"SAYA sudah tahu cara mengalahkan Lelyana." Kalimat itu
diucapkan pelari 800 M tim atletik PON IX Jawa Timur, Jeanny
Sumampouw di tempat penginapannya, Hotel Hasta, Senayan dua hari
sebelum perlombaan dimulai. "la akan saya tempel terus sampai
jarak 700 meter. Baru kemudian saya melakukan dash. Karena saya
tahu Lelyana tak punya kemampuan untuk melakukan itu," lanjut
Jeanny. Ia menopang keyakinannya itu berdasarkan prestasinya di
pusat latihan Jawa Timur yang sudah terpaut dekat dengan rekor
nasional atas nama Lelyana: 2 menit 17,6 detik. Jeanny lupa
catatan waktunya yang pasti.
Di stadion utama, Senayan, Senin 1 Agustus petang Jeanny yang
mengambil tempat di lintasan 2 memang melakukan apa yang
direncanakannya. Ia tak membiarkan dirinya ditlnggalkan Lelyana
dalam jarak yang panjang. 100 meter menjelang fnish, ia mulai
mencoba menyalib lawannya dengan menambah kecepatan larinya. Ia
berhasil setelah bersaing ketat sepanjang 20 M. Ia mencapai
finish ketika stopwatch merekam tempo 2 menit 16,9 detik.
Di belakangnya menyusul Lelyana dengan waktu 2 menit 17,3 detik.
"Saya senang sekali bisa mengalahkan Lelyana dan sekaligus
memecahkan rekor nasional," ujar Jeanny selepas pertandingan.
Ini adalah kali pertama ia mengalahkan Lelyana. Untuk prestasi
tersebut Jeanny mendapat imbalan dari Pemda Jawa Timur 150.000
rupiah - 100.000 rupiah atas keberhasilannya memecahkan rekor
nasional, sedang sisanya penghargaan bagi medali emas yang
diraihn,.
Esoknya, di tempat yang sama 'kejutan' prestasi lain dicatat
oleh pelari Irian Jaya, Melly Moftu, 28 tahun. Ia berhasil
memecahkan rekor Abdus Saleh dalam mata lomba 400 meter gawang
setelah prestasi nasional tersebut tak terlampaui selama 15
tahun. Prestasi Moffu terekam 52, detik (rekor lama 54,3
detik). Lompatan atlit pegawai Kantor Penerangan Propinsi Irian
Jaya yang bertubuh jangkung - tinggi badan 180 Cm, berat 65 Kg
- itu ternyata tidak terbatas dalam lingkup nasional. Ia
sekaligus melewati rekor South East Asia Penninsula (SEAP) Games
atas nama pelari gawang Malaysia, A.S. Nathan dengan ketajaman
0,1 detik.
Ingin Hijrah
Berbeda dengan Jeanny Sumampouw yang berlatih dengan fasilitas
dan sarana yang baik - meski tidak serancak Jakarta - tidak
demikian halnya dengan Moffu. "Ketiadaan fasilitas itu yang
menyebabkan saya tidak mungkin mengambilnomor-nomor lain," keluh
Moffu yang punya niat untuk hijrah ke Jakarta guna bisa
mengembangkan kemampuannya. Ia juga pelari 400 meter putera yang
tangguh.
Di Jayapura, tempat ia berdiam, menurut Moffu, kekurangan yang
dihadapinya bukan hanya soal fasilitas latihan. Penghasilannya
yang minim - ia menerima honor cuma 15.000 rupiah per bulan --
juga tak memungkinkan dirinya mencapai prestasi yang lebih baik.
"Bagaimana saya mampu kalau tiap latihan harus mengeluarkan uang
300 perak untuk transpor. Saya 'kan pegawai negeri," kata Moffu
yang sehari-hari menghahiskan waktu untuk bekerja dan berdiam
diri di rumah. Kecuali bila ia memasuki pusat latihan.
Adakah ia mendapat imbalan atas prestasinya sebagaimana yang
diterima atlit Jawa Timur atau daerah lainnya? "Kalau cuma buat
beli bakso atau mentraktir cewek, ya ada," jawab Moffu tanpa
menyebut angka. Ia hanya mengwlgkapkan bahwa imbalan itu
diterimanya dari pelatihnya, Ule Latumahina. Moffu dalam PON IX
ia meraih 2 medali emas dan 1 medali perak masing-masing dalam
nomor 400 meter gawang, lari beranting 4 x 400 meter, dan lari
400 meter.
Haruskah Moffu hijrah ke Jakarta hanya untuk mengejar prestasi?
Fabanyo, Sekretaris KONI Irian Jaya memang mengakui fasilitas di
daerahnya kurang. Tapi ia juga punya bukti bahwa Jakarta
bukanlah jawaban bagi pemecahan rekor. Ia mengambil contoh
dengan pelari jarak menengah puteri, Rika Warinussi yang telah
lebih dulu pindah ke ibukota, namun tak memperlihatkan
peningkatan yang drastis. Menurun, malah. Dulu Rika merupakan
calon saingan berat bagi Lelyana. "Coba ia tidak pindah, saya
yakin prestasinya akan lebih baik," ujar Fabanyo. Bagaimana
Moffu? Apa sudah difikir matang-matang?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini