PERTANDINGAN masih bersisa satu babak, ketika Jan Timman
memastikan dirinya menjadi juara. Dalam partai tunda turnamen
catur 21 babak yang dimainkan minggu lalu, ia menahan remis
Andras Adorjan, dari Amerika Serikat, untuk menambah nilainya
menjadi 15, 1« angka lebih tinggi dan lawan yang menguntitnya,
pecatur Uni Soviet, Arthur Yusupov.
Ini berarti, babak terakhir Turnamen Catur Grandmaster Indonesia
II, yang berlangsung sejak 12 November dan berakhir Senin malam
lalu itu, tak berpengaruh lagi terhadap posisinya. Ia tetap
berhak membawa pulang piala Nyonya Tien Soeharto.
Bagi Timman, yang menggembirakan tentu bukan cuma piala itu.
Hadiah uang Rp 10 juta plus Rp 10 ribu kali jumlah angka
kemenangannya mungkin lebih nenghibur dirinya. Sebab, sebagai
pemain profesional yang tak punya pekerjaan lain, ia mengejar
hadiah-hadiah seperti itulah. Suksesnya di arena pertandingan
internasional menentukan pula penghasilan buat kehidupannya.
Namun, suksesnya dl pertandingan tingkat dunia itu bukan tanpa
modal. Pecatur Belanda ini sudah mengenal catur sejak usia 9
tahun. Karier profesionalnya mulai pada turnamen AVRO, tahun
1973. Walau ia menduduki urutan bawah, bakatnya segera tercium
Profesor Max Euwe. Bekas juara dunia dan ketua FIDE dari Belanda
ini bersedia mencarikan dana bagi Timman, agar bisa mcngikuti
turnamen internasional sebanyak mungkin, untuk menambah
pengalaman dan kematangan bermain.
Namun, tahun berikutnya, prestasi Timman ternyata tak begitu
menggembirakan. Bahkan, pada tahun 1975, sebagai juara Belanda,
dalam turnamen IBM, ia hanya menempati urutan ke-11 dari 16
peserta. Baru setahun kemudian prestasinya naik. Ia berhasil
masuk 20 besar dunia dengan menduduki urutan ke-16.
Untuk meningkatkan prestasinya, tahun 1978, para penyokongnya
membentuk panitia khusus pengumpul dana. Tujuannya, menjadikan
dia juara dunia. Panitia ini diketuai oleh, lagi-lagi, Max Euwe.
Hasilnya, walau tak sampai mengangkatnya pada posisi setinggi
yang diharapkan, cukup lumayan. Dalam tahun itu juga, pada
turnamen di Hoogoven, Negeri Belanda, Timman menempati urutan
keempat, di bawah Korchnoi, Portisch, dan Andersson. Korchnoi
dan Portisch waktu itu sudah merupakan pemain urutan ke-2 dan
ke-3 dalam daftar FIDE, di bawah Karpov.
Di turnamen di Bugojno, masih pada tahun yang sama, ia berhasil
menempati posisi ketiga, di bawah Karpov dan Spassky, tetapi
masih unggul atas pemain dunia lainnya, seperti Ljubojevic dan
Portisch.
Kemenangan-kemenangan ini membuat posisinya dalam daftar pemain
terkuat FIDE, tahun 1978, naik ke urutan kelima. Puncak prestasi
dicapainya tahun 1982, ketika ia menduduki urutan kedua dunia,
dengan rating 2655, dan hanya diungguli Karpov. Sedangkan di
bawahnya, tercatat sejumlah nama besar dunia, seperti Korchnoi,
Spassky, dan Portisch.
Belum lagi gelar juara dunia sempat diraihnya, prestasinya lebih
dulu melorot lagi. Sehingga, tahun ini ia hanya menduduki urutan
ke-11, dengan rating 2605, di bawah nama-nama yang dulu pernah
dikalahkannya, seperti Ljubojevic dan Andersson.
Sampai saat ini, pecatur ganteng dengan istri keturunan Negro
dan dua anak itu tak bisa menhitun lai berapa turnamen yang
telah diikutinya. "Dalam setahun saja bisa puluhan kali,"
ujarnya kepada TEMPO. Dari turnamen-turnamen itulah ia hidup.
"Saya benar-benar tak punya peker)aan lam kecuali catur," tutur
Timman.
Kesempatan untuk ikut turnamen sebanyak ini, sayangnya, tak
dipunyai pecaturpecatur Indonesia. Sehingga, mereka tak bisa
benar-benar menjadi profesional dan sulit menang melawan pecatur
asing. Ini terbukti dalam Turnamen Grandmaster Indonesia II yang
baru saja selesai itu. Dari lima pecatur Indonesia yang ikut,
hanya Ronny Gunawan yang mencatat prestasi. Lainnya berada pada
urutan terbawah. Ronny, dalam turnamen ini, berhasil meraih
gelar Master Internasional.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini