Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Dari stik ke stock, dan rumput hijau

Turnamen golf dunia ke-30 di pondok indah, jakarta juara beregu diraih oleh pegolf a.s, john cook dan rex caldwell. juara perorangan direbut dave barr dari kanada. (or)

17 Desember 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SELAMA empat hari, 8 s/d 11 Desember 1983, mata dunia tertuju ke Pondok Indah, sebuah areal seluas 60 hektar dengan fairway sepanjang 6,3 km. Turnamen Golf Dunia ke-30 telah berlangsung di sini dengan semarak, berkat sponsor Rp 500 juta dari American Express Bank dan Xerox, berikut kelihaian tiga pawang hujan. Tercatat 32 negara peserta diwakili 64 pemain yang berkompetisi seraya menjelajah kawasan berbukit-bukit landai, dialiri beberapa anak sungai. Jembatan gantung bercat merah akan terlihat dari kejauhan, begitu pula pondok-pondok kecil, ataupun bunker yang menghampar di tempat-tempat tak terduga. Di Pondok Indah, tiap tee-box dikawal sebuah patung kayu dengan gaya pahatan primitif. Di situ tertera jarak (dalam yards) urutan dan hole. Tapi, yang paling memukau dari semua ialah 18 green, yang rumputnya hijau sempurna, mulus tiada tara. Tak seorang pun luput memuji padang golf ini, baik pemain maupun pengurus IGA (International Golf Association). Dengan beberapa aliran sungai di sisi fairway yang lurus membujur, medannya cukup menantang, setidaknya menuntut intuisi dan akurasi. Jerry Anderson, pemain Kanada, terkena satu penalti pada hari keempat karena bolanya mental ke sungai. Bola pemain Australia sempat hook, melenceng ke kiri, jatuh antara rumpun pohon hingga terbuang sekian belas menit untuk menemukannya. Ada green yang permukaannya miring, sedikit beralun, hingga bola, meskipun digulirkan John Cook, belum tentu masuk lubang. Namun, pemain Belanda Wilfred Lemmens berhasil mengirimkan pukulan hole in one pada hari ketiga. Siapa sangka, pemain Belanda yang kurang diperhitungkan ini bisa menggondol hadiah Rp 10 juta berkat pukulannya itu. Golf adalah olah raga tenang yang, konon, selalu menawarkan jebakan dan kejutan. Munkin karena itu banyak ibu-ibu dan bapak-bapak panitia yang tidak segan bertugas melancarkan turnamen. Mereka ini umumnya pemain golf yang mempunyai waktu dan tenaga supaya bisa menyaksikan dari dekat mutu permainan golf yang datang dari delapan penjuru angin. Bila saat putting, mereka segera mengacungkan papan bertuliskan "keep quiet" dan "no camera". Atau kemudian menghalo-halo penonton, juga mencatat ini-itu seperti dilakukan para ibu. Turnamen ini digunakan mereka untuk belajar mengamati sing, putting, dan sebagainya. Dan sebagainya. Mengapa? Tak lain arena golf termasuk olah raga yang sukar ditaklukkan. Seperti kata Ibnu Sutowo "Makin lama saya berlatih, rasanya semakin bodoh saja." Untuk olah raga mewah, yang jika dihitung secara jangka panjang ternyata tidaklah begitu mahal itu, di seluruh Indonesia tersedia sekitar 70 lapangan golf. Dua di antaranya, Pondok Indah (Jakarta) dan Bedugul (Bali), tergolong paling baik di dunia. Jumlah pemain seluruhnya sekitar 15.000 yang, menurut Soebroto Koessoemardjo, sekretaris jenderal PGI (Persatuan Golf Indonesia), mencatat perkembangan pesat. Katanya, pada tahun 1960-an cuma ada 20 lapangan dengan hanya 2.000 pemain. Bahkan di lapangan tertua Jakarta Golf Club di Rawamangun (yang dibuat 1872), baru ada tiga pemain Indonesia, selebihnya orang asing belaka. Dikatakannya, peningkatan itu terdorong oleh pembuatan driving range (tempat berlatih) sekolah golf, serta turnamen nasional dan kompetisi klub yang diadakan secara berkala. Tapi ada beberapa faktor lain yang tidak bisa disisihkan. Meningkatnya taraf hidup, meningkatnya tuntutan keluarga sehat, serta makin beragamnya bentuk pergaulan kota. Beberapa pegolf mengakui, motivasi mereka sifatnya komersial, untuk memperluas relasi. Sebaliknya, ada yang demi anak, khususnya dalam rangka mengarahkan dan mengawasi perkembangan remaja. Jika Penulis John Updike menilai kehebatan golf dari ruang, kehijauan, dan angin segar yang ditawarkannya, di sini bisa ditaksir berapa jumlah rupiah van melekat di sana. Dibangun tahun 1976, padang golf Pondok Indah pada mulanya dengan investasi Rp 6 milyar berupa saham (stock) yang bernilai Rp 5 juta per lembar. "Sekarang harga saham naik Rp 75 juta," kata Ir. Supardi Purwana, dari PT Pondok Indah. Tentu dengan catatan, itulah padang golf termahal dan eksklusif di Indonesia. Biaya perawatannya bervariasi. Yang murah sekitar Rp 4 juta (lapangan untungan, Medan), Rp 2 juta (lapangan Candi, Semarang), dan Rp 1 juta (lapangan Adisucipto: sembilan hole, Yogyakarta). Jangan ditanya biaya perawatan Pondok Indah atau Bedugul. Sementara itu, biaya pembuatan green sekurang-kurangnya Rp 4 juta. Investasi untuk peralatan juga bisa sangat beragam. Para pemula boleh mencoba dengan satu perangkat stik bekas seharga Rp 200 - Rp 300.000. Merk Wilson yang baru konon, bisa dibeli Rp 300.000. Tapi kalau mencari merk Maruman, buatan Jepang yang sedang ngetop, siap-siaplah dengan Rp 2¬ juta. Kalau dibeli di Pasar Baru, harganya bisa melejit Rp 4 juta. Belum lagi sepatu (Rp 25.000 yang buatan dalam negeri) sampai Rp 60.000, T-shirt berbagai merk: Maruman, Arnold Palmer Grand Slam (Rp 25.000-Rp 60.000), celana Rp 40.000-60.000, kaus tangan (Rp 7.000- 15.000), dan bola per lusin Rp 22.000 (dua ukuran: 1,62 dan 1,68 inci). Belum lagi tas untuk stik, yang Rp 150.000-400.000, kereta stik, dan juga alat semprot dengan minyak stik. Terlalu mengada-ada? Mungkin tidak. Bukankah itu semua untuk keperluan jangka pajang, yang bisa dimanfaatkan bertahun-tahun, bahkan sampai bosan? Beberapa pegolf, setelah menghitung-hitung, paling tinggi menghabiskan Rp 50.000 untuk main golf, termasuk sewa lapangan, tip untuk caddy (kedi), bola, dan lain sebagainya. "Golf tidak mahal," kata dr. Syarif, yang berdomisili di Bandung. Hanya diakuinya, penyediaan pelbagai perangkat golf itulah yang mahal. "Setelah itu tidak terlalu mahal dibanding tenis, yang bolanya cepat aus," ujarnya meyakinkan. Robert berpendapat sama, bahkan menilai golf sebagai olah raga masih lebih baik daripada tenis, yang sekarang meluas penggemarnya. "Main tenis memeras tenaga, tapi golf tidak. Ada santainya," la membela. Jarna, pengurus lapangan Bedugul lebih menarik. "Main tenis dua ronde bosan, tapi main golf satu hari, ya, kerasan," katanya serius. Dia bahkan menilai bulu tangkis lebih mahal dari golf karena lebih boros. Peluang bermain di tengah alam juga memberi nilai lebih bagi golf. Keluarga S. Waloejodjati, pemilik CV Restu Agung di Yogya, berkenalan dengan golf karena sang ayah menderita asma. "Di lapangan luas, udara segar membuat saya bernapas dengan lapang," kata bapak yang biasa main sembilan hole itu. T.M. Majid, petugas DPRD Sumatera Utara, komentarnya lain lagi. "Pegolf itu sgperti orang senewen, habis mukul bola, jalan lagi, begitu saja," ujarnya. Tapi permainan bisa terasa sedap kalau, misalnya, bola bisa lolos dari ranting pohon yang merintangi. "Daripada dibayar Rp 10.000, saya lebih memilih kesedapan yang begitu," cetus Majid. Menurut pcnghayatannya, beda golf dan tenis terletak dalam satu hal: Jika dalam tenims kita bertarung menghadapi lawan, dalam golf sang pemain melawan diri sendiri. Jarna di Bedugul berpendapat sama. Begitu juga, agaknya, pendapat sebagian besar pegolf di dunia. "Kita benar-benar melawan diri sendiri. Tidak ada lawan, hanya alam yang mcndampingi. Dan bergulat dengan alam, asyik," kata orang Bali itu. Karena sifat permainannya, golf menul1tut kejujuran dari sang pemain. Ia, misalnya, sudah tidak sportif jika setelah menghabishan 10 pukulan kemudian mengaku bermain par. Itu keterlaluan, mencerminkan mental yang perlu perbaikan. Tapi kecenderungan menipu diri sendiri bukan tidak ada. Karena itu, tidak heran bila mereka yang arif akan segera dapat mengukur watak dan integritas seseorang dari cara dan gaya bermainnya di lapangan golf. Agaknya, di padang golf, juga banyak "penipu" yang berkeliaran meski penampilannya sopan. Karena golf tidak mengenal batas usia, permainan ini bisa dinikmati sekeluarga. Tidak jarang, sepasang suami istri memboyong anak-anak remaja mereka ke lapangan. Keluarga Herfien M.S., direktur LLAJR, berhasil menggaet tiga dari lima anak mereka untuk sama-sama "jatuh cinta" pada golf. Sukses yang sama terjadi pada keluarga 'Waloejodjati di Yogya. Buku, majalah, kaset video, dan petunjuk kedi membantu mereka memperkenalkan olah raga itu kepada anak-anak. Tapi sekolah golf juga ada, di Jakarta misalnya. Peminatnya yang remaja ternyata musiman. Sekali waktu, mereka masuk berbondong-bondong, tapi tiba-tiba lenyap begitu saja. Ini dikisahkan John W.F. Lantang, 56, kepala Jakarta Golf School. Dua tahun pertama, katanya, banyak remaja, tapi sekarang siswanya terdiri dari kaum bapak dan ibu. Peminatnya golongan menengah ke atas, "Yang ABRI dari kaDten sampai jenderal. Yang insinyur dan Dokter tidak terhitung lagi," tutur Lantang. Diprakarsai oleh D. Soeprajogi, pimpinan KONI Pusat, sekolah ini tidak dengan sendirinya langsung bisa mencetak pemain golf dengan handicap rendah. Waktu belajar tiga bulan hanya memberi bekal teknis dan disiplin. Seperti kata Lantang, "main golf mendidik orang untuk disiplin, jujur menghitung angka, penampilan bersih, kesopanan terjaga." Jika permainan golf dianggap bisa "menyempurnakan" pribadi orang, apakah alat-alatnya juga bisa "melengkapkan" keuntungan pedagang? Ternyata tidak. Beberapa toko alat sport di Surabaya, Semarang, Malang, dan Yogya mengeluh. Alat golf sepi dari pembeli. Suryanto, pemilik toko Garuda di Yogya mengeluh karena tiga set stik golfnya tidak kunjung laku, padahal Wilson ia jual hanya Rp 300 ribu. Yang selalu dicari cuma bola golf. Itu pun tiap bulan paling banyak terjual dua lusin. Di Surabaya, toko sport bersaingan dengan kios khusus yang "berjualan" di Yani Golf Club. "Semua sudah ada di sana," kata seorang pedagang alat sport di pertokoan Gubeng. Mungkin hanya Parveen Kapoor yang bisa optimistis. Pemilik toko Hari Bros di Pasar Baru, Jakarta, dengan ceria dapat berkata, "Lima tahun terakhir ini penjualan alat-alat golf meningkat sekitar 30%." Itu, katanya, karena merk-merk baru, seperti Maruman yang dibuat di Jepang, disukai lantaran ringan. Parveen rupanya tidak menyadari bahwa pegolf Jakarta meningkat 7.000 orang, hampir 50% dari jumlah pemain di seluruh Indonesia. Namun, penjualan stik masih agak seret, sedangkan yang banyak laku tetaplah berbagai suku cadang yang menunjangnya, seperti kaus, sepatu, sarung tangan, dan bola. Tapi karena menurut Parveen "standar hidup di Indonesia sudah tinggi", diperkirakannya bahwa omset penjualan akan terus meningkat. Apalagi sesudah turnamen kejuaraan dunia berakhir. Siapa tahu akan berjangkit demam golf. Demam itu untuk kawasan Asia - apa boleh buat- baru berjangkit di Jepang saja. Takemika, marshall (pengawas) turnamen kejuaraan dunia Pondok Indah, menyebutkan sebabnya cuma satu, yakni, karena golf bisa dimainkan sepanjang tahun. Untuk bisa bermain sekali, orang harus pesan empat dua minggu sebelumnya. Lapangan golf, yang di Tokyo jumlahnya 100, benar-benar menjadi rebutan. Betapa tidak, jumlah pemainnya (jangan kaget) mencapai lima juta orang. Wah! Itu semua mewakili rentang usia dari 16 sampai 80 tahun. Jangan heran jika orang-orang Jepang yang berdomisili di Indonesia pun membanjiri lapangan laksana makhluk kesurupan. Sabtu dan Minggu biasanya para Nippon merajai lapangan golf Jakarta. Di mana-mana yang tampak hanya mereka. Dan kalau sudah main, seperti tidak puas-puasnya. Tidak cukup 18 hole, mereka sambung 36 hole. Bahkan ada yang main 12 jam sehari, mengitari 100 hole. Edan! Rumput lapangan yang mereka injak konon sampai rusak, setidaknya begitulah yang dikeluhkan para manajer lapangan, baik di ibu kota maupun di daerah. Soalnya, kalau berjalan, mereka menyeret kaki, kebiasaan yang sungguh merugikan, tapi sukar diklaim. Tentang ini Takemika punya alasan lain. "Tidak betul itu. Orang Jepang kalau berjalan kakinya tidak diseret, cuma jalannya saja yang cepat sekali." Lain Jepang, lain pula Sumarno, 27, dan Suparman, 26. Kakak beradik yang mewakili Indonesia dalam turnamen kejuaraan golf dunia yang baru berselang, berasal dari keluarga tidak mampu. "Saya menjadi kedi untuk membayar uang sekolah, " ucapnya terus-terang. Anak Siman, almarhum mandor di perkebunan Tuntungan, Medan, itu akhirnya dapat mengembangkan permainan berkat kemurahan hati Letnan Jenderal Muskita (kini duta besar di Jerman Barat). Dalam kejuaraan antarkedi, tahun 1972, Sumarno menang. Itu hal yang meningkatkan jenjangnya. Jejaknya diikuti sang adik, Suparman. Richard Brain, pelatih dari Australia, memilih mereka dari delapan pemain yang dicalonkan mewakili Indonesia untuk turnamen Pondok Indah. Dalam pertandingan pemanasan, keduanya bermain meyakinkan, bahkan Sumarno mencatat angka 65. Artinya, 7 di bawah par. Malang, dalam kompetisi selarna empat hari, keunggulan itu tiba-tiba sirna. Posisi Indonesia akhirnya merosot ke nomor 20 untuk kejuaraan beregu dengan jumlah angka 603. Itu pun dianggap sudah lumayan karena lewat Sumarno dan Suparman, Indonesia akhirnya masuk dalam 20 besar slunia. Namun, inilah satu puncak, dalam karier mereka yang singkat. Puncak-puncak lain masih harus ditaklukkan. Jalan masih terentang panjang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus