Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Saham dijual. siapa mau beli

Pembukaan pasar modal pertama di jl merdeka selatan jakarta oleh presiden suharto. sertifikat saham yang tersedia pt semen cibinong. peminat cukup banyak. good year & gunung agung segera menyusul. (eb)

13 Agustus 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TERLAMBAT hampir sebulan dari rencana semula, gong pertanda dibukanya Pasar Modal yang pertama secara resmi diproklamirkan oleh Presiden Soeharto 10 Agustus Rabu pagi, di Jl. Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat. Mulai saat itu para peminat sudah dapat membeli sertifikat saham. Dengan uang Rp 10 ribu, orang sudah bisa memiliki selembar saham nominal di bursa efek itu. Dan pagi itu, di bekas rumah kediaman Wakil Presiden RI yang pertama, baru satu perusahaan yang menjual saham-sahamnya: PT Semen Cibinong, produsen semen merek Kujang yang punya pemasaran di Jakarta, Jawa Barat dan Jawa Tengah bagian utara. Para peminat ternyata cukup banyak. Lima hari sebelum upacara pembukaan itu, PT Danareksa -- perusahaan perantara tunggal punya pemerintah yang bertugas melakukan kegiatan membeli dan menjual saham -- telah dibanjiri peminat. Dalam waktu tiga hari, antara 4 hingga 6 Agustus, tak kurang dari 26 calon pembeli sertifikat telah terdaftar. Ini belum terhitung mereka yang mendaftar liwat bank-bank pemerintah. Dirut PT Danareksa J.A. Sereh tersenyum lebar ketika didatangi Yunus Kasim dari TEMPO, sehari sebelum hari perdana itu. "Ada yang sampai membeli 100 lembar sertifikat," katanya. Dia tak menyebut siapa gerangan sang pembeli itu. Tapi saham 100 lembar @ Rp 10 ribu adalah jumlah maksimum yang boleh dimiliki seseorang, dalam satu perusahaan. Kata Sereh pula, "yang berminat ternyata bukan melulu kalangan bisnis, tapi ada juga karyawan dan wartawan." Ada yang-hanya membeli satu lembar. Antara lain ir Surya dari Ujungpandang. Selain ingin "ikut berpartisipasi dalam membangun ekonomi nasional," Surya yakin bahwa "uang yang ditanam dalam ham itu akan bertelur." Seorang wartwan juga berpendapat serupa karyawan dari Ujungpandang itu. Dia percaya, "bisnis semen di Indonesia tetap cerah." Sang insinyur dan wartawan tentu boleh menambah jumlah sahamnya. Itupun tak perlu harus liwat Danareksa. Sebab, sehari setelah peresmian, siapa saja yang berminat bisa membeli saham pada bank-bank pemerintah, PT Aperdi dan PT Perdanas yang bertindak selaku makelar. Sama dengan kedua pemilik saha.n di atas, Sereh juga optimis bisnis semen punya prospek yang baik. Sedikitnya, menurut Dirut Danareksa itu, akan terjual 200 saham di hari pertama. "Dalam dua tahun ini PT Semen Cibinong untung 10% lebih ," katanya . Dalam pembangunan perusahaan semen itu, pinjaman antara lain diperoleh dari Bank Ekspor Impor (Exim) AS. Perbandingan antara modal asing dan nasional dalam PT Semen Cibinong adalah 65%: 35%. "Saham yang 5% (260 ribu lembar ' $ 10) itulah yang akan ditawarkan kepada calon pembeli Indonesia," kata Sereh. Adapun seluruh saham IT Semen Cibinong yang ditempatkan berjumlah 3,3 juta lembar, dan yang belum ditempatkan 275 ribu lembar, masing-masing $ 10 selembar. Ditunggu Mas Agung Siapa lagi yang menyusul untuk go public? "Nanti kami umumkan, tunggu saja," jawab Sereh. Sekalipuh yang berminat kabarnya banyak, Danareksa sendiri rupanya "masih menunggu aplikasi," katanya. Namun kalau tokh sampai masuk aplikasi baru, prioritas tampaknya akan diberikan kepada perusahaan patungan dan PMDN yang beroperasi tak lebih dari 5 tahun."Evaluasi terhadap perusahaan memakan waktu, lebih-lebih kalau sudah lama berdiri seperti pabrik ban Good Year," tambahnya. Good Year, perusahaan AS di Bogor yang terkenal itu, rupanya sudah siap untuk melempar sahamnya sebesar 15%. Minat Good Year, seperti dikatakan pemimpin pemasaran Safiri Alim kepada TEMPO, "hanya untuk menyesuaikan diri dengan keinginan pemerintah." Dengan kata lain, "bukan untuk tujuan ekspansi pabrik atau menambah modal kerja," kata Alim. Kesiapan untuk menjual saham itu sudah diserahkan kepada Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo). PT Gunung Agung tak mau kalah. Menurut Dirut Mas Agung, 50 tahun, sudah sejak setahun lalu perusahaannya ingin go public. Pelaksananya juga Bapindo."Saya berharap awal tahun depan sudah bisa menjual sebagian saham ke luar," kata Mas Agung. Bagi pengusaha yang aktif dalam usaha sosial itu, inilah rupanya saat yang ditunggu. Bergerak dalam pasar modal bukan soal baru baginya. Adalah Mas Agung yang pernah memborong 0% dari saham Malaysian Publishing House (MPH) di Singapura, ketika perusahaan penerbit besar itu terancam bankrut di tahun 1966. Sejak itu sampai 1972, dia aktif sebagai ketua dan direktur pelaksana dari MPH, yang hingga sekarang tergolong besar di ASEAN. Berapa saham yang ingin anda jual? "Sebanyak 40%," katanya. Dengan begitu, diharapkan komposisi saharn dari PT Gunung Agung bisa menjadi 40, untuk Mas Agung dan keluarga, 20% untuk para pemilik yang sekarang dan 40% lagi di tangan umum. Adapun para pemilik di luar keluarga itu terdiri dari rekanrekan lama seperti Mr Sumanang, bekas walikota Jakarta Sudiro, bekas Menteri Keuangan Jusuf Wibisono dan kritikus Dr H.B. Jassin. Menurut Mas Agung, seluruh pemegang saham hingga sekarang ada 100 orang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus