TERLAMBAT hampir sebulan dari rencana semula, gong pertanda
dibukanya Pasar Modal yang pertama secara resmi diproklamirkan
oleh Presiden Soeharto 10 Agustus Rabu pagi, di Jl. Medan
Merdeka Selatan, Jakarta Pusat. Mulai saat itu para peminat
sudah dapat membeli sertifikat saham.
Dengan uang Rp 10 ribu, orang sudah bisa memiliki selembar saham
nominal di bursa efek itu. Dan pagi itu, di bekas rumah kediaman
Wakil Presiden RI yang pertama, baru satu perusahaan yang
menjual saham-sahamnya: PT Semen Cibinong, produsen semen merek
Kujang yang punya pemasaran di Jakarta, Jawa Barat dan Jawa
Tengah bagian utara.
Para peminat ternyata cukup banyak. Lima hari sebelum upacara
pembukaan itu, PT Danareksa -- perusahaan perantara tunggal
punya pemerintah yang bertugas melakukan kegiatan membeli dan
menjual saham -- telah dibanjiri peminat. Dalam waktu tiga hari,
antara 4 hingga 6 Agustus, tak kurang dari 26 calon pembeli
sertifikat telah terdaftar. Ini belum terhitung mereka yang
mendaftar liwat bank-bank pemerintah.
Dirut PT Danareksa J.A. Sereh tersenyum lebar ketika didatangi
Yunus Kasim dari TEMPO, sehari sebelum hari perdana itu. "Ada
yang sampai membeli 100 lembar sertifikat," katanya. Dia tak
menyebut siapa gerangan sang pembeli itu. Tapi saham 100 lembar
@ Rp 10 ribu adalah jumlah maksimum yang boleh dimiliki
seseorang, dalam satu perusahaan. Kata Sereh pula, "yang
berminat ternyata bukan melulu kalangan bisnis, tapi ada juga
karyawan dan wartawan."
Ada yang-hanya membeli satu lembar. Antara lain ir Surya dari
Ujungpandang. Selain ingin "ikut berpartisipasi dalam membangun
ekonomi nasional," Surya yakin bahwa "uang yang ditanam dalam
ham itu akan bertelur." Seorang wartwan juga berpendapat
serupa karyawan dari Ujungpandang itu. Dia percaya, "bisnis
semen di Indonesia tetap cerah."
Sang insinyur dan wartawan tentu boleh menambah jumlah sahamnya.
Itupun tak perlu harus liwat Danareksa. Sebab, sehari setelah
peresmian, siapa saja yang berminat bisa membeli saham pada
bank-bank pemerintah, PT Aperdi dan PT Perdanas yang bertindak
selaku makelar.
Sama dengan kedua pemilik saha.n di atas, Sereh juga optimis
bisnis semen punya prospek yang baik. Sedikitnya, menurut Dirut
Danareksa itu, akan terjual 200 saham di hari pertama. "Dalam
dua tahun ini PT Semen Cibinong untung 10% lebih ," katanya .
Dalam pembangunan perusahaan semen itu, pinjaman antara lain
diperoleh dari Bank Ekspor Impor (Exim) AS.
Perbandingan antara modal asing dan nasional dalam PT Semen
Cibinong adalah 65%: 35%. "Saham yang 5% (260 ribu lembar ' $
10) itulah yang akan ditawarkan kepada calon pembeli Indonesia,"
kata Sereh. Adapun seluruh saham IT Semen Cibinong yang
ditempatkan berjumlah 3,3 juta lembar, dan yang belum
ditempatkan 275 ribu lembar, masing-masing $ 10 selembar.
Ditunggu Mas Agung
Siapa lagi yang menyusul untuk go public? "Nanti kami umumkan,
tunggu saja," jawab Sereh. Sekalipuh yang berminat kabarnya
banyak, Danareksa sendiri rupanya "masih menunggu aplikasi,"
katanya. Namun kalau tokh sampai masuk aplikasi baru, prioritas
tampaknya akan diberikan kepada perusahaan patungan dan PMDN
yang beroperasi tak lebih dari 5 tahun."Evaluasi terhadap
perusahaan memakan waktu, lebih-lebih kalau sudah lama berdiri
seperti pabrik ban Good Year," tambahnya.
Good Year, perusahaan AS di Bogor yang terkenal itu, rupanya
sudah siap untuk melempar sahamnya sebesar 15%. Minat Good Year,
seperti dikatakan pemimpin pemasaran Safiri Alim kepada TEMPO,
"hanya untuk menyesuaikan diri dengan keinginan pemerintah."
Dengan kata lain, "bukan untuk tujuan ekspansi pabrik atau
menambah modal kerja," kata Alim. Kesiapan untuk menjual saham
itu sudah diserahkan kepada Bank Pembangunan Indonesia
(Bapindo).
PT Gunung Agung tak mau kalah. Menurut Dirut Mas Agung, 50
tahun, sudah sejak setahun lalu perusahaannya ingin go public.
Pelaksananya juga Bapindo."Saya berharap awal tahun depan sudah
bisa menjual sebagian saham ke luar," kata Mas Agung.
Bagi pengusaha yang aktif dalam usaha sosial itu, inilah rupanya
saat yang ditunggu. Bergerak dalam pasar modal bukan soal baru
baginya. Adalah Mas Agung yang pernah memborong 0% dari saham
Malaysian Publishing House (MPH) di Singapura, ketika perusahaan
penerbit besar itu terancam bankrut di tahun 1966. Sejak itu
sampai 1972, dia aktif sebagai ketua dan direktur pelaksana dari
MPH, yang hingga sekarang tergolong besar di ASEAN.
Berapa saham yang ingin anda jual? "Sebanyak 40%," katanya.
Dengan begitu, diharapkan komposisi saharn dari PT Gunung Agung
bisa menjadi 40, untuk Mas Agung dan keluarga, 20% untuk para
pemilik yang sekarang dan 40% lagi di tangan umum. Adapun para
pemilik di luar keluarga itu terdiri dari rekanrekan lama
seperti Mr Sumanang, bekas walikota Jakarta Sudiro, bekas
Menteri Keuangan Jusuf Wibisono dan kritikus Dr H.B. Jassin.
Menurut Mas Agung, seluruh pemegang saham hingga sekarang ada
100 orang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini