OSH. Apakah salam persaudaraan itu kelihatan tak ada, pamornya
lagi di mata Ananda Firman? Begitu karateka Sumatera Utara itu
dikalahkan oleh Bagus Elan dari Jawa Barat, ia tak berhenti di
pentas pertandingan.
Ceritanya begini: setelah regu Sumatera Utara tersisih di ronde
pertama atas regu Kalimantan Selatan, Firman masih berharap bisa
muncul dalam nomor perorangan. Minimal di kelompok 20 Besar.
Untuk meraih medali, kans dirinya boleh dikatakan tak ada.
Mengingat saingannya adalah karateka seperti Advent Bangun,
Herman Lukas Tampoudung, Atut maupun nama lainnya yang merupakan
favorit untuk tampil di panggung kehormatan.
Target 20 Besar itu dikejar Firman adalah atas dasar keputusan
Musyawarah Lembaga Aliran FORKI. Menurut keputusan tersebut,
mereka yang berhasil masuk kelompok 20 ini, otomatis dimasukkan
dalam pelatnas untuk kejuaraan dunia World Union of Karate-do
Organization (WUKO) -- turnamen akan berlangsung di Tokyo,
Nopember depan. Meski karateka terpilih tersebut tidak dengan
sendirinya mewakili Indonesia di sana. Sebab mereka masih harus
melewati seleksi lagi.
Terpilih atau tidak nantinya, bagi Firman bukanlah persoalan
utama, tampaknya. Langkah pertama yang ingin diubernya adalah
masuk dalam daftar penghuni pelatnas.
Tapi harapan Firman itu punah ketika 4 wasit berbagi bendera
penilaian atas permainannya melawan Elan - 2 putih untuk
kemenangan Firman dan 2 merah buat keberhasilan Elan.
Pertandingan dinyatakan seri. Mereka harus bertarung ulang
kembali. Dalam pertarungan lanjutan itu segalanya berakhir bagi
Firman. Ia kalah.
Undangan Mendadak
Babak itu sebetulnya bisa dilewati Firman. Asalkan wasit drs.
Yoyo Mulyana mau mengangkat bendera putih untuk Firman yang
bernaung dalam satu perguruan dengan dirinya (keduanya dari
pergunlan Kyushinryu Karate-do Indonesia atau KKI). Menurut isyu
di kalangan karateka tertentu, semua wasit KKI yang bertugas
dalam pertandingan PON IX 'diinstruksikan' untuk membantu
karateka mereka agar bisa masuk 20 besar. Kabar burung itu
dibantah tegas oleh Mulyana. Ia mengatakan, tidak ada
'instruksi' demikian dari perguruannya.
Ada 'instruksi' atau bukan, dalam fikiran Firman, kekalahan
dirinya tak lain disebabkan oleh penilaian Mulyana yang keliru.
Tanpa mencek lebih lanjut, ia lalu mengirim kurir ke Wisma PHI
Cempaka Putih - tempat penampungan wasit. Kurir ituah yang
mengajak Mulyana ke suatu tempat di Jalan Pramuka, tak jauh dari
tempat penginapannya. Alasan si kurir: ia diminta untuk hadir
guna membicarakan hal yang berkaitan dengan kongres karateka di
Ciloto, 5 Agustus 1977. Kejadian itu Senin, 26 Juli malam.
Mulyana yang menjadi anggota Dewan Guru KKI itu sama sekali
tidak menaruh kecurigaan terhadap undangan yang mendadak
tersebut. Ia baru mafhum setelah yang dilihatnya menunggu adalah
Firman dan pelatihnya. Mereka memperlihatkan ketidak-puasan
terhadap keputusan Mulyana dalam memberikan penilaian siangnya.
Mereka berdebat. Penyelesaian silang pendapat itu berakhir
dengan jurus-jurus karate. Akibatnya: Mulyana (Dan 11) berbaring
di Rumah Sakit Islam, Cempaka Putih. Ia dinyatakan menderita
gegar otak akibat pengeroyokan Firman dkk.
Kepada wartawati TEMPO, Linda Djalil yang menemui Mulyana di
Rumah Sakit Islam - yang sudah mulai bisa duduk - minggu lalu ia
mengungkapkan kembali, mengapa ia memberi kemenangan buat Elan.
"Firman itu cuma gede badan. Ia sama sekali tidak mempunyai
teknik yang efektif. Fokus danpower (kekuatan pukulan)-nya
kurang," ujar Mulyana yang juga mewasiti pertandingan karate
dalam PON VIII 1973 maupun dalam kejuaraan nasional di Surabaya,
tahun silam.
Ia menambahkan, untung pada waktu pengeroyokan yang dilakukan
Firman (Dan I) dirinya masih sanggup menahan emosi. "Kalau saya
ladeni persoalannya akan lebih buruk," lanjut Mulyana.
Maksudnya: dari fihak pengeroyok mungkin ada yang bakal menghuni
rumah sakit pula.
Sanksi apakah yang bakal diterima Firman atas perbuatannya itu?
Menurut Mulyana bisa macam-macam: dipecat atau diturunkan
tingkatnya. "Semua itu tergantung pada perguruan," ujarnya
sambil meyakinkan bahwa ia sama sekali tidak merasa dendam
kepada pengeroyok yang sempat mendekam di Komdak Metro Jaya
selama 6 hari itu. Ia cuma meminta agar sanksi perguruan juga
dijatuhkan pada pelatih Firman. "Tidak mungkin ia bertindak
demikian tanpa bantuan pelatihnya."
Kasus pengeroyokan Mulyana itu tentulah sangat mengurangi nama
baik olahraga karate - yang di negeri asalnya, Jepang, dikenal
untuk juga mendidik sikap kesatria - bukan untuk main gebrag.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini