapas dengan lapang,"
kata bapak yang biasa main sembilan hole itu.
T.M. Majid, petugas DPRD Sumatera Utara, komentarnya lain lagi.
"Pegolf itu sgperti orang senewen, habis mukul bola, jalan lagi,
begitu saja," ujarnya. Tapi permainan bisa terasa sedap kalau,
misalnya, bola bisa lolos dari ranting pohon yang merintangi.
"Daripada dibayar Rp 10.000, saya lebih memilih kesedapan yang
begitu," cetus Majid. Menurut pcnghayatannya, beda golf dan
tenis terletak dalam satu hal: Jika dalam tenims kita bertarung
menghadapi lawan, dalam golf sang pemain melawan diri sendiri.
Jarna di Bedugul berpendapat sama. Begitu juga, agaknya,
pendapat sebagian besar pegolf di dunia. "Kita benar-benar
melawan diri sendiri. Tidak ada lawan, hanya alam yang
mcndampingi. Dan bergulat dengan alam, asyik," kata orang Bali
itu.
Karena sifat permainannya, golf menul1tut kejujuran dari sang
pemain. Ia, misalnya, sudah tidak sportif jika setelah
menghabishan 10 pukulan kemudian mengaku bermain par. Itu
keterlaluan, mencerminkan mental yang perlu perbaikan.
Tapi kecenderungan menipu diri sendiri bukan tidak ada. Karena
itu, tidak heran bila mereka yang arif akan segera dapat
mengukur watak dan integritas seseorang dari cara dan gaya
bermainnya di lapangan golf. Agaknya, di padang golf, juga
banyak "penipu" yang berkeliaran meski penampilannya sopan.
Karena golf tidak mengenal batas usia, permainan ini bisa
dinikmati sekeluarga. Tidak jarang, sepasang suami istri
memboyong anak-anak remaja mereka ke lapangan. Keluarga Herfien
M.S., direktur LLAJR, berhasil menggaet tiga dari lima anak
mereka untuk sama-sama "jatuh cinta" pada golf.
Sukses yang sama terjadi pada keluarga 'Waloejodjati di Yogya.
Buku, majalah, kaset video, dan petunjuk kedi membantu mereka
memperkenalkan olah raga itu kepada anak-anak. Tapi sekolah
golf juga ada, di Jakarta misalnya.
Peminatnya yang remaja ternyata musiman. Sekali waktu, mereka
masuk berbondong-bondong, tapi tiba-tiba lenyap begitu saja.
Ini dikisahkan John W.F. Lantang, 56, kepala Jakarta Golf
School. Dua tahun pertama, katanya, banyak remaja, tapi sekarang
siswanya terdiri dari kaum bapak dan ibu. Peminatnya golongan
menengah ke atas, "Yang ABRI dari kaDten sampai jenderal. Yang
insinyur dan Dokter tidak terhitung lagi," tutur Lantang.
Diprakarsai oleh D. Soeprajogi, pimpinan KONI Pusat, sekolah ini
tidak dengan sendirinya langsung bisa mencetak pemain golf
dengan handicap rendah. Waktu belajar tiga bulan hanya memberi
bekal teknis dan disiplin. Seperti kata Lantang, "main golf
mendidik orang untuk disiplin, jujur menghitung angka,
penampilan bersih, kesopanan terjaga."
Jika permainan golf dianggap bisa "menyempurnakan" pribadi
orang, apakah alat-alatnya juga bisa "melengkapkan" keuntungan
pedagang? Ternyata tidak. Beberapa toko alat sport di Surabaya,
Semarang, Malang, dan Yogya mengeluh. Alat golf sepi dari
pembeli.
Suryanto, pemilik toko Garuda di Yogya mengeluh karena tiga set
stik golfnya tidak kunjung laku, padahal Wilson ia jual hanya Rp
300 ribu. Yang selalu dicari cuma bola golf. Itu pun tiap bulan
paling banyak terjual dua lusin. Di Surabaya, toko sport
bersaingan dengan kios khusus yang "berjualan" di Yani Golf
Club. "Semua sudah ada di sana," kata seorang pedagang alat
sport di pertokoan Gubeng.
Mungkin hanya Parveen Kapoor yang bisa optimistis. Pemilik toko
Hari Bros di Pasar Baru, Jakarta, dengan ceria dapat berkata,
"Lima tahun terakhir ini penjualan alat-alat golf meningkat
sekitar 30%." Itu, katanya, karena merk-merk baru, seperti
Maruman yang dibuat di Jepang, disukai lantaran ringan. Parveen
rupanya tidak menyadari bahwa pegolf Jakarta meningkat 7.000
orang, hampir 50% dari jumlah pemain di seluruh Indonesia.
Namun, penjualan stik masih agak seret, sedangkan yang banyak
laku tetaplah berbagai suku cadang yang menunjangnya, seperti
kaus, sepatu, sarung tangan, dan bola. Tapi karena menurut
Parveen "standar hidup di Indonesia sudah tinggi",
diperkirakannya bahwa omset penjualan akan terus meningkat.
Apalagi sesudah turnamen kejuaraan dunia berakhir. Siapa tahu
akan berjangkit demam golf.
Demam itu untuk kawasan Asia - apa boleh buat- baru berjangkit
di Jepang saja. Takemika, marshall (pengawas) turnamen kejuaraan
dunia Pondok Indah, menyebutkan sebabnya cuma satu, yakni,
karena golf bisa dimainkan sepanjang tahun. Untuk bisa bermain
sekali, orang harus pesan empat dua minggu sebelumnya. Lapangan
golf, yang di Tokyo jumlahnya 100, benar-benar menjadi rebutan.
Betapa tidak, jumlah pemainnya (jangan kaget) mencapai lima juta
orang. Wah! Itu semua mewakili rentang usia dari 16 sampai 80
tahun.
Jangan heran jika orang-orang Jepang yang berdomisili di
Indonesia pun membanjiri lapangan laksana makhluk kesurupan.
Sabtu dan Minggu biasanya para Nippon merajai lapangan golf
Jakarta. Di mana-mana yang tampak hanya mereka. Dan kalau sudah
main, seperti tidak puas-puasnya. Tidak cukup 18 hole, mereka
sambung 36 hole. Bahkan ada yang main 12 jam sehari, mengitari
100 hole. Edan!
Rumput lapangan yang mereka injak konon sampai rusak, setidaknya
begitulah yang dikeluhkan para manajer lapangan, baik di ibu
kota maupun di daerah. Soalnya, kalau berjalan, mereka menyeret
kaki, kebiasaan yang sungguh merugikan, tapi sukar diklaim.
Tentang ini Takemika punya alasan lain. "Tidak betul itu. Orang
Jepang kalau berjalan kakinya tidak diseret, cuma jalannya saja
yang cepat sekali."
Lain Jepang, lain pula Sumarno, 27, dan Suparman, 26. Kakak
beradik yang mewakili Indonesia dalam turnamen kejuaraan golf
dunia yang baru berselang, berasal dari keluarga tidak mampu.
"Saya menjadi kedi untuk membayar uang sekolah, " ucapnya
terus-terang.
Anak Siman, almarhum mandor di perkebunan Tuntungan, Medan, itu
akhirnya dapat mengembangkan permainan berkat kemurahan hati
Letnan Jenderal Muskita (kini duta besar di Jerman Barat). Dalam
kejuaraan antarkedi, tahun 1972, Sumarno menang. Itu hal yang
meningkatkan jenjangnya.
Jejaknya diikuti sang adik, Suparman. Richard Brain, pelatih
dari Australia, memilih mereka dari delapan pemain yang
dicalonkan mewakili Indonesia untuk turnamen Pondok Indah. Dalam
pertandingan pemanasan, keduanya bermain meyakinkan, bahkan
Sumarno mencatat angka 65. Artinya, 7 di bawah par. Malang,
dalam kompetisi selarna empat hari, keunggulan itu tiba-tiba
sirna.
Posisi Indonesia akhirnya merosot ke nomor 20 untuk kejuaraan
beregu dengan jumlah angka 603. Itu pun dianggap sudah lumayan
karena lewat Sumarno dan Suparman, Indonesia akhirnya masuk
dalam 20 besar slunia. Namun, inilah satu puncak, dalam karier
mereka yang singkat. Puncak-puncak lain masih harus ditaklukkan.
Jalan masih terentang panjang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini