Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Dan wasit itu geger otak

Ananda firman, sumut, dikalahkan bagus elan dari jawa barat. firman tak puas penilaian wasit, yoyo mulyana dan mengeroyoknya. mulyana geger otak, masuk rumah sakit. firman dkk ditahan polisi. (or)

13 Agustus 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

OSH. Apakah salam persaudaraan itu kelihatan tak ada, pamornya lagi di mata Ananda Firman? Begitu karateka Sumatera Utara itu dikalahkan oleh Bagus Elan dari Jawa Barat, ia tak berhenti di pentas pertandingan. Ceritanya begini: setelah regu Sumatera Utara tersisih di ronde pertama atas regu Kalimantan Selatan, Firman masih berharap bisa muncul dalam nomor perorangan. Minimal di kelompok 20 Besar. Untuk meraih medali, kans dirinya boleh dikatakan tak ada. Mengingat saingannya adalah karateka seperti Advent Bangun, Herman Lukas Tampoudung, Atut maupun nama lainnya yang merupakan favorit untuk tampil di panggung kehormatan. Target 20 Besar itu dikejar Firman adalah atas dasar keputusan Musyawarah Lembaga Aliran FORKI. Menurut keputusan tersebut, mereka yang berhasil masuk kelompok 20 ini, otomatis dimasukkan dalam pelatnas untuk kejuaraan dunia World Union of Karate-do Organization (WUKO) -- turnamen akan berlangsung di Tokyo, Nopember depan. Meski karateka terpilih tersebut tidak dengan sendirinya mewakili Indonesia di sana. Sebab mereka masih harus melewati seleksi lagi. Terpilih atau tidak nantinya, bagi Firman bukanlah persoalan utama, tampaknya. Langkah pertama yang ingin diubernya adalah masuk dalam daftar penghuni pelatnas. Tapi harapan Firman itu punah ketika 4 wasit berbagi bendera penilaian atas permainannya melawan Elan - 2 putih untuk kemenangan Firman dan 2 merah buat keberhasilan Elan. Pertandingan dinyatakan seri. Mereka harus bertarung ulang kembali. Dalam pertarungan lanjutan itu segalanya berakhir bagi Firman. Ia kalah. Undangan Mendadak Babak itu sebetulnya bisa dilewati Firman. Asalkan wasit drs. Yoyo Mulyana mau mengangkat bendera putih untuk Firman yang bernaung dalam satu perguruan dengan dirinya (keduanya dari pergunlan Kyushinryu Karate-do Indonesia atau KKI). Menurut isyu di kalangan karateka tertentu, semua wasit KKI yang bertugas dalam pertandingan PON IX 'diinstruksikan' untuk membantu karateka mereka agar bisa masuk 20 besar. Kabar burung itu dibantah tegas oleh Mulyana. Ia mengatakan, tidak ada 'instruksi' demikian dari perguruannya. Ada 'instruksi' atau bukan, dalam fikiran Firman, kekalahan dirinya tak lain disebabkan oleh penilaian Mulyana yang keliru. Tanpa mencek lebih lanjut, ia lalu mengirim kurir ke Wisma PHI Cempaka Putih - tempat penampungan wasit. Kurir ituah yang mengajak Mulyana ke suatu tempat di Jalan Pramuka, tak jauh dari tempat penginapannya. Alasan si kurir: ia diminta untuk hadir guna membicarakan hal yang berkaitan dengan kongres karateka di Ciloto, 5 Agustus 1977. Kejadian itu Senin, 26 Juli malam. Mulyana yang menjadi anggota Dewan Guru KKI itu sama sekali tidak menaruh kecurigaan terhadap undangan yang mendadak tersebut. Ia baru mafhum setelah yang dilihatnya menunggu adalah Firman dan pelatihnya. Mereka memperlihatkan ketidak-puasan terhadap keputusan Mulyana dalam memberikan penilaian siangnya. Mereka berdebat. Penyelesaian silang pendapat itu berakhir dengan jurus-jurus karate. Akibatnya: Mulyana (Dan 11) berbaring di Rumah Sakit Islam, Cempaka Putih. Ia dinyatakan menderita gegar otak akibat pengeroyokan Firman dkk. Kepada wartawati TEMPO, Linda Djalil yang menemui Mulyana di Rumah Sakit Islam - yang sudah mulai bisa duduk - minggu lalu ia mengungkapkan kembali, mengapa ia memberi kemenangan buat Elan. "Firman itu cuma gede badan. Ia sama sekali tidak mempunyai teknik yang efektif. Fokus danpower (kekuatan pukulan)-nya kurang," ujar Mulyana yang juga mewasiti pertandingan karate dalam PON VIII 1973 maupun dalam kejuaraan nasional di Surabaya, tahun silam. Ia menambahkan, untung pada waktu pengeroyokan yang dilakukan Firman (Dan I) dirinya masih sanggup menahan emosi. "Kalau saya ladeni persoalannya akan lebih buruk," lanjut Mulyana. Maksudnya: dari fihak pengeroyok mungkin ada yang bakal menghuni rumah sakit pula. Sanksi apakah yang bakal diterima Firman atas perbuatannya itu? Menurut Mulyana bisa macam-macam: dipecat atau diturunkan tingkatnya. "Semua itu tergantung pada perguruan," ujarnya sambil meyakinkan bahwa ia sama sekali tidak merasa dendam kepada pengeroyok yang sempat mendekam di Komdak Metro Jaya selama 6 hari itu. Ia cuma meminta agar sanksi perguruan juga dijatuhkan pada pelatih Firman. "Tidak mungkin ia bertindak demikian tanpa bantuan pelatihnya." Kasus pengeroyokan Mulyana itu tentulah sangat mengurangi nama baik olahraga karate - yang di negeri asalnya, Jepang, dikenal untuk juga mendidik sikap kesatria - bukan untuk main gebrag.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus